Cut Nyak Dien ketika ditangkap. Sumber foto: Perang Kolonial Belanda di Aceh. The Dutch Colonial War in Acheh (1997). Banda Aceh: The Documentation and Information Center of Acheh
Cut Nyak Dien ketika ditangkap.
Sumber foto: Perang Kolonial Belanda di Aceh. The Dutch Colonial War in Acheh (1997). Banda Aceh: The Documentation and Information Center of Acheh

Badan kurusnya terbujur di sebuah gubuk reyot ditengah hutan rimba, Bagelen Barat. Ia sedang berjuang melawan malaria tropika parah yang menghantam tubuhnya. Bukan hanya malaria yg turut merontokkan perjuanganannya selama ini. Tapi juga tertangkapnya Kiyai Maja, dan menyerahnya sang panglima Sentot Ali Basah. Saat itu, di sampingnya hanya ada dua orang punakawannya. Yang lain, tinggal sedikit dan tercerai berai.

Akhirnya surat itu datang juga. Tawaran berunding. Ia -Pangeran Diponegoro- menerima tawaran itu. Hatinya sudah tak sekukuh keyakinannya dahulu akan peperangan ini. Bukan main senang Jenderal De Kock. Ada juga kemungkinan peperangan ini akan berakhir dengan perundingan. Namun apa lacur, datang surat dari Negeri Belanda. Raja Willem I sendiri yang menitahkannya. Di bawa langsung oleh Gubernur Jenderal Hindia yang anyar, Johannes Van Den Bosch.

“Jangan melakukan perundingan apa pun dengan dia…hanya dengan syarat pemenjaraan seumur hidup penyerahan diri dan penangkapannya diizinkan. Tidak ada syarat lain apa pun juga (yang dapat diterima).[1]

Sang Pangeran Jawa paham peperangan tak sedahsyat dulu. Perang Jawa memang melelahkan bagi kedua belah pihak. Diperkirakan 200.000 nyawa orang Jawa melayang. 15.000 tewas dari pihak Belanda. Seperempat lahan pertanian di Jawa rusak. Pemerintah Kolonial menanggung beban tak terperikan, 20 Juta gulden menguras kantong mereka. Keuangan mereka jebol. Ditambah lagi api perlawanan juga berkobar turut di Sumatera Barat. Atas luapan jiwa Islam pula. Perundingan memang menjadi jalan yang memungkinkan bagi kedua pihak. Sayang, titah Raja Willem I itu datang terlambat, De Kock terlanjur menawarkan perundingan kepada Pangeran Diponegoro. De Kock dalam posisi sulit.

Pangeran datang bersama 800 orang pengikut yang menggabungkan diri selama perjalanan ke Magelang. Namun mereka bukanlah pengikut yang siap bertarung mati-matian. Sejatinya perjalanan itu adalah perjalanan bebasnya yang terakhir. De Kock bukannya tanpa tekanan. Ia melukiskan perasaannya yang sudah terlanjur mengajak berunding, namun dilarang oleh Raja Willem I.

“Saya menyadari bahwa cara bertindak seperti itu di pihak saya tidak terpuji, tidak kesatria, dan licik (onedel en oneerlijk) karena Diponegoro telah datang ke Magelang menemui saya dengan niat baik.”[2]

Setelah menunggu hingga berakhirnya bulan puasa, hari penentuan telah tiba. 28 maret 1830. Awalnya pertemuan begitu hangat. Kemudian keadaan mulai menemui kebuntuan. Pangeran tidak mengharapkan untuk menyelesaikan pembicaraan apa pun hari itu. Tetapi, ketika tahu ia tidak boleh pergi, Pangeran begitu marah. Apa yang dijanjikan; jika tidak ada kesepakatan, seharusnya Pangeran Diponegoro boleh pergi. De Kock tahu, hal itu tidak mungkin. Titah Raja Willem I tak mungkin ditampik. Lagipula, Ia ingin perang ini segera berakhir. Pangeran Diponegoro kemudian dikepung. Tapi tak ada perlawanan. Hari itu Sang Pangeran takluk dibawah kuasa De Kock.

Saat itulah kisah heroik sang pangeran sampai pada lembaran yang terakhir. Ia dilumpuhkan dengan penipuan. Apakah pangeran tahu bahwa ia akan diingkari? Mungkin saja. Yang pasti sejak beberapa bulan sebelumnya, ia pernah berkata kepada Mangkubumi, bahwa dirinya telah menerima pertanda (wangsit) bahwa perjuangannya akan sia-sia.[3]

Lembaran pemimpin perang ini berganti menjadi lembaran hidup seorang tahanan yang diasingkan. Dari Batavia ia dibawa ke Manado. Setelah tiga tahun di Manado,ia diasingkan ke Makassar. Di dalam Benteng Rotterdam. Ditemani istrinya, Raden Ayu Retnoningsih, di sana ia menjalani hari-hari hingga ajal menjemputnya. Menjelang Revolusi Perancis, 1848, sebuah Koran Perancis memuat kehidupan Sang pangeran dipengasingan.

Dikurung di antara empat dinding tembok suatu benteng kecil, terpisah dari keluarganya, diawasi dengan ketat, tak diizinkan menulis surat baik kepada Gubernur-Jenderal, maupun kepada orang lain, diperlakukan selama delapan belas tahun terakhir ini dengan cara-cara yang keras dan kejam yang tidak layak dilakukan oleh negeri ini.”

Dalam pengasingannya, ia merindukan sosok ibunya, Raden Ayu Mangkorowati untuk menemaninya. Permintaannya agar sang Ibu didatangkan ke Makassar tidak pernah dipenuhi. Dalam rasa rindu yang begitu dalam kepada ibunya, bilamana ada kapal uap memasuki Bandar Makassar, dirinya akan menaiki tangga ke lantai teratas untuk menatap lepas ke pelabuhan. Guna melihat apakah sang ibu telah tiba. Berharap kapal-kapal tersebut akan membawa ibundanya. Sampai akhir hayatnya, harapan itu tak pernah tercapai. Sang Pangilma perang itu pun wafat sebagai orang yang terasing dari bangsanya sendiri dalam kesepian.

Sungguh, padamnya perang Jawa membuat Pemerintah kolonial Belanda, bertindak leluasa. Api peperangan di Sumatera Barat yang dikobarkan Haji-Haji “Paderi” beberapa tahun sebelumnya akhirnya semakin redup. Pasukan pemadam perlawanan para Tuanku itu kini didatangkan bertubi-tubi. Jawa bukan lagi beban yang memberatkan. Kaum Paderi yang telah terkoyak serta terpecah menunggu ajalnya.

Inilah pertahanan Paderi yang penghabisan. Setelah menyerahnya Tuanku Imam Bonjol, pasukan Belanda menggabungkan kekuatannya menggempur Dalu-dalu. 28 Desember 1838. Sudah 14 bulan lamanya mereka berusaha mengepung pertahanan Dalu-dalu. Kurban sudah bergelimpangan. Haji Muhammad Saleh, lebih dikenal dengan Tuanku Tambusai, adalah sisa dari tokoh Paderi yang diburu. Benteng paderi terakhir itu akhirnya benar-benar tumbang. Pengikutnya banyak yang gugur ditembaki. Sebagian lainnya mundur keluar gerbang. Menuju ke sungai. Perahu yang hendak dipakai melarikan diri tak mencukupi. Banyak dari mereka yang melompat ke sungai. Esoknya banyak yang mati mengambang di sungai itu. Entah ditembaki atau karena tenggelam tak pandai berenang. Mereka yang berhasil menyeberangi sungai mati dibunuh jua. Tapi Tuanku Tambusai tak jelas rimbanya. Menurut cerita yang beredar kemudian, ketika benteng runtuh, ia menyelamatkan diri ke sungai dengan menggunakan sampan. Ia kemudian dihujani peluru. Melihat bahaya mengancam ia terjun ke dalam air dan menyelam. Kemudian menghilang, hingga kini. Yang tersisa hanya sampannya. Di dalamnya ditemukan cincin stempelnya. Al Qur’an, dan kita-kitab yang dibawanya dari Mekkah. Dengan runtuhnya Dalu-dalu, berakhir sudah perlawanan kaum Paderi di sumatera.[4]

Api Islam yang menyala-nyala dalam dada ulama dan umat memang menjadi biang kerok kemapanan Belanda di Nusantara. Tahun 1873, api itu kembali berkobar hebat di ujung Sumatera. Perang yang akan berlangsung setidaknya hingga 40 tahun kemudian itu membuat keuangan pemerintah kolonial terkuras. Kematian Jenderal Kohler pada ekspedisi pertama mereka di Aceh, membuat mereka semakin mengganas. Pemerintah kolonial tanpa ampun menghabisi rakyat aceh yang melawan. . Perang ini dikenal sebagai perang pembantai wanita dan anak-anak. Tapi hebatnya, wanita Aceh pula yang dikenal tidak punya rasa takut terhadap tentara penjajah. Menurut penulis Belanda, Zentgraaf,

“Vrouwen als deze waren er bij honderden, wellicht duizenden (wanita aceh yang seperti ini ada ratusan, mungkin ribuan).” Di lain kesempatan Zentgraaff mengatakan, “en dat de

vrouwen van dit volk alle andere overtreffen in moed en doodsverachting,” yang dalam terjemahan bebasnya berarti wanita bangsa ini melampaui orang lain dalam keberanian dan berani mati.[5]

Salah satu wanita yang kelak akan dikenang seperti itu, adalah istri seorang pria keturunan bangsawan, bernama Cut Muhammad. Sang suami yang sedang menunggu eksekusi hukuman mati oleh penjajah, berpesan pada istrinya, yang sedang menggendong anak mereka, Teuku Raja Sabi.

Tidak perlu bersedih hati, Cut.”

Allah Maha Adil dan Bijaksana. Apa yang akan saya alami adalah rangkaian dari perjuangan. Bukankah sama saja artinya bila saya jatuh terkapar di medan pertempuran atau mati ditembak?  Kedua-duanya adalah dengan peluru musuh.”

“…”lanjutkan perjuangan bersama-sama rekan seperjuangan kita.”

“…setelah aku menjalani hukuman nanti dan idahmu telah selesai, kawinlah dengan Pang Nanggroê.”[6]

Pesan seorang suami yang ditaati istrinya beberapa bulan kemudian. Menikahlah Pang Nanggroê, dengan wanita tadi. Wanita itu dikenal dengan nama Cut Meutia. Sedangkan Pang Naggroê adalah panglima dari suaminya yang terdahulu.

Enam tahun lamanya Cut meutia dan suaminya, Pang Naggroê, bergeriliya dalam rimba, terletak di daerah sungai Wojla dan sungai Meulaboh. Kecekatan pasukan dibawah pimpinan suami istri ini memaksa kolonial Belanda untuk menerjunkan pasukan Marechaussee (Mersose) yang dikenal kejam. Ironisnya gagasan terciptanya pasukan ini atas ide seorang bernama Mohammad Syarief. Seorang Commis di kantor Gubernur Aceh, di Kutaraja.[7]

Pada 24 September 1910, Cut Meutia kembali menjanda, setelah suaminya Pang Nanggroê syahid diterjang peluru. Cut Meutia kemudian mengambil alih komando dalam pasukannya. Sementara Kolone Macan dari pasukan mersose terus memburu Cut Meutia. Sebulan kemudian, 25 Oktober 1910, Kolone Macan dipimpin Sersan WJ Mosselman menyerbu Gunong Lipeh. Cut Meutia dan pasukannya terkepung. Dua kali Sersan Mosselman, meminta Cut Meutia- yang terkepung sangkur dan senapan-untuk menyerah.Namun terjangan kelewang menjadi jawaban dari Cut Meutia. Tiga senapan menyalak mengenai kepala dan badannya. Cut Meutia tersungkur. Syahid. Menyusul suaminya. Memenuhi citanya, yang biasa ia ia dendangkan untuk anaknya, Teuku Raja Sabi.

“Jak Ion timang preuen,

ureueng jameuen bhe lagoina,

Bek hai aneuek tagidong reunyeuen,

bila jameuen tuntut le gâta.”

(Mari kutimang, kasih

Dengan alunan nyanyian merdu

Janganlah sayang kembali pulang

Jangan kauinjak tangga rumahmu

Sebelum dendam sempat berbalas.)[8]

Bukan satu-dua kisah wanita Aceh yang menjanda, kemudian bergeriliya, bahkan hingga syahid menyusul suami mereka. Adalah Tjut Nyak Dhien yang turut meneruskan perjuangan suaminya, Teuku Umar. Pihak Kolonial Belanda tak puas hanya dengan Teuku Umar. Tjut Nyak Dhien juga disasar. Pada 1904, di medan Aceh Barat yang berat, Kapten Campioni mengejar beliau. Kapten Campioni tewas diserbu 300 pejuang Aceh. Baru setahun kemudian Tjut Nyak Dhien menutup lembaran geriliyanya. 4 November 1905, Letnan Van Vuuren, berhasil menyergapnya. Dalam kondisi delapan hari tidak makan nasi, hidup hanya memakan pisang bakar, ia terserang penyakit yang membutakan matanya. Adalah Pang Laot Ali, pejuangnya sendiri yang memberitahukan persembunyiannya. Pang Laot tidak tega melihat kondisi pemimpinnya yang sudah begitu menderita. Ketika Tjut Nyak Dhien tahu ia telah dikhianati Pang Laot, ia begitu murka, hingga mencabut rencongnya dan hendak menikam Pang Laot. Namun usahanya tidak berhasil.

Kemajuan teknologi berhasil mengabadikan Tjut Nyak Dhien yang telah tertangkap. Kamera berhasil mengabadikan wajahnya yang bersedih saat ia ditawan. Bersama keponakannya, T. Nana, 11 Desember 1906, wanita perkasa itu dibuang ke Sumedang, karena dianggap membahayakan keamanan. Dua tahun kemudian, 6 November 1908 ia wafat, jauh dari tanah yang dicintainya.[9]

Selepas Perang Jawa yang menghancurkan keuangan pemerintah Kolonial, sistem Tanam Paksa diberlakukan. Mereka berhasil menguras tanah air, hingga diperkirakan menangguk keuntungan 832 juta gulden atau setara dengan 600 triliun rupiah saat ini.[10] Namun angin politik etis kemudian  berhembus. Dan pemerintah kolonial semakin memahami kondisi umat Islam di Nusantara. Untuk tetap menancapkan kukunya, haluan kebijakan berganti menjadi halus. Dipakai jasa orientalis semacam Christian Snouck Hugronje. Ia membawa pemerintah kolonial untuk menceraikan Islam dari politik, dan membiarkannya sibuk dengan urusan ibadah dan kemasyarakatan semata.[11] Putra-putra ningrat dibaratkan. Warisan adat diperkuat. Islam diceraikan dari jejaknya. Huruf (Arab) Jawi disingkirkan, huruf latin ditegakkan. Hasilnya terasa, perlawanan tak lagi menghebat. beberapa pemberontakan memang muncul. Namun tak ada yang sedahsyat Perang Jawa, Paderi atau Aceh. Umat Islam mulai menggerakkan dirinya dengan pendidikan dan organisasi. Sebut saja Syarekat Islam, Persis, Muhammadiyah, NU dan lainnya. Bukan berarti tak ada tekanan dari pemerintah kolonial. Berbagai aturan tetap mengancam, seperti ordonansi sekolah liar yang menggusur lembaga pendidikan dan pers delicht yang memberangus kebebasan bersuara.

Jepang kemudian datang. Belanda terjengkang. Awalnya Jepang bersikap represif kepada ulama. KH Hasyim Asyari yang sudah sepuh ditangkap. Namun protes datang bergelombang. Kiyai-kiyai dan santri ingin ditahan bersama Hadlratus Syaikh. Atas lobi-lobi, akhirnya, Hadlratus Syaikh dibebaskan. Jepang mulai merangkul ulama untuk menjaga wibawa. Kebijakan ini membuat para ulama terjepit. Antara tajamnya samurai dan uluran tangan kotor Jepang. Penindasan, romusha, hingga penculikan gadis-gadis untuk pemuas nafsu Jepang, membuat ulama jijik dan enggan.[12] Namun keadaan memaksa mereka untuk mengambil jalan siasat, bekerja sama dengan Jepang. Menipu mereka dan menggalang kekuatan. Salah satu yang terpaksa ikut dalam siasat ini adalah KH Mas Mansyur. Pemimpin besar Muhammadiyah. Diangkat menjadi pemimpin PUTERA bersama Soekarno, Hatta, dan Ki Hajar Dewantara. Ia hidup dalam tekanan berat. Bermanis-manis di depan Jepang, hati remuk tatkala melihat rakyat ditindas. Namun akhirnya Jepang hengkang, Indonesia bersorak girang. Merayakan kemerdekaan. Tetapi untuk diri KH Mas Mansyur, inilah awal yang akan menutup lembaran hidupnya. KH Mas Mansyur perlahan pulih dari tekanan. Tak lama berselang, Belanda berseragam NICA datang. Lepas dari dunia politik , Ia kembali mengajar. Kadang berkhotbah dalam sholat Jumat. Mengecam sebagian orang yang berkhianat kepada republik. Ironisnya ia sendiri kemudian menjadi korban para pengkhianat ini.

Saat pasukan sekutu bersama NICA semakin leluasa memasuki Ampel. Puluhan pemuda dan orang tua ditahan. KH Mas Masnyur tak luput dari fitnah ini. Ia dituduh menjadi kolaborator Jepang, karena pernah bekerja sama dan menduduki pucuk pimpinan PUTERA. Dalam keadaan puasa sunnah, dia ditahan dan diikat. Rumahnya di Kampung Baru Nur Anwar digeledah. Tulisan-tulisan penting beliau ikut diangkut. Beliau kemudian diancam dengan hukuman berat. Kecuali jika mau bersedia berpidato di radio AMACAB milik sekutu. Untuk menghasut rakyat menghentikan perlawanan. Tawaran ini ditampiknya.
Ia kemudian dibebaskan dalam keadaan sakit. Namun ini hanya sementara. Tak lama ia ditangkap kembali. Karena terlalu lemah ia dilarikan ke rumah sakit swasta di Darmo. Tanpa ditemani siapa pun, termasuk anak, istri atau kerabatnya, Di situ berbaring seorang diri dalam kesunyian. Hingga malaikat menceraikan ruh dari badannya. Begitu sunyi dan terasing, bahkan hingga saat ia menghembuskan nafas terakhirnya pun, tak ada yang mengetahui dengan pasti waktu wafatnya. Tanggal kematiannya tercatat dalam beragam versi. Corong radio AMACAB melalui Djojobojo memberitakan tanggal 1 April 1946. Ada pula yang mengatakan 24 atau 25 April. Jenazahnya dimakamkan di kuburan Gipo, dekat Masjid Ampel. [13]

Roda sejarah terus berputar. Zaman terus berganti, dari masa revolusi kemerdekaan hingga Demokrasi terpimpin. Mungkin Inilah masa yang memakan korban ulama serta tokoh Islam terbanyak. Khususnya tokoh-tokoh Masyumi yang dilumpuhkan dengan keji oleh rezim Soekarno, yang didukung oleh pihak komunis. Terjangan fitnah bertebaran dimana-mana. Memaksa siapa pun untuk ikut menari dalam tabuhan Sang Pemimpin Besar Revolusi. Namun tidak bagi Masyumi. Mereka terus mengkritik kebijakan Soekarno. Menolak agama disandingkan dengan komunisme. Menampik laku sewenang-wenang penguasa. Soekarno mulai kehabisan akal. Tangan besi diayunkan. Tokoh-tokoh Masyumi pun bertumbangan. Akhirnya 13 September 1960, Masyumi pun memilih menghabisi dirinya sendiri, ketimbang dihabisi. Namun tragedi baru saja dimulai. Satu persatu anggotanya diterjang fitnah. Ditangkap. Dilumpuhkan.[14]

27 Januari 1963, siang itu sungguh mengejutkan. Empat orang datang mengetuk pintu. Sang tuan rumah dengan ramah membuka pintu dan menyambut tamunya. Tak disangka, para tamu membawa surat sakti. Surat penangkapan atas sebuah tuduhan. Sang tuan rumah, Buya Hamka, tersentak. Ia kemudian dibawa pergi.

“Dalam keadaan tak tahu apa kesalahan saya dalam tengah hari letih berpuasa, saya dijemput dan dicabut dengan segenap kekerasan dari ketentraman saya dengan anak istri, disisihkan dari masyarakat dan dimasukkan ke dalam tahanan,” tutur Buya hamka.[15]

Tuduhan pada Buya Hamka begitu hebat. Ia dituduh hendak membunuh Menteri Agama H. Saifuddin Zuhri. Dituduh pula ia pernah menghasut mahasiswa untuk meneruskan pemberontakan Kartosuwiryo, Daud Beureu’eh, M. Natsir dan Syafruddin Prawiranegara. Mimpi buruk untuk Buya Hamka baru saja bergulir. Ia difitnah. Untuk melanggengkan penangkapan atas dirinya, segala macam usaha dipakai, memaksa ia mengaku.

“Dengan tekanan batin yang sangat menyesak, dipasang pertanyaan-pertanyaan jebakan. Kadang dengan ancaman, kadang dengan gertak, kadang-kadang tidak membiarkan istirahat agak sejenak, kita yang ditanya disuruh mengakui hal-hal yang telah disusun menjadi tuduhan.”[16]

Dan setelah “selesai” segala pemeriksaan, teruslah ditahan. Dua setengah bulan dihujani perlakuan semacam ini, membuat Buya Hamka ambruk juga. Ia akhirnya terpaksa menandatangani tuduhan kepada dirinya. Pengakuan yang dipaksakan itu dilakukan Buya Hamka, karena ia mengira kelak di pengadilan, akan bisa melawan. Membeberkan segala kebusukan. Nyatanya tak akan pernah ada pengadilan atasnya.

Situasi semakin suram dengan diterbitkannya sebuah keputusan dari Presiden Soekarno, Pen. Pres No. 11/1963. Tiga hari setelah setelah Buya Hamka ditahan. Sebuah keputusan Presiden yang menceraikan manusia dari fitrahnya. Pen Pres menjadi pisau tajam sebuah tuduhan subversif, yang berhak menahan siapa pun. Setengahnya disiksa dengan kejam, sampai jarak antara mereka dengan maut hanya beberapa langkah lagi, bahkan ada turut berjumpa dengan maut.

Salah satunya yang hampir berjabat dengan maut adalah KH Ghazali Sahlan. Seorang Masyumi jua.

KH Ghazali Sahlan ditangkap di rumahnya selepas sholat subuh, 7 Januari 1964. Salah satu tuduhannya adalah membentuk organisasi gelap. Awalnya pemeriksaan berlangsung sopan dan pantas. Tiga hari kemudian dunia seakan runtuh bagi KH Ghazali Sahlan. Ia mulai ditekan untuk mengakui segala tuduhan kepadanya. Kepolisian yang banyak dikuasai komunis menjadi-jadi. Suatu waktu, ditengah malam buta, Inspektur Polisi Solihun, memerintahkan Ghazali Sahlan untuk melepas pakaiannya. Ghazali hanya mengenakan pakaian dalam saja. Pukukl 1 malam ia mulai dipukuli, hingga berdarah-darah. Pukul 3 pagi ia ditanya,

“Jikalau saudara mati terbunuh dalam pemeriksaan ini, apakah pesan saudara?” Ia menjawab, “Saya hanya pesan agar jenazah saya dikirimkan ke Jakarta atas biaya keluarga saya.”

Pukul 4 pagi, Ghazali Sahlan makan sahur. Tak lama ia kembali ditelanjangi. Dipaksa melalkukan scotch Jump. Terus menerus scotch Jump hingga terjatuh-jatuh. Ditengah-tengah jatuh bangun, ia ditodong pistol. Kembali ditanya pesan terakhirnya. Ia menjawab hal yang sama, dengan tambahan, “Sesudah saya mengucapkan kalimat, La ilaaha’illalah, barulah tembak.”

Nyatanya tim pemeriksa menolak untuk menembak, lebih senang untuk menyiksanya. Izin Ghazali Sahlan untuk sholat pun ditampik. Pukul 9 pagi Ghazali rubuh. Ia terkapar. Namun pukul 11 ia kembali disiksa. Hanya kali ini lebih keji. Ia disetrum. Berkali-kali KH Ghazali Sahlan meneriakkan kalimat Tauhid. Berharap syahid menjemput. Ia kerap dipaksa untuk mengaku, namun paksaan itu ditolaknya. Berkali-kali ia disetrum hingga tangannya mengeluarkan darah. Namun itu tak menghentikan siksaan. Lipatan tangan, kaki, pinggang hingga kuduk, dilekatkan dengan aliran listrik. Siksaan berlanjut esok harinya. Semakin menggila. Dalam keadaan telanjang bulat alat vitalnya disetrum. Lalu mulutnya. Berulang-ulang, padahal ia sedang berpuasa. Hingga akhirnya ia tak sadarkan diri. 10 hari KH Ghazali Sahlan terkapar tanpa daya.Ternyata penyiksaan kepada KH Gahzali Sahlan dan Buya Hamka hanya jebakan untuk menangkap Kasman Singodimedjo, salah satu tokoh Masyumi yang paling lantang. Pengakuan mereka dibutuhkan untuk membuat Kasman dijebloskan ke dalam tahanan.[17]

Namun Kasman bukanlah orang yang awam dengan hukum. Kasman tak mudah untuk ditaklukkan. Setiap hari selama 24 jam Kasman terus diperiksa. Bergiliran oleh 6 tim. Dalam keadaan puasa Ramadhan ia kerap ditekan, dipojokkan dan diintimidasi, Empat hari di periksa, akhrinya Kasman menantang untuk dikonfrontir. Pertama yang dihadirkan adalah Letkol Nasuhi. Ketika dikonfrontir,. Letkol Nasuhi hanya berbicara pelan. Hingga Kasman marah, dan berteriak,

“Yang keras suaramu, supaya kedengeran!”  

“Saya terpaksa,” sahut Nasuhi.

Tim Pemeriksa kemudian gaduh. Kasman kembali menantang untuk dikonfrontir dengan siapa pun.

“Pertama, saya siap dikonfrontir dengan semua pengakuan siapa pun, Termasuk H. Ghazali Sahlan dan Hamka. Silakan!,” tegas Kasman.

“Kedua, maaf, saya dapat kesan bahwa oleh team pemeriksa, terutama dari team-team pemeriksa terdahulu telah dikerjakan penggiringan, paksaan-paksaan, siksaan-siksaan, dan lain sebagainya, sehingga para tertuduh yang bersangkutan itu terpaksa mengaku demi keselamatan jiwa mereka.”

Beberapa saat kemudian, Kasman berdiri. Dia buang kursinya jatuh ke belakang, dan dengan tangan ke atas dia berteriak sekeras-kerasnya dengan melotot,

“Percuma pemeriksaan semacam ini. Percuma! Sekarang begini saja. Silakan tuan-tuan cabut pistolnya dan tembaklah saya. Tembak! Tembaak! Tembaaak!”[18]

Ketua tim pemeriksa kemudian memutuskan untuk memberikan waktu istirahat bagi Kasman. Namun keadaan tak berubah. Beragam cara tak bisa membuat Kasman bersalah. Barulah 16 hari kemudian Kasman dibebaskan.

Setiap penindasan yang terjadi bukan hanya melumpuhkan seorang pejuang, tapi juga meruntuhkan tatanan keluarganya. Menceraikan dari anak dan istrinya. Mengasingkan dari masyarakatnya. Mereka tidak saja kehilangan kebebasan tapi juga kehilangan kesempatan untuk menafkahi keluarga. Istri mereka tiba-tiba dipaksa memutar otak menjadi tulang punggung keluarga. Menjual apa saja yang berharga. Seperti apa yang dialami keluarga Syafrudin Prawiranegara yang kehilangan rumah mereka. Penindasan ini bahkan juga memasung hak-hak mereka sebagai ayah. Mohammad Natsir tak secuil pun diberikan kesempatan untuk menikahkan putrinya. Ia hanya bisa berdoa di tahanan ketika putri pertamanya menikah. Sungguh keadaan yang menekan jiwa.

Yunan Nasution, mantan sekjen Masyumi yang turut ditahan, berkisah, dinding tahanan menjadi saksi coretan-coretan  mereka. Ayat-ayat Quran seperti, “Umat-umat yang dahulu telah silih berganti mengalami bangkit dan jatuh,” atau “Tuhan akan mempergilirkan hari-hari kehidupan manusia dengan kalah dan menang.” Kelak, janji Allah yang ditorehkan pada dinding-dinding tahanan itu terbukti. Tatkala mereka dibebaskan, pihak-pihak dari komunislah yang kemudian berganti mengisi tempat mereka. [19]

Peristiwa membungkam dan melumpuhkan sesungguhnya tidak berhenti sampai di sini saja. Masih banyak dan kerap terjadi peristiwa dan pejuang lain yang di bungkam dan dilumpuhkan, bahkan hingga beberapa langkah saja dari maut. Atau malah menjemput syahid. Bahkan hingga kini. Para penguasa lalim kerap mengikuti langkah yang sama, namun tak akan pernah bisa menumpas setiap gema kebenaran. Mereka hanya bisa melumpuhkan raga, namun tidak jiwanya. Menceraikan nyawa dari badannya, tapi tidak mematikan semangatnya.

Para pejuang itu adalah pejuang yang membumi, namun dengan hati mengingat ke langit. Menolak hidup berbalut kemewahan, dan memimpin dengan segala keberanian. Dan sesunggunya, api perjuangan itu tak akan pernah padam, dan selamanya berkobar-kobar. Sejarah mencatat, sebuah pembungkaman hanya akan memicu rentetan perlawanan yang lain. Satu penindasan akan memacu gema kebangkitan lain. Semua itu karena api itu di bakar oleh keinginan menegakkan kalimat Allah dalam bumi nusantara ini.

Catatan.

  1. Cerey, Peter. (2011). Kuasa Ramalan, Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa,1785-1855. Jilid 2. Jakarta: KPG.
  2. Ibid.
  3. Hal ini diungkapkan Pangeran kepada Mangkubumi, bahwa dirinya telah menerima pertanda (wangsit) bahwa perjuangannya akan sia-sia. Tiada lagi yang tersisa bagi dirinya di dunia ini, kecuali mati sebagai sabilillah dalam pertempuran.
  4. Radjab, Muhamad. (1964). Perang Paderi di Sumatera Barat (1803-1838). Jakarta : PN Balai Pustaka.
  5. Talsya, T. Alibasjah. (1982). Cut Nyak Meutia, Srikandi yang Gugur di Medan Perang Aceh. Jakarta: Mutiara.
  6.  Ibid.
  7. Ibid.
  8. Ibid.
  9. Alfian, Ibrahim. (1987). Perang di Jalan Allah : Perang Aceh 1873-1912. Jakarta: Sinar Harapan.
  10. Cerey, Peter. (2011). Kuasa Ramalan, Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa,1785-1855. Jilid 2. Jakarta: KPG.
  11. Suminto, H. Aqib. (1996). Politik Islam Hindia Belanda. Het Kantoor voor Indlandsche Zaken. Jakarta: LP3ES
  12. Zuhri, Saifudin. (1974). Guruku Orang-orang Pesantren. Bandung: PT AlMa’arif.
  13. I.N, Soebagijo. (1982). K.H. Mas Mansur. Pembaharu Islam di Indonesia. Jakarta: Gunung Agung.
  14. Panitia Peringatan 75 Tahun Kasman. (1982). Hidup Itu Berjuang. Kasman SIngodimedjo 75 Tahun. Jakarta : Bulan Bintang.
  15. Hamka. (2004). Tafsir Al Azhar Juz I. Jakarta: Pustaka Panjimas.
  16. Ibid.
  17. Panitia Peringatan 75 Tahun Kasman. (1982). Hidup Itu Berjuang. Kasman SIngodimedjo 75 Tahun. Jakarta : Bulan Bintang.
  18. Ibid.
  19. Nasution, Yunan. Kenang-Kenangan Di Belakang Terali Besi di Zaman Orla. Jakarta : Bulan Bintang.

Oleh : Beggy Rizkiyansyah – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here