Beberapa waktu lalu, sehari setelah kepulangan haji penasihat komunitas Jejak Islam untuk Bangsa (JIB), sejarawan Dr. Tiar Anwar Bachtiar, saya ‘diculik’ untuk meninjau ‘padepokan JIB’ atau ‘rumah sejarah’ yang tengah dibangunnya di daerah Jatinangor, dekat Unpad.
Sebagai arsitek bangunan tersebut, saya diminta beliau merancang kalau bangunan dua lantai itu nantinya–selain akan ditinggali sebagai rumah- akan digunakan sebagai tempat kajian, khususnya para pegiat sejarah.
“Insya Allah ini akan jadi markas JIB, juga tempat diskusi sejarah,” kata Dr. Tiar sambil melihat tembok menjulang di antara void dan tangga ke lantai dua – yang nanti akan dipasangkan foto – lukisan, tokoh-tokoh nasional, juga quotes – quotes gagasan para tokoh seperti Haji Agus Salim, Natsir, A Hassan, Wahid Hasyim, dan lainnya.
Kami pun masuk ke ruangan cikal bakal perpustakaan di depan, yang rencananya akan bisa diakses oleh masyarakat. Di lantai dua, kami menikmati pemandangan ujung gunung Manglayang dari jauh, juga membayangkan green roof sebagai tempat diskusi menyenangkan.
Memang, sejak berdirinya hingga sekarang, JIB tidak memiliki ‘markas’ khusus atau tempat tetap untuk berdiskusi. Lima tahun lalu (2013), ketika JIB muncul kali pertama adalah ‘komunitas digital’.
Shelina Janmohamed (2016) memberi istilah ‘umat digital di darul internet’. Agaknya istilah tersebut boleh jadi cocok dengan awalnya JIB yang muncul lewat fan page “JIB – Komunitas Pencinta Sejarah Islam” disusul web Jejakislam.net pada Oktober 2013.
Bisa dimaklumi memang, saat itu saya sendiri baru saja lulus kuliah, dan seperti dikatakan Yoris Sebastian (2016) dalam Generasi Langgas, kami – generasi milenial – adalah generasi tech savvy – atau istilahnya Joy Roesma & Nadia Mulya (2018) ‘digital immigrant’.
Saat itu, Facebook memang sedang naik daun bagi setiap generasi. Dalam buku Media Sosialita : Eksis Narsis Jadi Daring Darling disebutkan bahwa masyarakat Indonesia dengan senang hati menerima pertemanan dari segala penjuru (kecuali mungkin akun untuk berjualan yang mengganggu) kalau banyak yang mengajak berteman.
Di situlah, saya berkenalan dengan para penyuka buku, peminat sejarah, pegiat literasi. Seperti kata Yoris dalam Generasi Langgas, generasi milenial adalah generasi yang “collective, customization, community.”
Saat itu, saya suka membagikan tulisan – tulisan tentang sejarah dan terkoneksi dengan seorang pencinta buku berakun Facebook Beggy Rizkiansyah. Dari sana, kami berkorespondensi, berdiskusi tentang sejarah, buku, pergerakan mahasiswa, keislaman dan keindonesiaan, dan sebagainya.
Dari diskusi di dunia maya itulah, komunitas Jejak Islam Bangsa (JIB) muncul. Spirit para pemuda Islam masa silam dalam wadah Jong Islamiten Bond (JIB) seperti M Natsir, Kasman Singodimedjo, Sjamsurijal, menjadi spirit kami, dan tentunya secara jujur, nama JIB sendiri terinspirasi dari pergerakan para pemuda tersebut.
Para pemuda seperti Natsir, Kasman, Roem tentu tak sendirian. JIB di masa silam dibimbing oleh Haji Agus Salim, H Fachruddin, hingga Tjokoroaminoto. Pun dengan kami, saat itu hanya pencinta sejarah, maka dari itu kami meminta Dr. Tiar Anwar Bachtiar, yang kami berkenalan dari diskusi INSISTS saat itu, dan Dr. Alwi Alatas–keduanya saat itu tengah menempuh program doktoral bidang sejarah-menjadi pembina komunitas ini.
Jika Jong Islamieten Bond di masa silam meluncurkan Majalah Het Lich, maka saat itu kami sepakat membuat situs Jejakislam.net sebagai suara bagi para pegiat literasi dan pencinta sejarah untuk membincang keislaman dan keindonesiaan.
Pertemuan offline pertama justru digelar di Bandung, di masjid kampus pertama, Masjid Salman ITB dengan pembahasan Menguak Sejarah Islam di Nusantara yang diampu oleh Dr. Tiar Anwar Bachtiar.
Alhamdulillah, peserta yang mayoritas mahasiswa antusias mengikuti ‘kelas sejarah’ tiap pekan selama empat pertemuan. Dalam Islam, kata Dr. Tiar, sejarah merupakan salah satu hal yang penting bagi manusia,
“Dalam paradigma Islam, sejarah kita harus bersumber pada kebenaran. Ada yang disebut khabar shadiq (kabar yang pasti kebenarannya). Jadi, sejarah harus bersumber pada riwayat atau informasi yang benar,”pesan Dr. Tiar.
Di sisi lain, kami para pemuda yang hanya bisa mencintai sejarah ini teringatk pesan Buya Hamka,” meninjau sejarah dengan cinta.” Karenanya, penulisan sejarah yang kami lalui dalam Jejak Islam untuk Bangsa, berupaya meniti keseimbangan antara kecintaan terhadap Islam dan penggalian data dan fakta yang kokoh
Dari pertemuan tadi juga, terungkap beberapa catatan tentang sejarah Indonesia dan Nusantara dalam sudut pandang bebas nilai (sekular) yang cenderung lepas dari agama, sehingga seolah-olah tak muncul kaitan antara keislaman dan keindonesiaan dalam sebagian pembahasan sejarah nasional.
Berangkat dari sana, kajian-kajian sejarah ini digalakkan dengan Ngobrol Bareng Sejarah Indonesia (Ngobras), sebuah kajian sejarah Indonesia dengan berusaha menyajikan dalam sudut pandang Islam dan umat Islam.
Maka, berjalanlah Ngobras selama beberapa tahun dengan berbagai tema sejarah Indonesia, mulai dari gerakan Islam modern, theosofi dan freemason, keturunan Arab, pemikiran politik, komunisme di Hindia Belanda dan Indonesia, dan berbagai tema tentang sejarah Indonesia.
‘Startup’ Jejakislam.net menjadi platform komunitas sejarah Indonesia dalam worldview Islam. Ada para pegiat JIB yang ikut mengisi web dan terlibat dalam kegiatan kajian seperti Septian, alumnus sejarah UI dan juga jurnalis Islampos saat itu, Andi Ryansyah.
Bergabunglah para pencinta sejarah, pegiat sejarah, penulis sejarah, dosen, peminat sejarah, dan menjadi kontributor, mengisi beberapa rubrik Jejakislam.net. Teruntuk semuanya yang tak bisa kami ucapkan satu persatu, kami haturkan terima kasih sebesar-besarnya kepada para ‘penghuni’ Jejakislam.net.
Saya sendiri diminta mengisi rubrik Kisah, berisi tulisan ihwal kisah di masa silam, atau catatan perjalanan saya ke beberapa tempat baik di Indonesia atau di luar negeri, terkait konteks keislaman dan keindonesiaan.
Misalnya, saat saya berkesempatan melawat ke Kamboja dan Vietnam di Kampung Cham,atau Patani Thailand Selatan, Turki hingga Azerbaijan saya tulis ihwal hubungan Nusantara dengan negeri tersebut. Juga ketika saya di Aceh, atau ketika bersua para Rohingnya di beberapa pengungsian di beberapa negara Asean, saya tulis khusus tentang Rohingnya dan Nusantara.
Dalam lima tahun perjalan JIB, Alhamdulillah, kedua pembina komunitas ini, Dr. Tiar Anwar Bachtiar dan Dr. Alwi Alatas juga telah menuntaskan pendidikan doktoral bidang sejarah mereka di Universitas Indonesia (UI) dan International Islamic University Malaysia (IIUM).
Dalam perjalanannya juga, kami sudah menerbitkan majalah digital Jejak Islam . Pegiat JIB telah menerbitkan dua buku : Perjuangan yang Dilupakan (2017), Dari Kata Menjadi Senjata : Konfrontasi PKI dengan Umat Islam (2017). Buku kedua ini merupakan kolaborasi JIB dengan Jurnalis Islam Bersatu (JITU).
Semangat kolaborasi kaum milenial ini, rupanya menular. JIB dalam kegiatannya banyak berkolaborasi dengan media, komunitas, organisasi, DKM, lembaga dakwah kampus, seperti : Sekolah Pemikran Islam (SPI), Indonesia Tanpa JIL (ITJ), Teras Dakwah, DKM Ulul Abshar, UIKA, remaja masjid, Toedjoeh Kata, Pusat Dokumentasi Islam Tamadun, Masjid Abu Bakar As Shidiq (Mabas), Jurnalislam, Kiblat, Alhikmah, AQL, JITU, dan masih banyak lainnya.
Bermunculan pula JIB afdeling Bandung, Surabaya, Banten, Bogor, Yogyakarta, berkolaborasi dengan para kontributor JIB dari daerah. Selain itu, beberapa pembaca Jejakislam.net terlibat dalam proses digitalisasi buku lawas yang kami simpan dalam rubrik Pustaka Umat.
Sedikit upaya literasi sejarah Indonesia lima tahun belakangan ini kami pandang sebagai upaya untuk merawat ingatan, menolak lupa. Bahwa Islam dan negeri ini begitu erat, saling berpilin tak terpisahkan.
Dalam Sekolah Merdeka yang kami helat beberapa waktu lalu, terungkap bahwa para tokoh-tokoh Islam di masa silam tak pernah terpikirkan akan pembenturan keislaman dan keindonesiaan. Ketua Muhammadiyah Ki Bagus Hadikusumo misalnya, dalam sidang BPUPKI mengusulkan agar negara Indonesia ini bersendikan Islam dalam pemerintahannya.
“Agama Islam membentuk potensi kebangsaan lahir dan batin, serta menabur semangat kemerdekaan yang menyala-nyala. Jadikan Islam sebagai asas dan sendi negara!” kata Ki Bagus Hadikusumo.
Umat Islam, kata Ki Bagus, tak perlu lagi dipertanyakan tentang kecintaan kepada tanah airnya. Indonesia, “Karena pengaruh imannya… benar-benar mempunyai hidup yang bersemangat, yang pada tiap saat dapat dengan amat mudah dapat dibangkitkan serentak, dengan mengeluarkan api yang berkobar-kobar untuk berjuang mati-matian membela agamanya, serta mempertahankan tanah air dan bangsanya.”kata Ki Bagus. (Lihat Perjuangan yang Dilupakan : 2017).
Demikian pula dengan putera pendiri NU Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari, KH Wahid Hasyim yang menegaskan hubungan erat antara keislaman dan keindonesiaan. Bahkan, perumus Pancasila ini mengusulkan secara resmi agama negara adalah Islam . (Lihat Risalah Sidang BPUPKI: 1995).
Dalam kesempatan lainnya, KH Wahid Hasyim dalam Tugas Pemerintah Terhadap Negara menekankan hak konstitusional umat Islam untuk menjalankan agamanya yang juga dilindungi oleh UUD 1945 dan juga sejalan dengan Pancasila.
“Di Indonesia, sebagian besar daripada rakyatnya keras sekali keinginannya akan menghidupkan syari’at agamanya, walaupun mereka belum tahu dengan sempurna cara bagaimana akan menghidupkannya. Hal itu ternyata dari pada tercantumnya Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai salah satu dasar Pancasila kita,”
Perdana Menteri pertama NKRI, Mohammad Natsir berkali-kali menelurkan ide tentang keislaman dan keindonesiaan. Berdirinya NKRI tak lepas dari ide dan gagasan beliau.
“Indonesia tidak memisahkan agama dari (masalah) kenegaraan. Dengan tegas Indonesia menyatakan percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa jadi tiang pertama dari Pancasila, kaidah yang lima, yang dianut sebagai dasar ruhani, dasar akhlak dan susila oleh negara dan bangsa Indonesia,” kata Natsir.
Walhasil, upaya mendiskriditkan Islam – dan umat Islam – dari gelanggang keindonesiaan dengan tudingan-tudingan tertentu kepada elemen umat, jelas-jelas hal tersebut tuna sejarah, atau bisa kita sebut “lupa akan sejarah.” Gelagat lupa ini, harus kita ingatkan, dengan cara merawat ingatan : menulis ulang sejarah.
Tentu saja, kalau bukan kita-umat Islam-siapa lagi yang akan menulis tentang kita? Seperti ungkapan KH Wahid Hasyim, pada akhirnya yang pro dengan kita hanyalah kita jua (umat Islam).
Karenanya, kami mengajak para pegiat komunitas, pegiat literasi, pegiat sejarah, sejarawan, peminat sejarah untuk berkolaborasi dan bersinergi dalam ikhtiar menulis ulang sejarah Indonesia ini. Sebab, kata KH Wahid Hasyim, boleh jadi generasi di masa akan datang akan kembali lupa.
“Perjuangan di masa depan akan diemban oleh generasi mendatang pula. Barangkali angkatan saya sudah tidak ada lagi. Kalau kita tak memancangkan pilar-pilar yang kita sendiri pasang, di masa depan tak bakal ada saksi-saksi yang berbicara bahwa kita—umat Islam—telah pernah berbuat,” kata KH Wahid Hasyim, mengingatkan dalam Berangkat Dari Pesantren.
Umur manusia, kata KH Wahid Hasyim terbatas, dan generasi yang akan datang boleh jadi akan lupa apa yang dilakukan umat Islam di masa silam. Maka, izinkan kami kembali mempertautkan kenangan masa silam dengan masa kini.
“Yang harus dijaga, jangan sampai umat Islam tidak memperoleh hak-hak mereka secara politis. Jika perang sudah usai, maka fase perjuangan hidup mati sudah dilewati, tentu orang-orang mulai mengisi kemerdekaannya dengan usaha membangun bangsa dan negara. Moga-moga saja saham umat Islam di masa paling sulit itu tidak dilupakan,” pesan KH Wahid Hasyim.
Semoga, di usianya yang ke – 5 ini, Jejakislam dapat hadir mengisi harapan dan cita para pendahulu negeri ini, negeri yang memperoleh kemerdekaan atas berkat Rahmat Allah.
Para pendahulu kita tahu, tanpa rahmat Allah, negeri impian itu tak kan terwujud. Kemerdekaan yang kita nantikan hanya menyisakan sedikit ikhtiar kita.
Bukankah sudah jelas kalau kita tak memiliki senjata, harta, hingga apa pun tak kita miliki. Hanya satu yang kita miliki: iman yang menggelora dalam dada. Iman yang menggerakkan. Maka, tak salah bukan kita bersyukur?
“… Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa…”
Atas Rahmat Allah negeri ini merdeka. Jika negeri ini merdeka berkat rahmat Allah, akankah setelah merdeka, RahmatNya tak lagi kita harapkan?
Oleh: Rizki Lesus, Founder Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)