Teuku Umar adalah salah satu sosok yang mungkin kontroversial dalam episode Perang Aceh. Sebagian penulis sejarah seperti Van ‘T Veer menyebutnya pemimpin gerombolan (thug)[1] atau pemimpin ‘geng.’[2] Sifat oportunis yang mencari kepentingan materi dalam kancah Perang Aceh dilekatkan pada dirinya.[3] Snouck Hurgronje menyebut dirinya sebagai petualang yang tak bisa dipercaya:
“Ia adalah tipikal orang Aceh dengan watak-tak-dapat-dipercayanya (untrustworthiness), lengkap dengan kecanduannya terhadap opium dan judi, tetapi ia berbeda dari kebanyakan pemimpin Aceh dalam hal energi dan kebijaksanaannya yang luar biasa dalam berhubungan dengan segala jenis dan kondisi manusia.”[4]
Snouck juga menyebut Teuku Umar sebagai sosok yang cerdik dan penuh intrik. Pemimpin gerombolan, geng, atau petualang mungkin label yang disematkan kepada Teuku Umar dalam konteks posisinya yang unik di tengah masyarakat Aceh. Ia bukan ulama, bukan pula (setidaknya pada awalnya) seorang uleebalang.[5]
Dari sudut pandang Orang Aceh, penyair Do Karim dalam Hikayat Perang Gompeuni (seperti yang tercantum dalam laporan Snouck Hurgronje) menyebutnya sebagai “priman.” Istilah ini berasal dari Bahasa Belanda vrij man (orang bebas), yang dipungut orang Aceh dari orang Jawa dan berarti “orang tanpa jabatan”.[6]
Kedudukan awal Teuku Umar yang tidak termasuk dalam struktur masyarakat Aceh yang dipilah dalam tiga kelompok, yaitu Sultan, uleebalang ataupun ulama membuatnya berdiri terlepas dari ketiga kelompok tersebut dan memimpin kelompoknya sendiri dalam kancah Perang Aceh. Jika istilah warlord berkonotasi negatif, mungkin istilah pemimpin milisi adalah adalah istilah yang dapat diterima, sebab bagaimanapun Teuku Umar awalnya muncul dari konflik bersenjata dalam Perang Aceh.[7]
Teuku Umar menurut Muhammad Said dalam Aceh Sepanjang Abad jilid 2, lahir di Meulaboh pada 1859. Ia adalah putera dari Teuku Mahmud yang berasal dari Meulaboh. Sedangkan ibunya berasal dari Aceh Barat. Teuku Mahmud adalah putera dari Teuku Nanta Ci’, seorang panglima perang dari Sultan Suleiman. Teuku Umar memiliki tiga saudara kandung.[8] Meski berlatar keluarga uleebalang yang kurang berpengaruh[9], tetapi Teuku Umar sendiri bukanlah seorang uleebalang. Seperti yang disebut Do Karim, ia adalah pemimpin tanpa wilayah atau kekayaan.[10]
Namanya mulai dikenal ketika ia memimpin perlawanan sejak usia 18 tahun. Tahun 1877 ketika Belanda menyerang Kampung Darat, Teuku Umar sudah menjadi pemimpin perlawanan. Satu tahun kemudian, ia datang ke Montasik, Aceh Besar. Di sana Umar menikah dengan Cut Nyak Dien. Janda dari Ibrahim Lamnga yang wafat melawan Belanda di Sla Gletaron.[11]
Cut Nyak Dien adalah putri dari Teuku Nanta, seorang uleebalang dari Sagi VI Mukim. Teuku Nanta sendiri merupakan paman dari Teuku Umar.[12] Teuku Nanta adalah seorang uleebalang yang gigih melawan Belanda. Ia terlibat dalam peperangan Bersama Habib Abdurrahman Az-Zahir pada 1878 yang menyerang pos-pos Belanda. Pada 1884, kepada Gubernur Aceh Langing Tobias, Teuku Nanta menjelaskan sikapnya. Menurutnya, ia sudah tua dan akan segera wafat. Ia ingin mati di Mukim VI tempat ia lahir dan hidup. Dengan kondisi seperti ini ia ingin menyerah. Tetapi ia tidak akan melakukannya, sebab ia telah bersumpah terhadap Sultan untuk tidak menyerah kepada Belanda. Ia hanya akan menyerah jika Sultan sudah menyerah.[13]
Pernikahan Teuku Umar dengan Cut Nyak Dien adalah pernikahan keduanya, dengan begitu Cut Nyak Dien menjadi istri kedua dari Teuku Umar. Meski demikian, melihat sikap Teuku Nanta yang menolak untuk menyerah kepada Belanda maka kita dapat menyimpulkan bahwa pernikahan Teuku Umar dengan Cut Nyak Dien adalah pernikahan dengan pihak yang satu visi; gigih dalam perjuangan melawan Belanda dan menempatkan Teuku Umar dalam blok politik perlawanan.
Setelah menikah dengan Cut Nyak Dien, Teuku Umar tak lama berada di XXV Mukim, Aceh Besar. Tahun 1879 Teuku Umar kembali ke Meulaboh, Aceh Barat. Kematian Raja Meulaboh membuat situasi menjadi panas. Teuku Umar turut serta dalam menggembleng perlawanan di Aceh Barat hingga tahun 1881. Setahun kemudian, Teuku Umar kembali ke Aceh Besar, khususnya XXV Mukim. Dia mengusir pasukan Belanda dari Krueng Raba.[14]
Perlawanan Teuku Umar setidaknya masih berlangsung hingga tahun 1882 di XXV Mukim, Aceh Besar. Namun keadaan menjadi berbalik. Pada 1884, menurut Belanda, Teuku Umar secara formal sudah menyatakan takluk kepada Belanda. Tidak ada penjelasan yang gamblang mengenai takluknya Teuku Umar.[15]
Patut diduga Teuku Umar mengubah siasat perangnya. Sebab sejak 29 Mei 1883, Gubernur Aceh, Laging Tobias memberlakukan peraturan pelayaran (scheepvaartregeling). Peraturan ini menyatakan pelayaran luar negeri hanya boleh mengunjungi tujuh Pelabuhan di Aceh dengan didampingi pejabat Belanda, sedangkan perdagangan di pantai dibatasi pada kapal-kapal sangat kecil.[16] Blokade pelayaran ini mencekik sumber pemasukan untuk membiayai perang Aceh, termasuk Teuku Umar.[17] Sehingga diperlukan siasat baru agar dapat bertahan menghadapi Belanda.
Alasan ini pula yang diungkapkan dalam Hikayat Perang Gompeuni yang dikarang oleh Do Karim. Penyerahan diri ini menurutnya tak lebih dari sebuah siasat untuk menghancurkan gompeuni (kompeni Belanda). Pandangan dalam hikayat ini setidaknya dapat menjadi cerminan bagaimana masyarakat Aceh kala itu melihat tindak tanduk Teuku Umar.[18]
Prahara Nisero dan Teuku Umar
Untuk sementara waktu, nama Teuku Umar tak lagi menjadi ancaman pemerintah kolonial. Tetapi sebuah insiden di Panga, Pantai Barat Aceh akan membuat keadaan bergolak kembali. Pada 8 November 1883, sebuah kapal kandas di dekat Panga, 40 mil sebelah utara Meulaboh di Pantai Barat Aceh. Kapal tersebut adalah S.S. Nisero yang memuat gula dari Surabaya dan anehnya melakukan perjalanan menyimpang dari jalur pelayarannya. 29 awak yang berasal dari berbagai bangsa (termasuk 18 awak dari Inggris) mencapai pantai.[19]
Di sinilah kemudian para awak menjadi tawanan penguasa lokal Bernama Teuku Imam Muda dari Teunom. Seorang uleebalang yang dahulu pernah memimpin perlawanan di Aceh Besar. William Bradley, salah seorang awak kapal menggambarkan Raja Teunom dalam beberapa kalimat;
“Raja Tenom, dalam tampilannya adalah pria yang biasa, sekitar enam kaki, dan badan yang proporsional. Ia memiliki ekspresi yang menyenangkan dan tampak berbeda dari pengikutnya, karena tidak ada satupun dari mereka yang berpostur besar, dan kebanyakan dari mereka tampak menjijikkan daripada menarik.”[20]
Pada tahun 1877 ia menyatakan menyerah kepada Belanda. Tetapi hubungan Teuku Imam Muda tidak berjalan baik dengan Belanda. Serangan-serangan terhadap Belanda di Meulaboh tetap berlangsung, membuatnya dicurigai oleh Asisten Residen Meulaboh, K.F.H. van Langen. Pada Januari 1883, Belanda bahkan menutup semua pelabuhan di bawah Teuku Imam dan menembakinya dengan meriam. Maka kandasnya Kapal Nisero adalah sebuah peluang bagi Teuku Imam Muda untuk menentang perlakuan Belanda terhadapnya.[21]
Ia mengerti bahwa awak kapal dari berbagai kebangsaan, termasuk Inggris dapat menjadi keuntungan bagi mereka. Maka Raja Teunom pun meminta tebusan 25 ribu ringgit Spanyol dan jaminan bahwa blokade pantai oleh kapal-kapal perang Belanda dihapuskan.[22]
Hal ini membuat Inggris gusar, sebab sudah sepuluh tahun sejak peperangan pecah di Aceh, Belanda tidak bisa memberikan jaminan bagi awak kapal mereka. Apalagi setelah mengetahui bahwa Residen Van Langen yang diutus dengan uang 25 ribu ringit Spanyol, ditolak oleh Raja Teunom dan hanya mau berunding dengan pihak Inggris. Bukan hanya itu, Raja Teunom kini menaikkan nilai tebusan seharga 300 ribu ringgit dan meminta jaminan dari Inggris tentang berlakunya pelayaran bebas di pantainya yang ditandatangani langsung oleh Ratu Victoria.[23]
Persoalan Nisero membuat hubungan Inggris dan Belanda semakin panas. Maka Belanda pun mengambil langkah dengan bertindak keras. Pada 7 Desember 1884, mereka mengirimkan detasmen militer Belanda dari Kutaraja dan menembaki dari laut. Langkah ini malah menjadi blunder dan membuat Raja Teunom membawa para sandera lebih dalam ke belantara hutan.
Gubernur Aceh, Langing Tobias, akhirnya mendapat ide untuk mengirim sebuah ekspedisi penyelamatan secara rahasia dan cepat yang terdiri dari orang Aceh yang memihak Belanda untuk membebaskan para sandera. Dengan prinsip semboyan “perampok harus ditangkap oleh perampok” membuat ia menoleh kepada Teuku Umar, yang di mata Belanda dianggap sebagai ‘pemimpin gerombolan’ yang cocok untuk misi ini.[24]
Momentum ini dianggap Langing Tobias cocok dengan kondisi pernyataan kesetiaan Teuku Umar kepada Belanda. Maka kini saatnya Belanda meminta bukti kesetiaan tersebut. Dengan kapal Belanda Bencoolen, rombongan Teuku Umar pun dibawa ke Lambeusoe (Lambusi) untuk membantu menyelesaikan persoalan Nisero. Namun rencana ini menjadi berantakan.
Setibanya di tempat tujuan, kelompok Teuku Umar malah membunuh para awak kapal Belanda tersebut. Tujuh awak kapal tewas di tangan kelompok Teuku Umar.[25] Kelompok Teuku Umar kemudian menguasai senjata dan amunisi Belanda.[26] Hal ini tentu saja mengagetkan Belanda. Tetapi mengapa Teuku Umar membunuh para awak kapal Belanda tersebut?
Hal ini tampaknya terkait dengan penghinaan yang didapat Teuku Umar dalam perjalanan menuju Teunom oleh para awak kapal. Para awak menganggap ia seorang bandit. Padahal Teuku Umar berasal dari kalangan terhormat di Aceh. Ia ditempatkan di geladak bersama kuli biasa, dan selama di dalam kapal para awak itu menghina Teuku Umar.[27] Tetapi versi berbeda dituturkan oleh Hikayat Perang Gompeuni. Menurut versi tersebut, yang melakukan pembunuhan adalah para pengikut Teuku Umar. Teuku Umar sendiri begitu marah ketika mengetahui perilaku pengikutnya dan mengancam untuk menghukum mati mereka semua.[28]
Apapun kebenarannya, rencana Langing Tobias ini pun berantakan. Para awak Nisero akhirnya dibebaskan dengan misi gabungan Inggris dan Belanda. Raja Teunom pun menerima uang tebusan yang dimintanya.[29] Pada 10 September 1885, 18 awak kapal Nisero dibebaskan tanpa ada kontak senjata.[30] Tetapi Belanda tidak akan dengan mudah melupakan Teuku Umar, dan peristiwa Nisero bukan yang terakhir kalinya yang membuat Belanda murka.
Pasca peristiwa Nisero, perdagangan Aceh-Penang mulai hidup kembali dengan dicabutnya pembatasan perdagangan pada 1883. Dengan pencabutan kontrol perdagangan ini, maka hampir semua uleebalang yang pernah menyatakan menyerah kepada Belanda menjadi tidak bermakna. Namun Belanda akhirnya kembali mempertimbangkan kebijakan pasif ini, terutama akibat sepak terjang Teuku Umar.[31]
Sejak peristiwa Nisero, menjadi jelas bahwa Teuku Umar bukanlah sekutu yang setia di mata Belanda.[32] Teuku Umar pada 1886 menjadi panglima perang de facto atas seluruh Pantai Barat di bagian utara dari Teunom dan Sebagian besar XXV Mukim. Pengaruhnya didapat dari pernikahan dengan istrinya, Cut Nyak Dien. Cut Nyak Dien adalah putri dari Teuku Nanta, uleebalang dari Sagi VI Mukim. Teuku Umar juga mendapatkan pengaruh di XXV Mukim dari istri pertamanya, putri seorang panglima Sagi XXV Mukim.[33]
Sumber penghasilan Teuku Umar untuk membiayai kegiatannya berasal dari ekspor lada yang berada di bawah kekuasaannya. Atas nama Sultan Aceh, ia memungut pajak hasil lada sebesar $0.25 per pikul. Dengan kekayaan ini ia bermurah hati membagi-bagikan kepada pengikutnya, kepada istana dan juga kepada kaum ulama di Keumala.[34]
Teuku Umar mendapatkan legitimasi Sarakata, sebagai perwakilan Sultan di Pantai Barat lewat keputusan Sultan yang mengangkatnya sebagai Amir ul-Bahar (Panglima Laut) dan menjadi kepercayaan Sultan untuk mengumpulkan pajak di pesisir. Dengan kepercayaan ini maka Teuku Umar mendapatkan kedudukan yang kuat dan tinggi dalam relasinya dengan Kesultanan, setara dengan kedudukan Teungku Chik di Tiro yang diberikan otoritas dalam bidang keagamaan oleh Sultan.[35]
Praktis sejak tahun 1884, kedudukan Teuku Umar di Pantai Barat tidak lagi terbendung kecuali oleh Teuku Imam dari Teumon yang memihak kepada Belanda.[36] Belanda bukannya tidak membalas atas perbuatan Teuku Umar dalam soal Nisero, mereka melakukan pengeboman di Lhok Geulumpang, tetapi hal itu tidak berpengaruh pada Teuku Umar sebab ia bukan uleebalang. Tidak ada wilayah yang bisa direbut dari Teuku Umar.[37]
Lantas bagaimana taktik Belanda agar menghentikan Teuku Umar? Bersambung ke bagian 2.
Oleh: Beggy Rizkiyansyah – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)
[1] ‘T Veer, Paul van. 1985. Perang Aceh: Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje. Jakarta: Grafiti Pers. Selanjutnya disebut ‘T Veer, Paul van. Perang Aceh…
[2] Kitzen, Martijn. 2016. The Course of Co-Option: Co-option of Local Power Holders As A Tool for Obtaining Control Over The Population in Countersurgency Campaigns in Weblike Societies. With Case Studies on Dutch Experiences during the Aceh War (1873-c. 1912) and the Uruzgan Campaign (2006-2010). Disertasi University of Amsterdam. Tidak diterbitkan. Selanjutnya disebut Kitzen, Martijn. The Course of Co-Option…
[3] Reid, Anthony. 2005. Asal Mula Konflik Aceh: Dari Perebutan Pantai Timur Sumatera hingga Akhir Kerajaan Aceh Abad ke-19. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Selanjutnya disebut Reid, Anthony. Asal Mula Konflik Aceh…
[4] Gobee, E. dan C. Adriaanse (ed). 1990. Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936 Jilid I. Jakarta: INIS. Selanjutnya disebut Gobee, E. dan C. Adriaanse (ed). Nasihat-nasihat…
[5] Gobee, E. dan C. Adriaanse (ed). Nasihat-nasihat…
[6] Gobee, E. dan C. Adriaanse (ed). Nasihat-nasihat…
[7] Kitzen, Martijn. The Course of Co-Option… Kitzen memakai istilah milisi bergantian dengan ‘thug gang’.
[8] Said, Mohammad. 2007. Aceh Sepanjang Abad Jilid II. Medan: Harian Waspada Medan. Selanjutnya disebut Said, Mohammad. Aceh…
[9] Kitzen, Martijn. The Course of Co-Option…
[10] Gobee, E. dan C. Adriaanse (ed). Nasihat-nasihat…
[11] Said, Mohammad. Aceh…
[12] Kitzen, Martijn. The Course of Co-Option…
[13] Alfian, Ibrahim. 2016. Perang di Jalan Allah: Perang Aceh 1873-1912. Yogyakarta: Ombak. Selanjutnya disebut Alfian, Ibrahim. Perang di Jalan Allah…
[14] Said, Mohammad. Aceh…
[15] Said, Mohammad. Aceh…
[16] Reid, Anthony. Asal Mula Konflik Aceh…
[17] Said, Mohammad. Aceh…
[18] Hurgronje, C. Snouck. 2020. Orang Aceh: Ilmu Pengetahuan, Sastra, Permainan, dan Agama (Buku Kedua). Yogyakarta: Matabangsa. Selanjutnya disebut Hurgronje, C. Snouck. Orang Aceh…(2)
[19] Reid, Anthony. Asal Mula Konflik Aceh…
[20] Bradley, William. 1884. The Wreck of The Nisero and Our Captivity in Sumatera. London: Sampson Low, Marsten, Searle and Rivington.
[21] Reid, Anthony. Asal Mula Konflik Aceh…
[22] ‘T Veer, Paul van. Perang Aceh…
[23] ‘T Veer, Paul van. Perang Aceh…
[24] ‘T Veer, Paul van. Perang Aceh…
[25] ‘T Veer, Paul van. Perang Aceh… dan Said, Mohammad. Aceh…
[26] Alfian, Ibrahim. Perang di Jalan Allah…
[27] ‘T Veer, Paul van. Perang Aceh… dan Said, Mohammad. Aceh…
[28] Hurgronje, C. Snouck. 2020.
[29] ‘T Veer, Paul van. Perang Aceh…
[30] Reid, Anthony. Asal Mula Konflik Aceh…
[31] Reid, Anthony. Asal Mula Konflik Aceh…
[32] Kitzen, Martijn. The Course of Co-Option…
[33] Kitzen, Martijn. The Course of Co-Option…
[34] Reid, Anthony. Asal Mula Konflik Aceh…
[35] Hurgronje, C. Snouck. 2019. Orang Aceh: Budaya, Masyarakat, dan Politik Kolonial (Buku Pertama). Yogyakarta: IRCiSoD.
[36] Reid, Anthony. Asal Mula Konflik Aceh…
[37] Hurgronje, C. Snouck. Orang Aceh…(2)