Tingkah laku Gibran Rakabuming Raka menjadi sorotan publik. Meski bergelar sosok muda yang mengemban jabatan politik, nyatanya tak lepas dari kontroversi. Untuk itu, sebagai bahan refleksi, melalui artikel ini akan diuraikan seorang figur muda yang pernah berkuasa di negeri ini. Lantas, siapakah ia? Bagaimana dengan sikap dan rekam jejaknya?
Pemuda Kaya Pengalaman
Masa muda selalu dikatakan sebagai masa prima seorang manusia. Nasib seseorang di masa tua ditentukan pada berbagai perbuatannya ketika masih muda. Burhanuddin Harahap nampaknya termasuk ke dalam golongan orang yang ketika memasuki hari tua memetik buah pencapaian yang diperolehnya setelah melewati perjuangan panjang saat berusia muda. Namanya terpatri dalam memori kolektif bangsa sebagai Perdana Menteri Indonesia ke-5 di era Demokrasi Parlementer. Ia populer atas pencapaiannya dalam melaksanakan Pemilihan Umum (Pemilu) 1955, pesta demokrasi pertama di Indonesia.
Burhanuddin terlahir dari keluarga yang cukup terpandang pada zamannya. Ia dilahirkan di sebuah kota kosmopolitan di Sumatra Utara yakni Medan pada 12 Februari 1917.[1] Mewarisi nama marga “Harahap” dari orang tuanya, ayah Burhanuddin bernama Mohammad Junus, seorang Mantri Kepolisian Sumatra Timur yang sering kali berpindah tugas dari satu tempat ke tempat yang lain, sedangkan ibunya bernama Siti Nurfiah.
Burhanuddin memang tidak memperoleh pendidikan Islam secara formal. Ia menamatkan seluruh jenjang studinya di sekolah-sekolah Belanda. Meski begitu, pria yang dilahirkan di Medan ini belajar memperdalam Islam dengan mengikuti Jong Islamieten Bond (JIB).
Pada awalnya, perjalanan studi Burhanuddin berlangsung dengan mulus sekalipun ia sangat aktif berorganisasi. Ia tergolong murid bumiputra yang cerdas. Oleh sebab itu Burhanuddin berkesempatan melanjutkan jenjang studinya ke Algemene Middelbare School (AMS) dan Rechts Hoge School (RHS). Sekolah-sekolah itu adalah lembaga pendidikan elit di Pulau Jawa.
Di tanah perantauan, pengalaman organisasi Burhanuddin semakin mantap. Sewaktu belajar di RHS, ia bergabung dengan Studenten Islamische Studieclub (SIS). Di SIS, ia didapuk menjadi sekretaris mendampingi Prawoto Mangkusasmito selaku ketuanya.
Sebagai pemuda yang haus pengalaman, Burhanuddin melakoni kiprah aktivisnya dengan menjadi anggota Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI). Saat itu, ia menjadi perwakilan dari SIS. Selama menjadi anggota PPPI, nalar kritis dan cakrawala pemikirannya makin terbuka.
Burhanuddin, pemuda yang baru berusia 25 tahun mulai dikenal Dwi-Tunggal Indonesia ketika berdiri menyampaikan sambutan dalam acara malam perjumpaan Bung Karno dan Bung Hatta yang telah kembali dari pengasingan di Gedung Deutsches Haus, Jakarta pada 1942.[2] Sayangnya, studi di RHS tidak terselesaikan, berhubung ketika itu Tentara Pendudukan Jepang berhasil menguasai Hindia Belanda. Karenanya, ia melanjutkan studinya di UGM hingga meraih gelar Meester in de Rechten (Sarjana Hukunm) pada 1951.
Pimpinan Masyumi Termuda
Muktamar Umat Islam di Yogyakarta pada 7-8 November 1945 menetapkan salah satu resolusi yang isinya menjadikan Masyumi sebagai partai politik tunggal umat Islam di Indonesia.[3] Ketika itu, Prawoto masuk ke dalam jajaran PB Masyumi. Ia menjadi sosok yang mengantarkan Burhanuddin bergabung ke dalam partai Islam ini.
Dalam sebuah perbincangan di rumah Soekiman Wirjosandjojo pada November 1946, Prawoto merekomendasikan nama Burhanuddin kepada Soekiman yang kala itu menjabat sebagai Ketua PB Masyumi. Saat itu, Burhanuddin berusia 29 tahun. Soekiman cukup tertarik dengan penjelasan Prawoto. Ia lantas menerima Burhanuddin untuk berjuang bersama di partai yang dipimpinnya. Mula-mula, Burhanuddin ditempatkan oleh Soekiman sebagai anggota sekretariat Masyumi.
Selama bekerja di sekretariat partai, Burhanuddin menunjukkan perilaku yang menarik hati jajaran PB Masyumi. Kala itu, ia adalah anggota pimpinan Masyumi termuda.
“Setiap hari ia bertjokol di kantor partai dengan kehidupannja jang sederhana djua. Sifat tenang dan sabarnja, sungguh² menarik hati kalangan Pengurus Besar seluruhnja. Bukan sadja radjinnja, tetapi ketjakapannja sangat dipudjikan.”[4]
Di tengah kesibukannya di kantor Masyumi yang ketika itu masih berkedudukan di Yogyakarta, Burhanuddin kerap kali menangani persoalan umum, organisasi, ketatanegaraan, hukum, dan hal lainnya. Burhanuddin dipilih menjadi anggota BP-KNIP mewakili Masyumi. Ia terus menerus bekerja di badan ini hingga Belanda mengakui kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949.
Takala KNIP berubah menjadi DPR, Burhanuddin tetap menjadi anggotanya. Ia menjadi Ketua Fraksi Masyumi di DPR menggantikan Prawoto yang kala itu dipilih menjadi Wakil Perdana Menteri mendampingi Wilopo. Saat berkiprah di Masyumi, Burhanuddin sangat tertarik dengan isu pemilu. Ia pernah dipilih menjadi Ketua Komite Aksi Pemilihan Umum (KAPU) Masyumi yang dibentuk pada 1948. KAPU Masyumi ini didirikan lagi pada 1952 dan Burhanuddin tetap dipercaya menjadi ketuanya.[5]
Perhatian pada soal pemilu dicurahkannya dalam partisipasi badan lain di luar partai. Manakala pemerintah mendirikan Kantor Pemilihan Pusat (KPP), Burhanuddin masuk mejadi salah satu pengurusnya. Pemahamannya yang mendalam pada soal pemilu, berguna sekali saat ia menjadi Perdana Menteri.
Pemuda Sederhana dan Beretika
Sikap Burhanuddin yang masyhur di kalangan orang-orang Masyumi ialah kesederhanaannya. Setelah kantor Masyumi pindah ke Jakarta, ia tidak membawa istri dan anaknya yang berada di Yogyakarta.[6]
Kesederhanaan Burhanuddin nampak dalam aktivitasnya sebagai anggota pimpinan partai. Jika ada rapat Masyumi yang dilaksanakan di rumah Natsir atau K.H. Faqih Usman yang berlokasi di Jalan Jawa, ia lebih senang datang berjalan kaki.[7] Selain itu, Burhanuddin sering kali dilihat oleh kawan-kawannya jarang mengenakan jas dan dasi. Ia lebih suka mengenakan kemeja. Bahkan, ketika dipercaya menjadi formatur kabinet, ia datang ke Istana Negara hanya mengenakan kemeja berlengan pendek.[8]
Pemuda dari Medan ini sangat menjunjung tinggi etika. Ia rendah hati, tidak senang menjadi pusat perhatian, dan pendiam.
“Sungguhpun paling muda, tetapi paling tenang, paling sabar, paling sederhana, paling pendiam, dan paling tidak menjukai menondjolkan diri. Para Pimpinan Partai Masjumi jang lain tentu akan mengakui ini, dan takkan membantah kebenaran ini.”[9]
Dalam kesehariannya, Burhanuddin senang sekali membaca buku. Ia tidak senang dengan acara-acara semacam resepsi atau pesta yang umumnya digandrungi anak-anak muda pada zamannya.[10]
Menjadi Perdana Menteri
Pada awal kemerdekaan, kepala pemerintahan Indonesia kerap silih berganti. Meskipun, Bung Karno dan Bung Hatta adalah Presiden juga Wakil Presiden, namun urusan pemerintahan sesungguhnya dipimpin oleh Perdana Menteri dari partai tertentu.
Masyumi merupakan salah satu partai terkuat pada 1950-an. Beberapa kader partai ini pernah dipercaya menjadi Perdana Menteri. Kader-kader Masyumi yang tercatat pernah menjadi Perdana Menteri yaitu Natsir (1950-1951) dan Soekiman (1951-1952).
Burhanuddin tidak pernah sekali pun berambisi untuk menduduki jabatan Perdana Menteri. Ia menyadari, masih banyak tokoh-tokoh senior yang lebih layak menduduki posisi tersebut. Namun, setelah Kabinet Wilopo (1952-1953) jatuh dan usianya baru saja mencapai 36 tahun, para pimpinan Masyumi memintanya menjadi formatur kabinet. Mendengar hal demikian, Burhanuddin terkejut karena dirinya masih sangat muda. Burhanuddin mengaku belum berpengalaman. Oleh karena pimpinan Masyumi telah bersepakat menunjuknya. Ia pun berusaha melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya.
Sayangnya, saat itu, ia gagal membentuk kabinet karena formatur kabinet dari PNI yaitu Sukri Hadikusumo nampak sengaja mempermainkannya.[11] Kesempatan menjadi formatur kabinet tiba untuk kedua kalinya kepada Burhanuddin. Ketika itu, Kabinet Ali Sastroamidjojo I (1953-1955) telah resmi mundur.
Berbekal pengalaman sebelumnya, kali ini, Burhanuddin dapat menyelesaikan tugasnya dengan baik. Ia mempelajari secara teliti masing-masing orang yang diusulkan oleh para pimpinan partai agar dapat menjalankan tugas sesuai keahliannya.
Keberhasilannya dalam membentuk kabinet, menjadikan Burhanuddin sebagai salah satu kepala pemerintahan (baca: Perdana Menteri) Indonesia yang relatif berusia muda. Saat itu usianya baru 38 tahun. Burhanuddin berhasil menduduki jabatan ini melalui usaha yang tak instan. Ia sama sekali tidak mangakali konstitusi, apalagi sampai memanfaatkan hak istimewa dari ayah maupun paman untuk mencapai posisi tersebut.
Komposisi Kabinet
Burhanuddin ditugaskan menjadi formatur kabinet oleh Wakil Presiden RI, Mohammad Hatta setelah Kabinet Ali I jatuh. Sebelumnya, Bung Hatta telah menunjuk tiga orang yang diharapkan mampu menyusun kabinet yaitu Soekiman Wirjosandjojo dari Masyumi, Wilopo dari PNI, dan Assaat sebagai wakil independen.[12]
Ketiga orang tersebut diberi perintah oleh Bung Hatta untuk membentuk kabinet yang diisi oleh orang-orang jujur dan disegani.[13] Akan tetapi, rupanya mereka tidak berhasil melaksanakan amanah Bung Hatta. Sehingga, tiga tokoh itu mengembalikan mandatnya kepada Bung Hatta. Menanggapi situasi ini, Bung Hatta mencoba menghubungi Masyumi. Saat itu, antara pimpinan Masyumi dengan Bung Hatta sepakat menunjuk Burhanuddin menjadi formatur. Berhubung punya pengalaman melaksanakan tugas sebagai formatur, maka ia pun menyanggupi permintaan Bung Hatta.
Burhanuddin cukup banyak belajar dari pengalaman sebelumnya. Ia merasa akan sulit memperoleh kesesuaian paham dengan PNI. Perhitungannya benar-benar tidak meleset. PNI menolak tawaran kursi kabinet dari Burhanuddin. Sebagai gantinya, Burhanuddin menggalang dukungan dari PSI, NU, PSII, Katolik, dan Parkindo serta partai-partai nasionalis kecil lainnya. Setelah mempelajari orang-orang yang diajukan oleh partai, tanpa perlu waktu lama, ia segera menyerahkan draf komposisi kabinet pada 10 Agustus 1955.[14]
Susunan kabinet disahkan dan dilantik oleh Presiden dan Wakil Presiden RI pada 12 Agustus 1955.[15] Burhanuddin sendiri, di samping menjadi Perdana Menteri, ia juga rangkap jabatan sebagai Menteri Pertahanan. Ada pun, susunan kabinet yang dimaksud ialah sebagai berikut:
Perdana Menteri: Mr. Burhanuddin Harahap (Masyumi)
Wk. Perdana Menteri I: Djanu Ismadi (PIR-Hazairin)
Wk. Perdana Menteri II: Harsono Tjokroaminoto (PSII)
Menteri Luar Negeri: Mr. Ide Anak Agung Gde Agung (Demokrat)
Menteri Dalam Negeri: Mr. Sunarjo (NU)
Menteri Pertahanan: Mr. Burhanuddin Harahap (Masyumi)
Menteri Kehakiman: Mr. Lukman Wiriadinata (PSI)
Menteri Penerangan: Mr. Sjamsuddin Sutan Makmur (PRN)
Menteri Keuangan: Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo (PSI)
Menteri Pertanian: Mohammad Sardjan (Masyumi)
Menteri Perekononian: I.J. Kasimo (Katolik)
Menteri Perhubungan: F. Laoh (PRN)
Menteri Muda Perhubungan: Asrarudin (Partai Buruh)
Menteri PU dan Tenaga: R. Pandji Soeroso (Parindra)
Menteri Perburuhan: I. Tedjasukmana (Partai Buruh)
Menteri Sosial: Sudibjo (PSII)
Menteri PP & K: Prof. Ir. R.M. Soewandi (Parindra)
Menteri Agama: K.H. Moh. Iljas (NU)
Menteri Kesehatan: dr. Johannes Leimena (Parkindo)
Menteri Agraria: Mr. Goenawan (PRN)
Menteri Negara: Abdul Hakim (Masyumi)
Menteri Negara: Soetomo (PRI)
Menteri Negara: Drs. Coomala Noor (PIR)[16]
Dengan jumlah menteri sebanyak 22 orang, Kabinet Burhanuddin Harahap sukses melaksanakan beberapa program. Di antaranya yaitu 1) menekan inflasi, 2) menindak koruptor, 3) pembenahan internal TNI AD, dan 4) melaksanakan Pemilu 1955.
Mengatasi Inflasi
Inflasi menjadi isu yang secara langsung dihadapi oleh Kabinet Burhanuddin Harahap. Kebijakan ekonomi yang dicetuskan Kabinet Ali I menyebabkan kenaikan harga kebutuhan pokok. Kabinet Ali I berkomitmen melaksanakan kebijakan perekonomian yang berpihak pada pengusaha bumiputra dan masyarakat umumnya. Para pengusaha memperoleh kemudahan akses untuk menjalankan bisnisnya, sehingga diharapkan dapat bersaing dengan para pemodal asing.
Namun, rupanya kebijakan perekonomian tersebut berimbas langsung pada masyarakat. Peredaran uang berlangsung cepat dan menumpuk, akibatnya harga-harga kebutuhan pokok menjadi naik. Oleh karena itu, daya beli masyarakat cenderung turun. Merespon hal tersebut, Sumitro Djojohadikusumo selaku Menteri Keuangan, menerapkan kebijakan yang cukup efektif mengatasi inflasi. Berbagai peraturan khusus impor dan ekspor dihapuskan, sehingga harga barang-barang impor turun terutama tekstil. Kebijakan Sumitro sukses membuat nilai rupiah di pasar bebas meningkat tajam. Di samping itu, harga emas juga menjadi turun.[17]
Menangkap Koruptor
Perilaku koruptif nampak tumbuh pada masa Kabinet Ali I. Masa jabatan kabinet yang terbilang lama mendorong sebagian pejabat terasnya untuk mendapatkan keuntungan dengan cara yang tidak halal.
Isu ini ditanggapi oleh Kabinet Burhanuddin Harahap dengan cepat, namun tetap berhati-hati. Djody Gondokusumo dan Iskaq Tjokroadisurjo menjadi dua bekas menteri pada Kabinet Ali I yang menjadi sasaran penangkapan akibat tindakan korupsi.[18] Di bawah arahan Lukman Wiriadinata, selaku Menteri Kehakiman, proses hukum terhadap Djody dapat dilaksanakan. Sementara, Iskaq yang ketika itu sedang berada di Eropa segera dipanggil pulang, namun mangkir. Ia lolos dari penangkapan.
Kebijakan yang tegas terhadap koruptor menjadi program yang sangat membanggakan. Untuk memberantas tindakan korupsi, Kabinet Burhanuddin Harahap merumuskan RUU Anti-Korupsi. Sayangnya, RUU Anti-Korupsi ini gugur sebelum berkembang. Pasalnya, saat itu, NU sebagai partai pendukung pemerintah, merasa keberatan atas rencana tersebut.[19] Terlebih lagi, yang menjadi Menteri Dalam Negeri kala itu adalah orang NU yakni Sunarjo.
Menyelesaikan Masalah Internal TNI AD
Alasan yang membuat Burhanuddin rangkap jabatan Perdana Menteri sekaligus Menteri Pertahanan disebabkan oleh situasi internal TNI AD yang tidak kondusif. Pada masa Kabinet Ali I, hubungan pemerintah dengan tentara relatif kurang harmonis.
Iwa Kusumasumantri, Menteri Pertahanan pada kabinet tersebut mengangkat Bambang Utojo sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Pengangkatan Bambang Utojo menimbulkan kisruh di internal TNI AD lantaran sebelumnya para perwira TNI AD yang dicalonkan menjadi KSAD sepakat untuk tidak menerima pengangkatan jabatan itu. Akibat kebijakan itu, Iwa Kusumasumantri mundur dari jabatannya. Tak berselang lama, Kabinet Ali I pun bubar. Kemudian, masalah KSAD ini menjadi tanggungan kabinet setelahnya.
Burhanuddin sebagai Menteri Pertahanan memerintahkan Zulkifli Lubis selaku Kepala Markas Besar Angkatan Darat (MBAD) untuk segera melakukan pendataan terhadap perwira-perwira TNI AD.[20] Ia menghendaki agar para perwira tersebut didata dan dinilai berdasarkan kualifikasi yang berlaku untuk dijadikan KSAD yang definitif (pasti). Setelah melewati rangkaiannya, ditetapkan Kolonel A.H. Nasution sebagai KSAD definitif berdasarkan penilaian yang berlaku. Setelah pengangkatan ini, Burhanuddin melakukan rekonsiliasi internal TNI AD, ia mengingatkan agar TNI AD sama-sama legowo atas Peristiwa 17 Oktober 1952 yang telah berlalu.
Di Sekitar Uni Indonesia-Belanda
Hubungan antara Indonesia dan Belanda masih menjadi perbincangan hangat memasuki dekade 1950-an. Secara yuridis, Indonesia masih terikat dengan hasil Konferensi Meja Bundar (KMB). Salah satu butir hasil KMB adalah pembentukan Uni Indonesia-Belanda. Badan ini mulanya ditujukan sebagai wadah kerjasama pemerintah negara-negara bekas jajahan Belanda dengan Belanda itu sendiri. Uni dikepalai oleh Ratu Belanda.
Upaya melepaskan diri dari ikatan Belanda diupayakan oleh Kabinet Burhanuddin Harahap. Mula-mula, pemerintah mengirim misi delegasi pada beberapa negara di antaranya ke kawasan Amerika Tengah, Amerika Latin, dan Australia guna meraih simpati mereka di forum PBB dalam menghadapi Belanda. Sementara itu, Ide Anak Agung Gde Agung sebagai Menteri Luar Negeri, berusaha berunding dengan Belanda membahas status Uni Indonesia-Belanda. Pertemuan antara delegasi Indonesia dan Belanda dilaksanakan di Jenewa, Swiss pada 6 Januari 1956.
Hasil perundingan rupanya menguntungkan Indonesia. Belanda menyetujui tuntutan-tuntutan Indonesia, yang di antaranya adalah pembubaran Uni. Namun, setelah hasil perundingan disampaikan kepada pemerintah masing-masing, Belanda tak kunjung memberikan tanggapan. Sedangkan, dalam kabinet terjadi pergolakan yang cukup pelik.[21] Sekalipun begitu, pemerintah tetap merumuskan dan mengajukan RUU Pembubaran Uni Indonesia-Belanda secara unilateral (sepihak). Setelah melewati perdebatan sengit di DPR, tatkala draf RUU diberikan pada Presiden Sukarno, ia tidak berkenan menandatanganinya. Akibatnya, pembubaran Uni gagal direalisasikan pada masa kabinet ini.
Oleh: Naufal Al-Zahra – Pegiat Komunitas Jejak Islam untuk Bangsa (JIB) dan Aktivis Pemuda Persis
[1] Badruzzaman Busyairi, Boerhanoeddin Harahap Pilar Demokrasi. Jakarta: Bulan Bintang, 1989, hlm. 6
[2] Ibid, hlm. 17
[3] Kedaulatan Rakjat, 9 November 1945
[4] Suara Partai Masjumi, No. 8, Agustus 1953, hlm. 12
[5] Ibid, hlm. 13
[6] Burhanuddin Harahap menikah pada usia 32 tahun, saat sedang mengungsi akibat Agresi Militer Belanda II. Ia menikah dengan seorang putri Lurah Sidorejo bernama Siti Bariyah pada 12 Desember 1949. Melalui pernikahannya, pasangan ini dikaruniai seorang anak lelaki bernama Johan Arifin. Lihat dalam Badruzzaman Busyairi, op cit, hlm. 30-32
[7] Suara Partai Masjumi, loc cit, hlm. 12
[8] Ibid.
[9] Ibid, hlm. 13
[10] Ibid.
[11] Badruzzaman Busyairi, op cit, hlm. 38
[12] Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia. Jakarta: Equinox Publishing, 2007, hlm. 416
[13] Ibid.
[14] Badruzzaman Busyairi, Boerhanoeddin Harahap Pilar Demokrasi. Jakarta: Bulan Bintang, 1989, hlm. 42
[15] Ibid.
[16] Lihat dalam Herbert Feith, op cit, hlm. 418-419; Badruzzaman Busyairi, ibid, hlm. 42-43
[17] Herbert Feith, ibid, hlm. 426
[18] Djody Gondokusumo menjabat sebagai Menteri Kehakiman, berasal dari PRN. Sementara, Iskaq Tjokroadisurjo adalah Menteri Perekonomian dari PNI. Ibid, hlm. 338-339.
[19] Badruzzaman Busyairi, op cit, hlm. 56
[20] Ibid, hlm. 63
[21] NU sangat kecewa berhubung urusan Irian Barat dikesampingkan oleh pemerintah ketika berunding dengan Belanda. Oleh sebab itu, NU mengundurkan diri dari kabinet pada 19 Januari 1956. Lihat dalam Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967. Yogyakarta: LKis, 2003, hlm. 213-214.