Sulit untuk ditampik bahwa penyelenggaraan KAA mencerminkan ideologi anti-kolonial yang kuat.[1] Israel, sejak awal sebelum pelaksanaan KAA sudah ditolak keikutsertaannnya, Dalam Konferensi Bogor-yang menjadi momen perancangan Konferensi Asia-Afrika- pada bulan Desember 1954, kehadiran Israel diperdebatkan.

Indonesia dan Pakistan menyatakan keberatannya atas usulan untuk mengundang Israel.[2] Sementara India dan Burma (sekarang Myanmar) mendesak agar Israel diundang. Pakistan dan Mesir menolak Israel dan meyakinkan Kelompok Kolombo (Indonesia, India, Pakistan, Burma dan Srilanka) agar tidak mengajak Israel, karena akan mengundang aksi boikot dari negara-negara Arab.[3]

Meski Palestina tidak memiliki perwakilan resmi, tetapi kehadiran mereka diwakili sosok yang akrab dengan Indonesia, yaitu Syaikh Amin al-Husayni sebagai peninjau (obrserver). Status peninjau ini diberikan kepada wakil-wakil pergerakan nasional untuk dari negeri-negeri yang belum merdeka, seperti Palestina, Maroko, Tunisia, dan sebagainya.[4]

Konferensi Asia-Afrika di Bandung, 1955. Sumber foto: detik.com

Kepedulian terhadap Palestina ditunjukkan oleh beberapa anggota delegasi negara lain yang sangat vokal terhadap Palestina, seperti Abd al-Khalik Hassuna, Sekjen Liga Arab pertama (Mesir) dan ahli hukum asal Palestina, Ahmed Shukairy (Suriah).[5]

Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada tahun 1955 akhirnya menjadi salah satu ajang untuk menyuarakan kepedulian dan pembelaan terhadap Palestina. Perwakilan negara-negara Arab, Iran, Afghanistan dan Pakistan melontarkan kecamaan tajam terhadap zionisme internasional yang menjajah Palestina.

Dr. Mohammed Fadhel Jamali dari Irak misalnya, mengecam zionisme sebagai bentuk paling buruk dari imperialism karena melakukan penindasan, pemecah-belahan, dan pendudukan dengan mengusir rakyat Palestina, baik yang Muslim maupun Kristen.[6] Dalam bahasa yang keras, wakil dari Irak tersebut mengatakan,

“Zionism is certainly the last chapter in the book of old colonialism. It is one of the blackest and darkest chapters in human history,” tegas Dr. Mohammed Fadhel Jamali.[7]

Dr. Fadhil Jamali di Konferensi Asia Afrika mewakili Irak. Sumber foto: www.frankbuchman.info

Pandit Jawaharlal Nehru yang mewakili India sempat menolak istilah imperialisme dikaitkan dengan Israel. Ia bahkan menyebutkan nasib buruk orang Yahudi di bawah Nazi sehingga menjadi alasan berdirinya negara Israel.[8] Namun argumen Nehru segera dibantah oleh delegasi Arab, salah satunya dari Lebanon yang mengatakan bahwa isu holocaust adalah salah satu cara bagi Israel untuk menarik simpati dunia, namun di saat yang sama mereka menjalankan terror dan kekejaman terhadap rakyat Palestina.[9]

Pembelaan terhadap Palestina juga ditunjukkan oleh Perdana Menteri Republik Rakyat Cina, Chou En Lai yang menyetujui dimasukkannya resolusi mengenai Palestina dalam butir-butir resolusi KAA. Dukungan terhadap persoalan Palestina akhirnya dituangkan dalam resolusi mengenai Palestina yang mendukung hak orang Arab di Palestina, menyerukan diterapkannya resolusi PBB dan penyelesaian soal Palestina secara damai.[10]

Hal ini akhirnya tercantum dalam komunike (putusan) dari Konferensi Asia-Afrika dalam bab “Other Problems” yang berbunyi:

“In view of the existing tension in the Middle East, caused by the situation in Palestine and of the danger of that tension to world peace, the Asian-African Conference declared its support of the rights of the Arab people of Palestine and called for the implementation of the United Nations Resolutions on Palestine and the achievement of the peaceful settlement of the Palestine question.”[11]

Lewat KAA, posisi Palestina semakin mendapat dukungan kuat Indonesia baik dalam konteks lokal (dukungan ormas yang telah ada sejak masa pra-kemerdekaan) maupun internasional. Dukungan ini tak berhenti pada KAA 1955 di Bandung saja, tetapi berlanjut pada ajang lain, yaitu Konferensi Islam Asia-Afrika yang diadakan pada bulan Maret tahun 1965.

Konferensi Islam Asia-Afrika dan dukungan pada Palestina

Ideologi anti-kolonial dan solidaritas Islam terus berlanjut hampir sepuluh tahun kemudian, ketika Indonesia menjadi tuan rumah Konferensi Islam Asia Afrika (KIAA) di Bandung, 6-14 Maret 1965. Konferensi ini bertujuan untuk menyatukan ide dan semangat kaum Muslimin Asia dan Afrika untuk melawan neo-imperialisme dan diikat bukan hanya kesamaan sikap politik tetapi juga agama.[12]

Konferensi ini tak lepas dari peran penting K.H. Idham Chalid yang berlatar belakang NU sebagai ketua pelaksananya. Dalam pidato pembukaannya K.H. Idham Chalid menyatakan kolonialisme adalah suatu komplotan yang bersifat internasional sehingga diperlukan perlawanan yang bersifat internasional pula.[13]

Perhelatan Konferensi Islam Asia-Afrika di Bandung, tahun 1965. Sumber foto: nu.or.id

Lewat penggalangan solidaritas inilah, KIAA akhirnya menelurkan satu butir kesepakatan menyerukan dukungan terhadap Palestina yang berbunyi;
“1. Endorse the full restoration of all the rights of the Arab people of Palestine to their homeland, and their inalienable right to self-determination;
2. Declare their full support to the Arab people of Palestine in their struggle for liberation from colonialism and racism.”
[14]

Kata kolonialisme yang dilekatkan pada Israel menjadi kata kunci yang penting untuk menunjukkan sikap Indonesia dalam membela Palestina. Konsistensi solidaritas terhadap Palestina yang tunjukkan oleh masyarakat dan pemerintah Indonesia menjadi semakin solid Ketika pembelaan terhadap Palestina bukan saja terjadi di panggung politik, dan forum resmi pemerintah Republik Indonesia, tetapi juga di perhelatan olahraga yang terjadi di tanah air.

Lanjut membaca bagian 5

Oleh: Beggy Rizkiyansyah – pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)


[1] Umar, Ahmad Rizky Mardhatillah. “The Bandung Ideology: Anti-Colonial Internationalism and Indonesia’s Foreign Policy (1945-1965).” Asian Review 30, No. 2 (2017): 57-78.

[2] Abdulgani, Dr. Roeslan. 1980. The Bandung Connection: Konferensi Asia-Afrika di Bandung tahun 1955. Jakarta: PT Gunung Agung

[3] Samour, Naheed. “Palestine at Bandung: The Longwinded Start of Imagined International Law dalam Bandung, Global History and Internaitonal Law: Critical Pasts and Pending Future, edited by Luis Elsava, Michael Fakhri, and Vasuki Nesiah, 595-615. Cambridge: Cambridge University Press, 2017. Lihat juga Abdulgani, Dr. Roeslan. 1980.

[4] Abdulgani, Dr. Roeslan. 1980.

[5] Samour, Naheed. 2017.

[6] Abdulgani, Dr. Roeslan. 1980.

[7] Abdulgani, Dr. Roeslan. 1980.

[8] Abdulgani, Dr. Roeslan. 1980.

[9] Abdulgani, Dr. Roeslan. 1980.

[10] Abdulgani, Dr. Roeslan. 1980.

[11] Abdulgani, Dr. Roeslan. 1980.

[12] Nurjaman, Andri dan Asep Sulaiman. “Peran K.H. Idham Chalid dalam Konferensi Islam Asia Afrika di Kota Bandung Tahun 1965.” Historia Madania 4, No.1 (2020): 147-176.

[13] Nurjaman, Andri dan Asep Sulaiman. 2020.

[14] The Organizing Committee, 1964, Document 1, Documents for The Main Conference of the Africa-Asia Islamic Conference

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here