Di Lapangan Terbang Kemayoran, Syafruddin menerangkan kepada wartawan, bahwa dia mendapat kuasa dari PDRI untuk mengembalikan mandat pemerintahan kepada Presiden Sukarno. Mandat itu mula-mula mau diserahkan dalam rapat kabinet Minggu sore itu juga, akan tetapi kemudian rencana itu dimundurkan menjadi hari Rebo, yaitu sekembalinya Menteri Susanto Tirtoprodjo dari Jawa Timur.
Sjafruddin Kembali, Mingguan Siasat, 17 Juli 1949.
Tepat pada 13 Juli 1949, dalam sidang Dewan Menteri, Syafruddin Prawiranegara menyerahkan mandat sebagai Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) kepada Sukarno. Sidang penyerahan mandat itu mengakhiri tugas PDRI melewati delapan bulan masa sulit demi mempertahankan eksistensi republik menghadapi serangan militer Belanda.
“Setelah Yang Mulia Mr. Susanto Tirtoprodjo, Menteri Kehakiman, anggota Pemerintah Darurat Republik Indonesia, tiba di Ibukota Yogyakarta, maka tadi malam mulai jam 20.00 diadakan sidang Dewan Menteri yang pertama dari Pemerintah Republik Indonesia semenjak kembalinya pemimpin-pemimpin negara di Yogyakarta.”[1]
Tiga hari sebelumnya, tepatnya pada 10 Juli 1949, Syafruddin tiba di Pangkalan Udara Maguwo bersama rombongan utusan Hatta yang bertugas menjemputnya, di antaranya Dr. Leimena, Moh. Natsir, dan dr. Halim. Pada hari yang sama panglima Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) Letjen Sudirman juga keluar dari rute gerilya dan tiba di Kota Yogyakarta.
Proses Dialektik antara Diplomasi dan Perjuangan Bersenjata
Kepentingan politik penguasaan Belanda di Indonesia kembali berlangsung dengan didudukinya Ibukota Yogyakarta pada 19 Desember 1948 pasca Perundingan Renville. Indonesia yang merespon tindakan tersebut berhasil mempertahankan eksistensinya melalui pembentukan pemerintah darurat di Sumatra Tengah dan perlawanan gerilya di Jawa.
Memasuki awal tahun 1949, muncul desakan gencatan senjata dari kalangan dunia internasional terhadap agresi militer Belanda tersebut. Konferensi internasional pertama bagi negara-negara Asia, yaitu Konferensi Inter-Asia yang dihadiri oleh 19 negara Asia ditambah Australia dan Selandia Baru, menyatakan sikap kecaman atas tindakan Belanda di Indonesia. Sikap tersebut sekaligus desakan kepada Dewan Keamanan PBB untuk segera merespon situasi yang terjadi di Indonesia.[2]
Menindaklanjuti desakan tersebut, Dewan Keamanan PBB menghasilkan resolusi 28 Januari 1949 guna mendorong agar segera dilakukan gencatan senjata dan mengakhiri konflik melalui meja perundingan. Resolusi ini kemudian yang menghasilkan upaya diplomasi melalui perundingan yang dikenal dengan Perundingan Roem-Royen 7 Mei 1949.
Dalam proses inilah terjadi proses dialektik antara diplomasi dengan perjuangan bersenjata. Muncul perbedaan pandangan di kalangan pemimpin pemerintahan. PDRI yang berada di Sumatra Tengah memilliki sikap yang berseberangan dengan para pemimpin pemerintahan di Bangka berkaitan dengan proses diplomasi.[3]
Proses dialektik ini terjadi antara pemimpin pemerintahan di Bangka yang terlibat langsung dalam proses diplomasi perundingan Roem-Royen, dengan pihak PDRI di Bukittinggi dan kalangan militer Indonesia yang cenderung menolak dilakukannya perundingan.
Di luar perhubungan dengan PDRI, proses diplomasi menuju ke arah meja perundingan dilakukan antara Belanda dan UNCI dengan pihak pemerintah RI di Bangka. Proses diplomasi kedua pihak kemudian menghasilkan kesepakatan untuk melakukan perundingan antara pihak Indonesia yang diwakili oleh Mohammad Roem dan pihak Belanda yang diwakili oleh Herman van Roijen. Perundingan ini dimulai sejak 17 April 1949 dan berakhir pada 7 Mei 1949.
Namun PDRI amat menyayangkan keputusan yang diambil kalangan pemerintah RI di Bangka. Selama proses diplomasi PDRI sebagai pemegang mandat pemerintahan yang sah tidak pernah dilibatkan dalam mengambil keputusan. Padahal, PDRI yang mendapat dukungan APRI pimpinan Letjen Sudirman memiliki sikap dan pertimbangan penting mengenai situasi saat itu.[4]
Keduanya bahkan cenderung bersikap untuk tidak melakukan perundingan. Sebab dalam lapangan militer maupun politik, posisi pihak republik mengalami penambahan kekuatan yang berarti. Terlebih perlawanan gerilya yang melibatkan berbagai perjuangan rakyat pada serangan 1 Maret telah menambah kekuatan posisi Indonesia.[5]
Penolakan terhadap rencana perundingan juga didasarkan atas diplomasi-diplomasi sebelumnya. Letjen Sudirman mengkhawatirkan proses perundingan akan menghasilkan persetujuan yang tidak menguntungkan Republik Indonesia.[6]
Sebab proses diplomasi melalui jalur perundingan tiada lain merupakan misi dan kepentingan politik Belanda atas pendudukannya di Indonesia. Jalan diplomasi justru akan lebih menguntungkan Belanda yang memainkan diplomasi politik dengan PBB dengan melakukan pengaburan terhadap agenda perundingan. Selain itu, diplomasi juga menguntungkan Belanda yang tengah mengalami penyusutan kekuatan militer sejak serangannya ke Ibukota Yogyakarta dan Bukittinggi.[7]
Sejak rencana-rencana perundingan telah tercium, PDRI sebagai pemerintahan yang sah sebenarnya telah menyatakan sikapnya mengenai rencana-rencana perundingan tersebut. Syafruddin menyatakan, bahwa segala rencana perundingan harus dilakukan melalui PDRI.
Melalui radiogram pada 18 Januari 1949 Syafruddin menyatakan “Selama presiden dan wakil presiden belum dapat berunding dengan PDRI yang telah diberi kekuasaan penuh untuk melanjutkan pemerintahan selama presiden dan kabinet masih dalam keadaan yang tidak memungkinkan mereka menjalankan kewajibannya sebagaimana mestinya, maka dengan sendirinya bagi presiden dan wakil presiden atau siapapun juga di luar PDRI tak mungkin memberi keputusan yang tertentu. Segala perundingan di luar pengetahuan dan persetujuan PDRI hanya mempunyai sifat tidak resmi dan tidak mengikat.”[8]
Situasi dialektik antara diplomasi dan perjuangan bersenjata juga ditampilkan dalam pemberitaan Mingguan Siasat. Dalam sejumlah pemberitaannya, Roem sendiri merasa perlu adanya perhubungan dengan Syafruddin sebagai Ketua PDRI dalam proses perundingan. Baginya, mandat pemerintahan sebenarnya dipegang oleh Syafruddin.[9]
“Sedangkan berdirinya Republik Indonesia sebagai suatu organisasi kenegaraan menuntut, agar diadakan perhubungan dulu dengan Syafruddin ?” Konperensi Pendahuluan, Mingguan Siasat, 17 April 1949.
Inisiatif Politik Syafruddin Prawiranegara
Dini hari 19 Desember 1948, Belanda mulai menerjunkan pasukan udaranya untuk mengamati situasi Yogyakarta. Setelah itu, pasukan militer Belanda diturunkan di Lapangan Udara Maguwo pada pagi hari tepat setelah fajar terbit dan memulai serangannya ke Kota Yogyakarta.
Sekitar pukul 06.45 Belanda mendaratkan pasukannya. Lapangan Udara Maguwo menjadi tempat pertama yang dikuasai Belanda. Setelah itu, pasukan Belanda bergerak menuju kota dan tepat siang hari pukul 12.00, tempat-tempat penting di Ibukota Yogyakarta berhasil dikuasai.[10]
Setelah itu Belanda dan pasukannya menuju istana kepresidenan dua jam setelah berhasil menguasai tempat-tempat penting di kota Yogyakarta. Anggota Kabinet Pemerintahan yang berada di Yogyakarta berada dalam penguasaan Belanda dan akan dibawa ke Bangka. Pada saat itulah Belanda mulai melakukan penguasaannya terhadap Ibukota Yogyakarta.
Namun sebelum militer Belanda sampai ke pusat pemerintahan dan menguasai Kota, kabinet pemerintahan melakukan rapat. Rapat dipimpin langsung oleh Soekarno dan Hatta. Rapat kabinet menghasilkan dua keputusan penting yang menentukan jalannya republik selama serangan militer Belanda ke Yogyakarta.
Keputusan pertama ialah, memberikan mandat kepada Syafruddin Prawiranegara selaku Menteri Kemakmuran untuk membentuk pemerintahan daruat.[11] Sedangkan keputusan kedua, jika usaha Syafruddin tidak berhasil, diberikan kuasa kepada perwakilan Indonesia di India, yaitu Soedarsono, Palar, dan Maramis untuk membentuk Exile Government.[12]
Selain Yogyakarta, Bukittinggi juga menjadi target serangan Belanda. Pada waktu yang sama Belanda melakukan serangan udara ke Bukittinggi. Berbeda dengan Yogyakarta, di Bukittinggi Belanda tidak langsung menurunkan prajuritnya. Mereka mendaratkan prajuritnya di wilayah Danau Singkarak, yang berjarak 50 km di selatan Bukittinggi.
Oleh karena itu, pasukan militer Belanda baru tiba di Bukittinggi empat hari kemudian. Saat itu Kota Bukittinggi telah dibumihanguskan. Para penduduk beserta kalangan sipil dan militer telah meninggalkan kota menuju Bidar Alam. Di Bukittinggi Belanda kehilangan momentum dan tidak berhasil menguasai kota.
Selama pasukan Belanda belum memasuki kota, para pemimpin pemerintahan baik pusat maupun daerah serta sipil maupun militer di Bukittinggi mengadakan pertemuan. Pertemuan yang dilangsungkan di Gedung Tri Arga atau Istana Wakil Presiden menghasilkan keputusan penting untuk mendirikan pemerintahan darurat.
Pada saat itu Syafruddin Prawiranegara memberikan sebuah usulan, di mana untuk merespon situasi genting, perlu dibentuk satu pemerintah darurat yang dapat mengambil alih tugas pemerintahan di Yogyakarta. Maka pada Pertemuan tersebut, para peserta rapat yang hadir menyetujui usul Syafruddin dan menunjuk Syafruddin sebagai pemimpin PDRI.[13]
Selain membentuk pemerintah darurat, pertemuan juga membahas rencana perlawanan menghadapi serangan militer Belanda ke Bukittinggi. Dalam rapat ini disepakati sebuah langkah paling awal untuk meninggalkan Bukittinggi dan membumihanguskannya, kemudian pergi menuju Bidar Alam yang terletak di selatan pedalaman Sumatra Barat, lokasi tempat ibukota PDRI didirikan.
Untuk sampai ke Bidar Alam, rombongan PDRI melewati rute perjalanan panjang. Rute ini dimulai dari Bukittinggi menuju ke arah utara yaitu Halaban, tempat dibentuknya Kabinet PDRI pertama. Setelah singgah di Halaban, perjalanan dilanjutkan ke Payakumbuh, kemudian ke Bangkinang hingga tiba di Taratak Butuh. Sesampainya di sana, perjalanan dilanjutkan menuju ke wilayah Selatan melewati Taluk dan Sungai Dareh. Setelah melewati rute panjang, maka sampailah di tempat tujuan yaitu Bidar Alam.
Pada 22 Desember 1948 di Halaban, susunan kabinet pertama PDRI berhasil dibentuk. Pagi dini hari menjelang shubuh rombongan menyepakati susunan kabinet PDRI pertama, yang dipimpin oleh Syafruddin Prawiranegara sebagai ketua yang merangkap Menteri Pertahanan, Menteri Penerangan, dan Menteri Luar Negeri ad interim serta Teuku Mohammad Hasan sebagai Wakil Ketua merangkap Menteri Dalam Negeri, Menteri P&K, dan Menteri Agama.[14]
PDRI sebagai satu episode politik pada masa perang kemerdekaan pada hakikatnya berdiri atas dasar dua latar belakang historis. Pertama, PDRI dibentuk atas dasar keputusan resmi hasil rapat kabinet pemerintahan di Yogyakarta, yang memberikan mandat kepada Syafruddin Prawiranegara selaku Menteri Kemakmuran untuk membentuk pemerintah darurat.
Dan kedua, PDRI juga dibentuk atas dasar inisiatif politik Syafruddin Prawiranegara dalam pertemuan anggota pemerintahan sipil dan militer baik tingkat pusat maupun daerah di Gedung Tri Arga atau Istana Wakil Presiden di Bukittinggi.
Oleh: Muhammad Faizurrahman – Alumni Ilmu Sejarah Universitas Sebelas Maret (UNS), Direktur Sultanate Institute.
[1] A.H. Nasution, “Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia”, Jilid 10, Bandung: Angkasa, 1993, hlm. 592-593.
[2] “Asia Bersatu Membantu Indonesia”, Mingguan Siasat, 2 Januari 1949.
[3] Sartono Kartodirdjo, Makna PDRI dalam Revolusi Indonesia, dalam “Pemerintah Darurat Republik Indonesia Dikaji Ulang”, Jakarta: Masyarakat Sejarawan Indonesia, 1990.
[4] Radiogram Ketua PDRI mengenai sikap PDRI terhadap perundingan dengan Belanda 2 Juni 1949, “PDRI dalam Khazanah Kearsipan”, Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 1989.
[5] Darwanto, “Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta: Latar Belakang dan Pengaruhnya”, Jakarta: Citra Lamtoro Gung Persada, 1993.
[6] Radiogram Panglima Besar APRI Letjen Sudirman kepada Ketua PDRI 25 April 1949, “PDRI dalam Khazanah Kearsipan”, Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 1989.
[7] Djauhkan Tele-Tele, Mingguan Siasat, 3 April 1949.
[8] Radiogram Ketua PDRI 18 Januari 1949, “PDRI dalam Khazanah Kearsipan”, Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 1989.
[9] Mingguan Siasat, 10, 17, 24 April 1949.
[10] Mestika Zed, “Somewhere in the Jungle: Pemerintah Darurat Republik Indonesia Sebuah Mata Rantai Sejarah yang Terlupakan, Jakarta: Pustaka Uama Graffiti, 1997.
[11] Instruksi Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta untuk pembentukan Pemerintah Darurat Republik Indonesia 19 Desember 1948, “PDRI dalam Khazanah Kearsipan”, Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 1989.
[12] Radiogram Wakil Presiden Mohammad Hatta dan Menteri Luar Negeri Agus Salim kepada dr. Sudarsono, Palar, dan Maramis di New Delhi 19 Desember 1948, “PDRI dalam Khazanah Kearsipan”, Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 1989.
[13] Mestika Zed, “Somewhere in the Jungle: Pemerintah Darurat Republik Indonesia Sebuah Mata Rantai Sejarah yang Terlupakan, Jakarta: Pustaka Uama Graffiti, 1997.
[14] Wawancara dengan Syafruddin Prawiranegara 29 Mei 1979, “PDRI dalam Khazanah Kearsipan”, Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 1989.