Opium (candu) bukanlah produk alam yang baru muncul abad terakhir ini, tapi telah mewarnai lembar lembar catatan sejarah klasik Eropa dan Asia sejak ribuan tahun yang lalu. Jika candu telah dikenal pada masa kekaisaran yunani kuno, Cina juga diketahui telah terbiasa hidup berdampingan dengan candu sejak awal abad ke-8. Opium memiliki berbagai bentuk seperti opium, marijuana, morfin, dan lain sebagainya. Hingga abad ke-19, opium, morfin, dan marijuana adalah ‘kenikmatan’ yang paling terkenal. Berangkat dari efek negative terhadap masyarakat, perselisihan politik, dan perebutan monopoli perdagangan, opium mulai dilarang secara hukum pada abad ke-19.

Opium adalah bubuk yang dihasilkan dari tanaman poppi yang tumbuh hampir diseluruh kawasan Eropa Barat. Akar pemakaian tanaman poppi dapat ditelusuri dari zaman kekaisaran Yunani kuno dan Roma, Turki, Persia, Syiria, Iraq, dan Afghanistan. Konon, tanaman ini tidak bisa dipisahkan dari kebutuhan makanan sehari-hari dan keperluan medis. Namun sejak akhir abad ke-18, bubuk poppi ini lebih terkenal untuk dihisap seperti rokok zaman sekarang.

Sebenarnya, dari sekian negara yang mengkonsumsi opium, masyarakat Cina diakui sebagai peminat ekstrem rokok opium. Pengenalan fashion ini diawali dengan defisit serius perdagangan Inggris dengan Cina pada tahun 1780an. Terjepit antara krisis ekonomi, Inggris kemudian memperoleh ’solusi’ dengan perdagangan opium India yang telah familiar dengan Cina sejak pertengahan abad ke-18. Terhitung sejak awal abad ke-19, peminat candu di Cina meningkat drastis. Apalagi pada saat itu campuran candu dengan tembakau menjadi bagian dari gaya hidup semua kelas sosial. Tidak hanya Kaisar dan elit kerajaan yang mencintainya tapi juga masyarakat biasa yang hidup diperkotaan dan pedesaan. Keterkaitan kronis dengn candu ini kemudian menjadi penyebab utama melemahnya perekonomian dan lumpuhnya perpolitikan Cina yang kemudian berujung dengan peperangan melawan opium pada tahun 1839-1842 dan peperangan yang kedua pada tahun 1856-1860.

Di Indonesia sendiri, tidak jelas kapan tepatnya wilayah ini bersentuhan dengan penghisapan opium. Belum diketahui dengan pasti keberadaan opium di Indonesia pada masa Portugis. Namun terdapat catatan laporan bahwa Belanda selama berabad-abad sejak tahun 1677 membawa berkilo-kilo opium mentah ke Hindia Belanda. Selain itu ada juga peninggalan korespondensi Belanda yang menggambarkan peningkatan traffik perdagangan candu yang dimonopoli oleh Inggris dan Belanda dikawasan Asia Tenggara, termasuk di Singapura, Semenanjung Malaya dan kawasan Hindia Belanda pada abad ke-18. Jawa misalnya, berdasarkan tulisan Julia Lovell (2011) diketahui telah menjadi salah satu pemasok opium bagi kapal-kapal dagang Cina pada pertengahan abad ke-18, abad dimana kekuasaan Belanda kian menguat disana. Middendorp (1929), menyebutkan Sebelum kehilangan kebebasannya, Negeri Karo juga diketahui telah bersentuhan dengan perdagangan atau monopoli opium dengan kerjasama Belanda.

Perdagangan di Selat Melaka merupakan perdagangan yang dangkal dimana opium dapat diselundupkan ke perairan Sumatra tanpa harus melalui monopoli Batavia. Secara statistik, Singapura tampaknya merupakan fokus kegiatan semacam ini, sedangkan Penang dan Malaka  punya andil dalam mendistribusikan candu-candu tersebut.

Pada hakikatnya, Belanda melakukan kesepakatan dengan Inggris terhadap monopoli perdagangan opium dimana Inggris memegang kendali perdagangan opium di kawasan selain Hindia Timur. Setelah Belanda mendapatkan kesepakatan sebagai penjual utama candu di Hindia Timur, Opium Society dibentuk pada tahun 1754. Organisasi ini bergerak tidak hanya sebagai pusat penyimpanan opium tapi juga bertanggung jawab mengontrol penjual-penjual opium grosiran yang kebanyakannya dimiliki oleh saudagar-saudagar Cina yang kaya. Baru kemudian pada tahun 1808, sistem pembelian dijalankan. Dalam sistem ini Belanda menentukan daerah-daerah legal opium. Masyarakat di Jawa dan Madura misalnya memiliki akses tak terbatas. Bersamaan dengan aplikasi aturan baru ini, Belanda juga mengeluarkan kebijakan hukuman – dari denda berupa bayaran hingga hukuman mati- bagi penjual penjual kecil dan pemakai di wilayah illegal candu atau menyediakan candu tanpa melewati kesepakatan dengan Belanda. Intrinya, Belanda mengendalikan secara penuh keuntungan yang didapat dari perdagangan candu.

Di Aceh sendiri catatan peredaran opium banyak didokumentasikan selama masa peperangan sejak tahun 1870an. Scheltema (1907) menyebutkan bahwa gedung yang pertama dibangun Belanda ketika berhasil menapakkan kakinya di Aceh bukan gereja atau sekolah melainkan sarang opium.

Scheltema memaparkan beberapa paragrapgh dalam tulisannya The Opium Trade in the Dutch East Indies tentang bagaimana pemimpin muslim di Batam, Lombok, dan Sumatra menanggapi perokok candu. Katanya, jika dibandingkan dengan pemikiran terbelakang orang kulit putih, pemimpin-pemimpin tersebut menegaskan hukum pemakaian candu sama dengan minuman memabukkan. Bahkan di Banten, candu memiliki hukum yang sama dengan judi, fitnah, dan lain sebagainya. Sebaliknya, katanya lagi, orang kulit putih yang tahu persis manfaat dan kerugian opium mempopulerkan opium hanya untuk kepentingan politik dan ekonominya.

Pantauan Scheltema tersebut sepertinya dapat dipertahankan menimbang adanya catatan-catatan sejarah yang mendiskripsikan sikap pemimpin di Aceh terhadap pemakai opium sebagaimana yang ia gambarkan. Pecandu di Aceh diketahui mendapatkan hukuman mati. Misalnya, Teuku Muda Nyak Malim, seorang uleebalang, pedagang, anggota Dewan Delapan sekaligus ulama Simpang Ulim pernah menghukum penghisap candu dengan hukuman mati. Hukuman serupa juga sudah terlebih dahulu ditegakkan ketika Habib abd al-Rahman al-Zahir menjabat malikul Qadi di Aceh pada pertengahan abad ke-19. Meskipun hukuman yang diberikan sangat berat, penyelundupan opium masih terus dilakukan tidak hanya oleh Belanda tapi oleh kalangan pejuang-pejuang Aceh sendiri yang terjepit dengan kondisi peperangan.

Dalam sebuah surat kabar yang beredar di Nusantara bertahun 1874, Dewan Delapan (sebutan yang diberikan oleh Anthony Reid), organ diplomasi kesultanan Aceh yang bermarkas di Penang diketahui  menyelundupkan tidak hanya amunisi tapi juga opium ke Aceh. Petugas mariner Hindia Belanda A. J. Kruijt menyatakan bahwa Belanda tidak mampu mencegah sekutu Belanda, raja-raja di pesisiran Aceh, untuk tidak menyelundupkan opium kepada pejuang-pejuang Aceh. Pedagang Cina yang datang dari Penang juga diketahui ikut menyelundupkan opium. Lebih jauh lagi, Tagliocozzo (2005) menyebutkan bahwa berdasarkan catatan yang didapat dari mata-mata Belanda, opium terus tersedia bagi pejuang-pejuang Aceh dan harganya meningkat drastis jika dibandingkan ketika sebelum terjadinya peperangan.  Padahal Belanda telah melarang peredaran dan konsumsi opium secara resmi dan wilayah pesisiran Aceh telah diblokade sejak 3 tahun belakangan.

Mengapa penyelundupan opium terus menerus terjadi sedangkan Belanda dan Aceh sama sama telah megeluarkan pelarangan konsumsi opium?. Sejauh pengamatan saya ada beberapa alasan untuk menjawab pertanyaan ini. Opium mengandung zat morphine yang melahirkan kondisi analgesic. Ia memberikan rasa kebal sakit bagi korban-korban perang yang terluka. Dalam kondisi perang dan blokade dagang yang dijalankan Belanda, pejuang-pejuang Aceh dipastikan kesulitan untuk mendapatkan dokter yang layak atau bepergian menuju rumah pesakit. Rumah pesakit sebagaimana diketahui hanya ada di kawasan pos militer Belanda. Opium menjadi satu-satunya jalan untuk dapat mengobati korban-korban perang. Julia Lovell (2011) juga menyebutkan opium mampu memperlambat proses pencernaan, akan baik bagi penderita diare atau disentri. Ia juga dapat meringankan batuk. Pertimbangan medis semacam ini adalah alasan yang pertama. Alasan yang kedua, opium dapat difungsikan sebagai taktik untuk menjatuhkan kekuatan militer Belanda. Bukan hal yang tabu jika opium sering digunakan sebagai salah satu racun untuk membunuh lawan apabila diberikan dalam dosis kuat yang menyebabkan hilangnya kesadaran, tidak hanya melalui minuman atau makanan tapi juga melalui tembakan. Tembakan ini menyebabkan lumpuhnya kontrol saraf kepala yang mengendalikan pernapasan hingga menyebabkan kematian. Taktik seperti ini pernah dialami oleh seorang pangeran Cina. Yang ketiga, opium juga dimanfaatkan sebagai pengganti bayaran untuk memperoleh persenjataan demi melawan Belanda. Ada beberapa daftar pedagang Cina yang tercatat dalam laporan Belanda yang membantu penyelundupan opium dari Aceh untuk dijual di Penang atau sebaliknya. Sebagian laporan ini telah dikonsultasikan oleh Eric Tagliocozzo dalam dissertasinya ‘Secret Trade of the Straits: Smuggling and State Formation Along the Southeast Asian Frontier 1870-1910’ yang diselesaikan pada tahun 1999. Dikarenakan sumber yang tidak mencukupi, argumen-argumen diatas perlu ditelaah kembali.

Tentara Belanda di Tanah Gayo. Sumber foto: KITLV Digital Media Library
Tentara Belanda di Tanah Gayo. Sumber foto: KITLV Digital Media Library

Sebagaimana halnya Belanda mengerti manfaat-manfaat candu seperti yang tercantum diatas, keberadaan opium bagi mereka lebih dari sekedar medium pertolongan medis. Perdagangan opium mampu membiayai perang terhadap pembangkang-pembangkan di Aceh sekaligus melemahkan sendi-sendi sosial dan agama masyarakat koloninya.

Disisi lain, saat dunia masih belum dapat dipisahkan dari ketergantungan terhadap opium, tanaman Marijuana (ganja), berdasarkan penemuan Eric Tagliocozzo, sudah mulai menjajaki Asia tenggara antara tahun 1870 hingga 1910. Tidak sepopuler penyelundupan opium yang telah diregulasikan peredaran dan pelarangannya oleh Inggris dan Belanda pada paruh ketiga abad ke-19, marijuana dapat dengan mudah dibawa dan ditanam dikawasan-kawasan potensial. Belanda adalah bangsa Eropa pertama yang menanam bibit marijuana di Aceh. Sebagaimana Belanda lebih mementingkan perluasan sarang opium, marijuana juga mendapatkan perhatian yang sama.

Marijuana umumnya ditanam dan dipanen di kawasan Selat. Pada masa itu, marijuana lebih terkenal dalam bentuk adonan atau cairan kental seperti selai yang dapat dikonsumsi dengan apa saja. Pada akhir abad ke-19 atau lebih tepatnya pada tahun 1898 Inggris mengeluarkan larangan pemakaian dan perdagangan ganja yang baru efektif pelaksanannya setahun kemudian. Larangan ini diperuntukkan hanya terhadap jenis cannabis. Meskipun begitu, peraturan tersebut tidak bisa menghentikan penyebaran marijuana dan pertaniannya masih terus berlanjut di beberapa kawasan di Nusantara hingga saat ini.

 

Oleh Nia Deliana – Alumnus Sejarah dan Peradaban Universitas Islam Antarbangsa Malaysia, sukarelawan Pusat kebudayaan Aceh dan Turki (PuKAT).

Daftar Bacaan

Middendorp, W. (1929). The Effect of Western Influence on Native Civilization in the Malay Archipelago, Dr. B. Schrieke (ed). The administration of the outer provinces of the Netherlands Indies, (34-70). Batavia: G.Kolff & co.

Lovell, Julia, (2011), the Opium War: Drug, Dream, and the Making of China, London: Picador & Macmillan Distribution.

Tagliacozzo, Eric. (2005). Secret trades and porous borders: smuggling and state along Southeast Asian frontiers, 1865-1915. USA: Yale University Press.

Reid, Anthony. (2005). Asal mula konflik Aceh: dari perebutan pantai Timur Sumatra hingga akhir Kerajaan Aceh abad ke-19, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Scheltema, J.F, (July, 1907), The Opium Trade in the Dutch East Indies dalam American Journal of Sociology, Vol.3. No 1., p. 79-112. Diunduh tanggal 29 Maret 2016 di http://www.jstor.org/stable/2762537?seq=1#page_scan_tab_contents

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here