Syaikh Ihsan ibn Dahlan al-Jampesi al-Kediri atau yang biasa dikenal dengan Syaikh Ihsan Jampes merupakan salah satu nama dari sederetan nama ulama besar tanah Jawa. Beliau merupakan penulis kitab Siraj al-Thalibin Syarh ‘ala Minhaj al-‘Abidin Ila Jannat Rabb al-‘Alamin (سراج الطالبين شرح على منهاج العابدين إلى جنة رب العالمين) yang diterbitkan oleh penerbit Musthafa Baby Al Halaby, Kairo, Mesir.

Syaikh Ihsan adalah ulama yang alim dan cerdas. Menurut penuturan ahli waris, beliau pernah diminta oleh raja Faruq dari Mesir melalui utusannya untuk menjadi warga kehormatan Mesir sebagai Syaikh pengajar di universitas Al-Azhar, Kairo. Permintaan itu berkenaan dengan kitab karangan beliau Siraj al-Thalibin Syarh Minhaj al-‘Abidin karya Imam Ghozali, yang sangat terkenal di Mesir. Kitab itu menjadi diktat resmi di Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar, Kairo dan menjadi rujukan wajib di beberapa universitas di Mesir dan Eropa. Namun permintaan raja Faruq itu ditolak oleh beliau dan memilih hidup dan mengajar di pondok pesantrennya sendiri di Jampes Kediri (Hidayat, 2015).

Selain menulis Siraj al-Thalibin beliau juga menulis kitab-kitab lain. Salah satu kitab fenomenal yang beliau tulis adalah Irsyad al-Ikhwan fi Bayan Ahkami Syurb al-Qahwah wa ad-Dukhan. Kitab ini merupakan adaptasi puitik dari kitab Tadzkirah al-Ikhwan fi Bayani al-Qahwah wa ad-Dukhan karya KH. Ahmad Dahlan Semarang. Kitab Irsyad al-Ikhwan berisi mengenai sejarah dan polemik kopi dan rokok serta permasalahan fikih di sekitar rokok (Jampes, 2010). Kitab ini lahir dalam rangka menjawab protes dari salah satu kiai terkait perilaku Syaikh Ihsan yang memang perokok dan peminum kopi kelas berat.

Di sinilah nilai tradisi ilmiah ulama-ulama terdahulu dilestarikan. Ketika berseberangan pendapat, maka lahirlah karya-karya untuk membantah dan mempertahankan pendapatnya secara penuh tanggung jawab (Nasrudin, 2017). Menariknya, meskipun Syaikh Ihsan sendiri seorang perokok berat namun beliau di dalam kitabnya tersebut tetap menyebutkan pendapat-pendapat ulama yang mengharamkan rokok beserta argumentasinya masing-masing.

Hal ini tentu mengingatkan kita mengenai tugas seorang cendekiawan yang disebutkan Julien Benda. Benda mengatakan bahwa seorang cendekiawan harus tetap menjaga keadilan (la justice), kebenaran (la verite) dan rasio (la raison) (Tasrif, 1987). Sehingga sangat disayangkan jika ada seorang tokoh yang memiliki kapabilitas dalam suatu bidang ilmu, namun dia menyembunyikan kebenaran ilmu (kitman al-‘ilm) apabila dirasa merugikan, merongrong dan membahayakan status quo kekuasaan atau eksistensi diri dan kelompoknya.

Satu hal yang unik dan menarik dalam kitab Irsyad al-Ikhwan adalah informasi tentang penamaan kitab-kitab yang berbicara tentang masalah rokok menggunakan kata “Ikhwan”. Seperti kitab Tadzkirah al-Ikhwan fi Bayani al-Qahwah wa ad-Dukhan karya KH. Ahmad Dahlan Semarang yang digubah Syaikh Ihsan, kitab Tuhfah al-Ikhwan fi Tahrimi Dukhan karya Abdul Qadir Rasyidi al-Qonstanthini, Tabshirah al-Ikhwan fi Bayan adh-Dharar at-Tabgh al-Masyhur bi ad-Dukhan karya Syaikh Muhammad Tharabisy al-Halabi, Nashihah al-Ikhwan bi al-Ijtinab li Syurb Dukhan karya Syaikh Ibrahim al-Laqqani dan Ash-Shulh baina al-Ikhwan fi Hukm Ibahah Syurb ad-Dukhan karya Imam Abdul Ghani an-Nabilisi (Jampesi, 2016).

Para ulama yang mengharamkan rokok seperti al-Allamah al-Faqih ath-Tharabisy dan al-Muhaqqiq al-Bujairimi berargumentasi bahwa rokok berbahaya bagi kesehatan dan dapat menimbulkan madharat bagi yang mengkonsumsinya. Alasan lain dari pihak yang mengharamkan rokok karena rokok termasuk barang yang memabukkan atau melemahkan badan bahkan sebagian ulama menyerupakannya dengan candu. Selain itu juga bau rokok sangat tidak enak dan merokok merupakan suatu pemborosan. Demikian alasan-alasan dari para ulama yang mengharamkan rokok.

Sedangkan para ulama yang membolehkan rokok menolak pengharamannya dengan beberapa argumentasi. Mereka berkata –misalkan ucapan al-Babily guru dari al-Barmawi- bahwa “Menghisap rokok hukumnya halal. Keharamannya bukan karena zat rokok itu sendiri (haram li dzatihi). Namun karena ada unsur dan faktor luar yang memengaruhi atau merubah ataupun merubah hukum halal ini.” Akan tetapi pendapat seperti ini sudah dibantah oleh ulama yang mengharamkan seperti keterangan dari Syaikh asy-Syihab al-Qalyubi, beliau menjelaskan bahwa “Tembakau rokok tetap suci, namun haram dirokok. Sebab salah satu efek rokok adalah membuka saluran tubuh sehingga mempermudah masuknya penyakit berbahaya ke dalam tubuh”.

Penjelasan al-Qalyubi tersebut setidaknya menegaskan bahwa pihak yang mengharamkan rokok bukan berargumentasi dengan sebab zat rokok (tembakau) itu sendiri. Akan tetapi karena efek setelah tembakau tersebut dibakar kemudian dihisap asapnya ke dalam tubuh. Pihak yang menghalalkan rokok sebenarnya juga bersepakat atas keharamannya. Akan tetapi dengan ketentuan pengharaman bersyarat, karena pihak ini masih menolak dampak negatif secara mutlak bagi tubuh akibat menghisap rokok. Mereka mengatakan bahwa rokok diharamkan hanya bagi mereka yang mendapatkan madharat apabila mengkonsumsi rokok. Sedangkan jika seseorang yang merokok masih tetap sehat dan bugar maka halal baginya.

Penulis jadi teringat diskusi beberapa tahun lalu dengan salah satu dokter spesialis seputar evidence based dunia medis modern. Karena waktu itu ada orang dekat yang terkena doktrin abal-abal pseudoscience dari para pengusung “pengobatan alami” yang kadang juga dinamai “pengobatan Nabi” yang sangat antipati terhadap pengobatan modern. Waktu itu sang dokter berbicara tentang efek berbahaya mengkonsumsi jamu (warungan) yang dapat menyebabkan penyakit ginjal. Namun, banyak orang yang menolak peringatan ini dengan berdalih “toh kami tetap sehat meskipun mengkonsumsi jamu (warungan)”. Dokter tersebut mengatakan kepada saya bahwa sekitar 70% penderita penyakit ginjal adalah orang yang mengkonsumsi jamu. Jadi alasan para peminum jamu untuk tidak menghentikan konsumsinya mirip dengan alasan pihak yang menghalalkan rokok.

Dari hasil pembacaan saya terhadap argumen para ulama yang menghalalkan rokok adalah klaim mereka bahwa rokok tidak mendatangkan madharat secara mutlak. Mungkin saja di zaman mereka belum ada penelitian medis yang memberikan hasil empiris yang bersifat pasti tentang bahaya dan madharat dari rokok seperti yang kita dapati di zaman ini. Dan kita perlu ingat bahwa salah satu pendekatan memahami agama Islam adalah dengan pendekatan burhani (demonstratif). Pendekatan burhani berkaitan dengan upaya mendapatkan kebenaran melalui pendekatan rasional yang bersifat empiris. Dalam masalah penentuan hukum rokok yang menjadi akar perdebatan adalah seputar illat madharat atau tidaknya. Dari sini perlunya penelitian medis sebagai pendekatan burhani untuk membuktikan tentang bahaya rokok. Dan jika memang penelitian medis sudah terbukti valid dan akurat tentang kepastian bahayanya. Maka kesimpulannya tidak ada lagi alasan untuk menghalalkannya.

Alhasil, jika ada yang bersikukuh berpegang kepada pendapat tentang kebolehan merokok. Maka setidaknya di zaman modern ini merokoklah di tempat khusus yang disediakan atau di tempat yang asap rokok tersebut tidak menyebar mengenai orang lain yang tidak merokok. Menghormati orang yang tidak merokok adalah dengan tidak mengepulkan asap rokok di sekitarnya.

Di akhir pembahasan Irsyad al-Ikhwan Syaikh Ihsan al-Jampesi menyajikan pembahasan permasalahan fikih di sekitar rokok. Diantaranya tentang adanya kesalahpahaman bolehnya menghisap rokok sewaktu puasa dan anggapan perbuatan tersebut tidak membatalkannya. Kesalahpahaman ini disebabkan karena keliru dalam memahami penjelasan Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitabnya Tuhfah al-Muhtaj. Di dalam Tuhfah al-Muhtaj, Ibnu Hajar al-Haitami menjelaskan bahwa syarat sah puasa adalah menahan diri dari masuknya sesuatu yang bersifat substantif (‘ain) ke dalam lubang tubuh. Ibnu Hajar berkata, “Ini berbeda dengan masuknya sesuatu yang merupakan konsekuensi/ efek (atsar) dari benda substantif (‘ain) itu, seperti masuknya aroma makanan dan udara melalui rongga penciuman” (Jampes, 2010).

Perkataan Ibnu Hajar ini dipahami oleh pihak yang mengatakan menghisap rokok tidak membatalkan puasa dengan alasan asap rokok merupakan atsar bukan ‘ain. Dan pendapat ini dibantah oleh Syaikh Ihsan. Beliau membantah pendapat tersebut dengan membawakan banyak pendapat para ulama yang menguatkan bahwa menghisap rokok merupakan perbuatan yang bersifat ‘ain bukan atsar. Dan hal ini dibuktikan oleh para ulama yang beliau kutip pendapatnya bahwa pembuktian asap rokok merupakan sesuatu yang ‘ain adalah dengan tertinggalnya residu (ampas) rokok di pipa-pipa rokok. Atau dengan kata lain menghisap rokok sama saja dengan menelan partikel-partikel kecil yang bersifat ‘ainiy.

Wallahu a’lam bishshawab

Oleh: Muhammad Fikri Hidayatullah – Peminat Sejarah Islam di Indonesia

Referensi:

Nasrudin. “Nadzam Irsyad al-Ikhwan”, Kitab Pembelaan Hukum bagi Rokok dan Kopi, tersedia di http://www.datdut.com/nadzam-irsyad-al-ikhwan-kitab-pembelaan-hukum-bagi-rokok-dan-kopi/

  1. Aris Hidayat. Kontroversi Hukum Rokok dalam Kitab Irsyād Al-Ikhwān Karya Syekh Ihsan Muhammad Dahlan, International Journal Ihya’ ‘Ulum Al-Din, Vol 17 no 2 (2015) DOI: 10.21580/ihya.16.2.1652
  2. Tasrif. Julien Benda dan Pengkhianatan Kaum Intelektual. dalam Dick Hartoko (Ed). 1981. Golongan Cendekiawan Mereka yang Berumah di Angin sebuah Bunga Rampai. Jakarta: Gramedia.

Syaikh Ihsan Jampes. 2010. Kitab Kopi dan Rokok (Edisi Terjemah dari Irsyad al-Ikhwan), Pustaka Pesantren : Yogyakarta.

Syaikh Ihsan ibn Dahlan al-Jampesi. 2016. Syarh Mandzumah Irsyad al-Ikhwan fi Bayan Ahkami Syurb al-Qahwah wa ad-Dukhan, Penerbit PISS-KTB. Tersedia di https://archive.org/details/ulin_631

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here