Mohamad Roem (1908-1983) merupakan salah satu figur pejuang Indonesia. Bersama dengan pejuang-pejuang yang lain seperti Sukarno, Hatta, dan Soedirman, Mohamad Roem ikut mempersembahkan separuh hidupnya untuk perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bedanya, jika ketiga orang tersebut nampak sering kali terlihat bersama dengan rakyat. Maka, hal ini lain dengan Mohamad Roem yang lebih banyak bekerja di belakang layar. Meski demikian, perannya tak kalah penting jika dibandingkan dengan Sukarno, Hatta, dan Soedirman. Ia dikenal sebagai pejuang di meja perundingan yang namanya abadi menjadi sebuah nama mahakarya diplomatik bangsa ini yakni Perjanjian Roem-Roijen.
Latar Keluarga
Dilahirkan di Desa Klewogan, Kawedanan Parakan, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah pada 16 Mei 1908, Mohamad Roem merupakan anak keenam dari tujuh orang bersaudara. Ia adalah putra dari tokoh terpandang di desa setempat bernama Dulkarnaen Djojosasmito. Ayah dari Mohamad Roem ini dikenal sebagai Lurah (kepala desa) Desa Klewogan yang mempunyai istri bernama Siti Tarbijah.[1]
Mohamad Roem dibesarkan di tengah lingkungan keluarga Jawa yang akrab dengan kaum santri. Kendati ayahnya terkadang meluputkan beberapa kewajiban ibadah, namun kesadaran beragamanya relatif cukup tinggi. Ia berharap agar anak-anaknya tumbuh menjadi orang Islam sejati.
“Sejak kecil di rumah orang-tua saya, saya berada dalam lingkungan santri. Walaupun ayah saya tidak begitu sempurna agamanya, jarang pergi sholat Jum’at, tetapi saya memperoleh pendidikan agama dari Pak Wongso, guru ngaji di kampung kami.”,[2] kata Mohamad Roem.
Kesadaran beragama Dulkarnaen Djojosasmito dan istrinya tercermin dari cara mereka memberikan nama untuk anak-anaknya. Berbeda dengan keluarga Jawa pada umumnya, keluarga ini memberi nama anak-anaknya berdasarkan nama-nama yang bernafaskan Islam. Uniknya lagi, empat anak lelakinya diberi nama sesuai dengan nama-nama Khulafaurrasyidin secara berurutan.
Anak laki-laki tertua diberi nama oleh orang tuanya dengan nama Abu Bakar, kemudian seterusnya diberi nama Umar, Usman, dan Ali. Sedangkan, anak lelaki terakhir diberi nama Mohamad Roem, sebuah nama yang terinspirasi dari rasul terakhir serta “Ar-Ruum” nama salah satu surat dalam Al-Quran yang maknanya bangsa Romawi. Ada pun, untuk dua anak perempuannya, Dulkarnaen Djojosasmito dan istrinya memberikan mereka nama Siti Muti’ah dan Siti Chatidjah.
Tidak seperti kebanyakan pria pada zamannya, penulisan nama Mohamad Roem tidak pernah disingkat. Berbeda dengan Hatta dan Natsir yang dalam beberapa kesempatan nama depannya ditulis dengan ejaan “Muh”, “Moh”, atau “Mohd”. Menurut penuturan Mohamad Roem sendiri, sejak lulus kuliah namanya selalu ditulis dengan lengkap.[3]
Bersekolah hingga Menikah
Mohamad Roem menempuh pendidikan pertamanya di Volkschool. Sebagai anak pegawai negeri, ia tidak lama belajar di sana. Mohamad Roem lalu disekolahkan ke Hollandsche Inlandsche School (HIS), di Temanggung. Sayangnya, karena kawasan ini dilanda wabah penyakit yang mematikan, Mohamad Roem terpaksa harus pindah sekolah ketika menginjak kelas III HIS. Ia bersama dengan adiknya, Siti Chatidjah, dibawa oleh kakak tertuanya bernama Siti Muti’ah ke Pekalongan. Di bawah asuhan sang kakak bersama iparnya yang juga adalah kader Muhammadiyah, sambil bersekolah, Mohamad Roem diberi pendidikan agama lebih lanjut selama menetap di kota itu.
Mohamad Roem berhasil menamatkan pendidikannya di HIS Pekalongan pada 1924. Di tahun yang sama, ia berhasil lulus ujian untuk masuk sekolah tinggi kedokteran elite pada masa Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda, yaitu School tot Opleideng voor Indische Arts (STOVIA), di Batavia. Sekolah ini merupakan lembaga pendidikan bergengsi di Hindia Belanda. Di sekolah inilah nasionalisme kaum bumiputra terpelajar dibangkitkan, yang ditandai dengan berdirinya sebuah organisasi bernama Budi Utomo.
Setelah dua tahun tahun mengikuti kelas persiapan STOVIA, Mohamad Roem terpaksa harus kembali pindah sekolah. Hal demikian disebabkan karena pemerintah kolonial menghapus sekolah tinggi ini pada 1927. Dengan begitu, Mohamad Roem memilih Algemene Middelbare School (AMS) yang juga menggunakan bangunan bekas STOVIA sebagai tempat meneruskan studinya, lalu ia pun lulus dari sekolah ini pada 1930.
Hasrat belajar Mohamad Roem tidak surut begitu saja setelah menerima ijazah AMS. Saat itu, ia masih ingin mewujudkan cita-citanya menjadi seorang dokter. Karenanya, ia berusaha ikut ujian seleksi masuk Geneskundige Hooge School (GHS), di Batavia. Akan tetapi, Mohamad Roem gagal lolos seleksi sekolah ini sebanyak dua kali. Oleh sebab itu, ia memutuskan rehat terlebih dahulu dari aktivitas akademik.
Ketika memutuskan berhenti sekolah, aktivitas Mohamad Roem bertumpu pada berbagai kegiatan organisasi. Ketika itu, ia sudah terkenal sebagai aktivis JIB. Tak hanya berhenti di organisasi itu, Mohamad Roem juga ikut menjadi anggota Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dan gerakan kepanduan Nationaal Indonensische Padvinderij (Natipij) yang menjadi onderbouw JIB.
Manakala JIB dan Natipij menggelar kongres di Surabaya pada 1929, Mohamad Roem secara kebetulan berkenalan dengan seorang perempuan bernama Markisah Dahlia yang rupanya adalah sesama aktivis Natipij. Berawal dari perjumpaan itu, hubungan antara pemuda dan pemudi ini terus berlangsung hingga keduanya bertemu kembali dalam kongres JIB di Batavia, setahun kemudian.
Tak lama setelah dua insan ini memperoleh restu dari keluarga, Mohamad Roem dan Markisah Dahlia kemudian melangsungkan pernikahan dengan sederhana pada 11 Juni 1932 di Malang. Alih-alih kerepotan, keinginan Mohamad Roem untuk meneruskan studinya justru bangkit setelah membina rumah tangga. Ia berhasil lolos seleksi ke sekolah tinggi hukum Rechts Hooge School (RHS) di Batavia pada 1932, kemudian berhasil meraih gelar Meester in de Rechten (Mr.) dari almamaternya pada 3 November 1939.[4]
Akrab dengan Haji Agus Salim
Kepindahan Mohamad Roem dari Pekalongan ke Batavia membuatnya lebih menghayati zeigeist (jiwa zaman) yang sedang menggelora pada kaum muda bumiputra terpelajar saat itu. Seperti anak-anak bumiputra terpelajar lainnya, Mohamad Roem tidak hanya memanfaatkan masa mudanya untuk belajar di kelas. Ia juga ikut terlibat dalam organisasi pemuda pelajar yang sedang tumbuh subur di sekolah-sekolah Belanda.
Tatkala Mohamad Roem diterima masuk STOVIA pada 1924, ia masuk menjadi bagian dari Jong Java. Namun, setelah tersiar kabar ada organisasi pemuda pelajar Islam bernama Jong Islamieten Bond (JIB) yang didirikan pada awal Januari 1925, Mohamad Roem ikut ambil peran dalam organisasi baru tersebut sambil merangkap menjadi anggota Jong Java.
JIB sendiri merupakan organisasi yang didirikan sebagai reaksi kekecewaan sejumlah kader Jong Java.[5] Mereka kecewa lantaran dalam hasil kongres terbaru di Yogyakarta, mayoritas pesertanya menolak memberikan ruang bagi kader-kader Jong Java beragama Islam untuk menerima pembinaan rohani dari guru-guru agama Islam. Karena penolakan kongres itulah, Sjamsuridjal, bekas Ketua Jong Java, yang berpihak pada aspirasi kader-kader Islam dari organisasinya mengundurkan diri. Langkah ini selanjutnya diikuti oleh kader-kader Jong Java lain yang merasa aspirasi mereka tidak terakomodasi lagi oleh Jong Java.
Di tengah kekecewaan ini, Sjamsuridjal bersama kawan-kawannya memperoleh harapan baru setelah berdiskusi dengan Haji Agus Salim, seorang tokoh besar Partai Sarekat Islam (PSI) pada awal tahun baru 1925. Tanpa menunggu lama, Sjamsuridjal lalu mendirikan JIB dengan mengangkat Haji Agus Salim selaku pembinanya. Sebagai organisasi pemuda pelajar, JIB mempunyai basis gerakan yang kuat di kawasan perkotaan.
Mohamad Roem yang ketika itu belum genap berusia 20 tahun, turut berpartisiapsi dalam JIB. Melalui organisasi ini, Mohamad Roem menjumpai banyak tokoh Islam yang berpengaruh pada masa itu. Beberapa tokoh yang dikenalnya lewat JIB umumnya berasal dari PSI seperti Haji Agus Salim, A.M. Sangadji, dan HOS. Tjokroaminoto. Dari tiga tokoh yang dikenalnya dari JIB, Mohamad Roem kian akrab dengan Haji Agus Salim.
Seiring waktu, keakraban antara orang tua dan anak muda ini berlangsung dengan harmonis. Mohamad Roem bersama dengan para aktivis JIB sering kali datang berkunjung ke rumah Haji Agus Salim. Dibanding aktivis JIB lainnya, mungkin hanya Mohamad Roem yang paling sering bertandang ke rumahnya. Bahkan, saking seringnya, ia sampai mengenal dan akrab dengan semua anggota keluarga Haji Agus Salim. Interaksi yang terjalin secara alami namun intens ini membuat Mohamad Roem banyak mewarisi ilmu dari Haji Agus Salim, tentang bagaimana caranya bersikap, berpikir, dan menjadi pemimpin yang bukan hanya mampu menciptakan retorika di depan massa, tetapi juga memahami seni berdiplomasi.
Kedekatan Haji Agus Salim dengan Mohamad Roem terlihat manakala PSI sedang dilanda konflik internal. Menjelang dekade 1930-an, isu mengenai haluan kooperasi dan non-kooperasi antara organisasi-organisasi pergerakan bumiputra tengah ramai dibicarakan tak terkecuali oleh kalangan PSI. Ketika itu, Haji Agus Salim condong berpihak pada pilihan kooperasi dengan alasan agar PSI tidak terisolasi. Namun, karena mendapatkan penolakan yang hebat dari tokoh-tokoh PSI lain, maka Haji Agus Salim keluar dari organisasi ini dan mendirikan partai baru bernama Penjadar. Manakala organisasi ini dibentuk, Haji Agus Salim menjabat sebagai Ketua Dewan Partai. Ada pun, untuk posisi Ketua Dewan Eksekutif, ia percayakan kepada muridnya, Mohamad Roem yang ketika itu sedang menjadi mahasiswa hukum di Rechts Hooge School (RHS), Batavia.
Di bawah pimpinan Haji Agus Salim, pernah suatu kali Mohamad Roem bersama pimpinan Penjadar lain diajak melakukan audiensi secara langsung dengan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Tjarda van Starkenborgh Stachhouwer di istananya.[6] Dalam kesempatan itu, pimpinan Penjadar memberikan pandangan terkait dengan situasi pertahanan dan keamanan Hindia Belanda. Dari hasil pengamatan secara langsung ini, Mohamad Roem jadi semakin mengerti betapa kecilnya rasa kepedulian penjajah atas kepentingan kaum bumiputra.
Kebersamaan Mohamad Roem dan Haji Agus Salim terus berlanjut hingga memasuki alam kemerdekaan. Berselang beberapa bulan dari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, keduanya ikut berpartisipasi dalam pelaksanaan Muktamar Umat Islam Indonesia di Yogyakarta pada 7-8 November 1945. Dalam kesempatan itu, muktamar menetapkan Masyumi sebagai satu-satunya partai Islam. [7]Ada pun, Haji Agus Salim diangkat menjadi anggota Majelis Syura, sementara Mohamad Roem ditunjuk menjadi anggota pimpinan partai.[8]
Merepotkan Delegasi Belanda
Nama Mohamad Roem selalu identik dengan perundingan. Kecakapannya dalam berkomunikasi menggunakan bahasa asing, terutama bahasa Belanda dan Inggris, membuat Mohamad Roem dipercaya menjadi “prajurit” untuk menghadapi Belanda di meja perundingan. Debut karirnya sebagai juru runding bermula ketika ia ditunjuk Sutan Sjahrir menjadi anggota delegasi Indonesia menghadapi delegasi Belanda. Saat itu, Mohamad Roem sedang mengemban amanah sebagai Menteri Dalam Negeri atas nama perseorangan dalam Kabinet Sjahrir III.
Perundingan antara pihak Indonesia dan Belanda di Linggarjati dimulai pada 10 November 1946.[9] Delegasi Indonesia kala itu dipimpin langsung oleh Sutan Sjahrir, selaku Perdana Menteri Indonesia merangkap Menteri Luar Negeri, dengan beranggotakan Amir Sjarifuddin, A.K. Gani, Susanto Tirtoprodjo, dan Mohamad Roem. Sedangkan, delegasi Belanda saat itu berstatus sebagai Komisi Jendetal yang dipimpin oleh Willem Schermerhorn, bekas Perdana Menteri Belanda, dengan anggota-anggoatanya yang terdiri atas De Boer, Max van Poll, dan Van Mook. Pada permulaan perundingan ini, Lord Killearn ikut hadir sebagai diplomat Inggris yang menengahi kedua belah pihak.
Di sinilah peran Mohamad Roem sebagai seorang juru runding mulai diperhitungkan oleh kawan maupun lawannya. Walaupun baru terjun pertama kali ke dalam gelanggang perundingan resmi, Mohamad Roem tampil menjadi anggota delegasi Indonesia yang kerap merepotkan delegasi Belanda. Schermerhorn yang memimpin delegasi Belanda saat itu sampai menulis di buku hariannya, bahwa “orang ini (Mohamad Roem) dengan dukungan Masyumi di belakangnya, sejak semula sangat rewel dan menjengkelkan.”[10]
Mohamad Roem memang sering membuat suasana perundingan Linggarjati memanas. Bahkan, ketika perundingan baru saja dimulai, yang diawali dengan sesi memperkenalkan delegasi masing-masing, Mohamad Roem dengan berani menyela pembicaraan Schermerhorn, Ketua Delegasi Belanda. Ia tidak sepakat dengan istilah “Komisi Jenderal” yang dipakai oleh pimpinan delegasi Belanda itu ketika sedang mengenalkan delegasi. Menurut pandangan Mohamad Roem, yang sedang berunding ialah para delegasi bukan pihak lain. Schermerhorn menanggapi penolakan itu dengan penjelasan bahwa mandat Komisi Jenderal itu terbatas dan nantinya istilah yang digugat ini akan diperbaiki sesuai dengan konstitusi Belanda. Sebagai solusinya, maka istilah yang digunakan delegasi Belanda ialah The Comission General as Netherlands delegation. Karena perdebatan ini, Schemerhorn menjelaskan tingkah Mohamad Roem dengan ungkapan bahasa Belanda, “Roem begon hiertegen te steigeren”,[11] yang maknanya Roem meronta seperti kuda.
Mohamad Roem kemudian kembali merepotkan delegasi Belanda setelah mereka menjelaskan tentang adanya keharusan melibatkan pihak-pihak yang tidak terwakili dalam perundingan yaitu wakil-wakil dari Sumatra dan Jawa. Merasa kedudukan Indonesia tidak dihargai oleh Belanda, maka dengan sigap Mohamad Roem menolak wacana itu dengan alasan bahwa delegasi Indonesia juga sudah cukup merepresentasikan kehadiran wakil-wakil daerah tersebut. Mendengar penjelasan dari Mohamd Roem, delegasi Belanda menjadi berang. Mereka menolak pemaparan delegasi Indonesia, oleh sebab itu, perdebatan antara kedua belah pihak ini tak bisa terhindarkan sehingga perundingan terpaksa harus diskors.
Tak berhenti sampai di sana, menjelang akhir perundingan Linggarjati, Mohamad Roem menginterupsi pimpinan sidang. Ia tidak sepakat dengan delegasi Belanda yang mengusulkan Lord Killearn menutup perundingan. Walaupun saat itu, Mohamad Roem diberi tahu bahwa rencana itu sebelumnya sudah disetujui Presiden Sukarno, tetapi Mohamad Roem masih tetap ingin melanjutkan pembicaraannya.
Sebelum pertemuan ditutup, ia mengusulkan rumusan baru untuk rancangan pasal 1. Mohamad Roem menerangkan bahwa di hari-hari sebelumnya, ia telah menuliskan pandangannya ini dalam secarik kertas berwarna merah jambu. Tetapi, karena kertas itu sengaja disembunyikan oleh seseorang bernama Samkalden. Alhasil, perundingan yang semula diperkirakan akan berlangsung cepat, rupanya harus memakan waktu lama lagi karena interupsi dari Mohamad Roem.
Naskah perundingan di Linggarjati ini diparaf oleh para delegasi pada 15 November 1946. Secara garis besar, lewat perundingan ini Belanda mengakui kedaulatan Indonesia atas wilayah Sumatra, Jawa, dan Madura. Selanjutnya, kedua belah pihak bersepakat akan mendirikan Republik Indonesia Serikat selambat-lambatnya pada 1 Januari 1949.[12] Kemudian, negara serikat ini akan menjadi bagian dari Uni Indonesia-Belanda dengan Ratu Belanda sebagai pimpinannya. Meski naskah ini dapat diselesaikan dalam waktu yang tidak terlalu lama, naskah ini baru disahkan empat bulan kemudian, tepatnya pada 25 Maret 1947.
Hal ini disebabkan karena sebenarnya Pemerintah Belanda menolak hasil perundingan tersebut. Melalui delegasinya yang terlibat dalam perundingan Linggarjati, pihak Belanda menekan pihak Indonesia supaya bersedia menerima hasil perjanjian ini dengan penafsiran mereka. Perbedaan penafsiran ini membuat hubungan Indonesia dan Belanda tegang kembali.
Mohamad Roem yang sejak awal perundingan bersikap radikal, terus menerus menentang tafsiran Belanda. Sedangkan, Sutan Sjahrir yang bersikap moderat akhirnya takluk pada keinginan mereka, akibat hal itu, Kabinet Sjahrir III jatuh pada 3 Juli 1947. Meskipun karir Mohamad Roem ikut terhenti seiring jatuhnya kabinet ini, namun kiprahnya sebagai juru runding Indonesia berlanjut dalam Kabinet Hatta hingga pada puncaknya ia sukses mencetak sejarah melalui Perjanjian Roem-Roijen pada 1949.
Oleh: Naufal Al-Zahra – Pegiat Sejarah dan Aktivis Pemuda Persatuan Islam (Persis) Sumedang
[1] Soemarso Soemarsono, Mohamad Roem 70 Tahun. Jakarta: Bulan Bintang, 1978, hlm. 1.
[2] Ibid, hlm. 35.
[3] Penulisan nama lengkap ini dipatenkan setelah lulus dari RHS pada 1939. Ibid, hlm. 3.
[4] Ibid, hlm. 6
[5] Yudi Latif, Inteligensia Muslim dan Kuasa. Jakarta: Kencana, 2021. hlm. 266
[6] Soemarso Soemarsono, op cit, hlm. 38.
[7] Kedaulatan Rakjat, 9 November 1945
[8] PB. Masjoemi, Masjoemi Partai Politik Oemmat Islam Indonesia. Tanpa kota: Pengoeroes Besar Masjoemi Jogjakarta, 1945, hlm. 3.
[9] Perundingan ini merupakan perundingan lanjutan yang dilaksanakan oleh delegasi Indonesia dan Belanda di Jakarta pada bulan Oktober 1946. Lihat dalam Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, dan Ediati Kamil, Kronik Revolusi Indonesia Jilid II (1946). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 1999, hlm. 492-494.
[10] Soemarso Soemarsono, op cit, hlm. 131.
[11] Ibid, hlm. 127.
[12] Pramoedya Ananta Toer, dkk. op cit, hlm. 502.