“Orang Ternate adalah umat Muhammad dan
kita umat Kristen. Mereka itu pembohong
dan sekaligus bermuka dua, tidak berkewajiban (demikian pernyataan
mereka) untuk menepati sumpah dan janji-janji mereka kepada umat Kristen.
Mereka itu angkuh, congkak, kejam dan pembunuh. Kendati jumlah mereka sedikit,
yang mereka lakukan tak lain adalah Tindakan yang kejam terhadap berbagai
bangsa di dekatnya karena mereka sangat suka melakukan peperangan-dan ini bukan
melalui kegagahberanian, kekuatan, dan semangat gemar berperang mereka,
melainkan melalui kita…”
Jan Pieterszoon Coen, mantan Gubernur Jenderal
Hindia Timur mengenai orang Ternate.[1]
Jan Pieterszoon Coen, Gubernur Jenderal Hindia Timur Belanda (menjabat 1627-1629) meski menuding karakter orang Muslim Ternate sebagai kejam, tetapi ia juga tidak ragu untuk menimpakan kekejaman kepada penduduk pribumi. Dan komentar Coen setidaknya menandakan keengganannya untuk mengenal dengan baik penduduk pribumi muslim.
Coen memang dapat disebut mewakili sikap petinggi Vereenigde Oostindische Compagnie (V.O.C.) mengenai relasi mereka dengan penduduk Hindia Timur. Kekejamannya yang tak terkira membunuhi orang Banda adalah pendekatan tangan besi. Tak ada inisiatif untuk mempelajari perbedaan dengan kelompok yang berbeda.
Meski demikian, bukan berarti tak ada catatan yang lebih intens dari sekedar prasangka semacam Coen. Catatan Jacob van Neck yang melakukan ekspedisi pada tahun 1589-1600, merekam keberagamaan muslim Ternate dengan menarik:
“Para penduduk umunya adalah orang-orang kafir, yang menganut keyakinan Mahometish, yang sangat mereka taati. Mereka tidak akan datang ataupun pergi dari pasar tanpa berdoa terlebih dahulu di kuil mereka, yang mereka sebut Musquita dalam bahasa mereka….Ketika mereka selesai bersuci dan berbasuh, mereka pergi ke gereja mereka dan berdoa dengan seruan dan teriakan.”[2]
Pengamatan macam Van Neck menjadi rangkaian pengamatan para orang asing terhadap praktik Islam di tanah air. Pengamatan ini biasanya dilakukan menjadi bagian dari catatan perjalanan para orang asing di Hindia Timur, seperti yang dilakukan Frederick de Houtman yang pernah dipenjara selama hamper dua tahun di Aceh.[3] Tetapi pengamatan-pengamatan demikian tidak berjalan sistematis.
Langkah selanjutnya V.O.C. mulai mencoba pengamatan lebih serius terhadap muslim di nusantara atas dorongan pihak gereja di Belanda. V.O.C. pada dasarnya hanya berambisi mengejar keuntungan di Hindia Timur. Tetapi pada 1603, ketujuh belas Direktur Kongsi Hindia Timur (VOC) yang baru dibentuk menerima resolusi yang menyerukan penunjukan dua orang yang tepat dan kompeten untuk mengabarkan firman Tuhan dan menjauhkan orang-orang Moor dan Ateis.[4] Pada 1615 dewan Gereja di Delft dan Delflant menyerukan lembaga pelatihan untuk mempejalari Bahasa Maleytse untuk mempersiapkan kedatangan mereka di Hindia.[5]
Pada 1622, V.O.C. mulai mengubah komitmennya dan menetapkan bahwa mereka akan peduli terhadap “pemeliharaan keimanan publik.” Tetapi hal ini tak berjalan baik. Hanya pihak gerja yang terus berupaya mempersiapkan para misionaris untuk memasuki Hindia Timur.[6]
Collegium Indicum didirikan oleh Justrus Heurnius (1587-1652) untuk melatih dua lusin pengkhotbah yang dikirim ke pos-pos di Ceylon (Srilanka), Ambon dan Formosa (Taiwan). Namun lembaga ini pun ditutup oleh V.O.C pada tahun 1632 akibat perselisihannya dengan pihak berwenang di Batavia. V.O.C. memang tampaknya tak terlalu berminat dengan Lembaga persiapan semacam ini.[7] Meskipun sebenarnya mereka dibebani dorongan untuk meneguhkan Agama Kristen Protestan, menyebarkan keyakinan, dan membasmi berhala dan agama palsu di kalangan masyrakat pribumi.[8]
Dalam hal itu V.O.C. mengawasi semua aktivitas misi Kristen di Jawa. Tetapi mereka tak pernah berminat melakukan kegiatan misi di Jawa, alih-alih mereka malah mendorongnya di Maluku yang Sebagian penduduknya sudah memeluk agama Katolik yang dibawa Portugis. Di sini kemudian misi didorong untuk disebarkan kepada orang pribumi Maluku yang sudah memeluk Katolik. Sebab Katolik dianggap sebagai satu alasan kolaborasi dengan Orang Portugis. Sehingga lebih mudah mengubah keyakinan Orang Katolik Maluku daripada Muslim di Pulau Jawa.
Namun alasan utama V.O.C. adalah karena mereka menerapkan kebijakan tak mau ikut campur dan keengganan dalam soal finansial. Mereka lebih suka menghindari misi kepada orang Jawa agar tak menyebabkan kekacauan, dan menghindari keluarnya biaya besar dari melatih pendeta, menerjemahkan Alkitab dan hal lain yang memakan biaya.[9]
Oleh sebab itu pengamatan-pengamatan terhadap Kaum Muslimin di Pulau Jawa akhirnya dilakukan tidak secara sistematis dan mengandalkan pribadi-pribadi pendukung misi penuh rasa penasaran seperti Abraham Rogerus (1609-1649), Phillipus Baldaeus (1632-1672), dan Francois Valentijn (1666-1727).[10] Nama terakhir begitu mahsyur sehingga karyanya dapat disebut sebuah karya yang bersifat ensiklopedik.[11]
Oud en Nieuw Oosat-Indien (Old and New East-India) karya Francois Valentijn tidak saja mengambil dari sumber-sumber yang sudah ada, tetapi juga menyajikan pengamatan dari Valentjin sendiri yang melaporkan tentang Jawa, dan daerah-daerah lain di Nusantara. Dalam satu kesempatan, Valentjin menulis penyebab banyak orang pribumi memeluk agama Islam. Menurutnya,
“…bahwa agama ini (Islam) tersebar luas di kalangan para penyembah berhala yang buta sehingga bagian terbesar dari pulau ini menjadi penganut agama Muhammad. Agama ini sangat ringan dan teramat mudah bagi mereka untuk dilaksanakan-yang sekaligus merupakan sebab kenapa sangat sulit bagi kita untuk menyebarkan pengaruh.”[12]
Valentijn yang menginjakkan kaki pertama kali di Batavia tahun 1686, mewakili kalangan misionaris dari Gereja Reformasi yang telah memulai dengan penerjemahan Injil ke bahasa Melayu. Valentijn cenderung menggunakan Bahasa melayu dengan dialek-dialek lokal untuk menerjemahkan kitab suci. Menurutnya, Bahasa Melayu adalah cagar kebudayaan Islam.[13]
Valentijn menulis tentang penyebaran Al-Qur’an yang begitu hebat dan dibaca dari Patani (Thailand Selatan) hingga Jawa. Dia mengakui bahwa Islam tidak disebarkan dengan kekerasan dan hampir di seluruh pulau Jawa adalah ‘Mohammedan.’ Meski demikian, menurut Michael Laffan, Valentijn tidak menganggap Islam sebagai sebuah agama, serta mendudukannya di tempat ketiga setelah agama “Pagan” dan agama “Roma.”[14] Terlepas dari hal itu, karya Valentijn dirujuk berbagai cendikiawan dan pelawat (traveller) Belanda selama lebih dari satu abad dan dicetak ulang hingga tahun 1860-an.[15]
Usaha-usaha untuk memahami masyarakat pribumi memang terbatas. Bahasa melayu pun kala itu dimanfaatkan secara terbatas. Kitab Perjanjian Baru pertama yang berbahasa Melayu muncul pada tahun 1668 setelah diterjemahkan oleh pendeta Belanda Bernama Daniel Brouwerius. Sedangkan Alkitab lengkap dalam Bahasa Melayu baru muncul lebih dari setengah abad kemudian pada tahun 1733, lewat Alkitab terjemahan Leijdecker dan van de Vorm. Alkitab semacam ini lebih banyak dipakai untuk jemaat-jemaat dan sekolah-sekolah yang disponsori oleh V.O.C. di wilayah seperti Ambon dan Batavia.[16]
Sedikitnya perhatian terhadap kaum muslimin di Hindia Belanda juga tercermin, misalnya jika kita merujuk karya J. Scharp yang mengajar di sekolah pendidikan guru di Nederlandshce Zendeling Genootshcap (Perkumpulan Misionaris Belanda). Dalam karyanya mengenai Islam pada tahun 1824, Mohammedanismus, Scharp memakai rujukan Al-Qur’an terjemahan dan laporan-laporan perjalanan dari Timur Tengah, tetapi tak ada satu pun yang menggambarkan Islam di Hindia Belanda.[17]
Sedikitnya perhatian pada masyarakat Muslim di nusantara ditutupi oleh segelintir orang. Salah satunya adalah perhatian pada tahun 1730, Ketika seorang penerjemah Injil kelahiran Swiss, George Henrik Werndly (1694-1744), menyusun Maleische Spraakkunst (Seni Wicara Melayu). Karya Werndly ini dipakai para pejabat kolonial Belanda. Wendly kemudian mulai mencatat beberapa karya ulama-ulama nusantara seperti Sulalat al-Salatin, Bustan al-Saltin (Taman Para Sultan), dan Taj-al-Salatin (Mahkota Para Sultan), Kanz al-Kahfi (Harta yang tersembunyi) karya Nuruddin al-Raniri dan lainnya.[18] Karya-karya ulama ini menjadi salah satu pintu bagi para pendukung misi Kristen untuk mengenal Islam, meski tak bisa melepaskan dari prasangka mereka.[19]
Bagaimanapun abad ke-18 mewakili perkenalan dan pencatatan orang asing mengenai Islam di Jawa khususnya dalam bentuk yang sederhana dan penuh muatan keyakinan agama. Masa yang membentuk pengetahuan tentang Islam dibentuk oleh “keyakinan yang masuk akal” ketimbang pengetahuan historis.
Satu hal yang pasti, kebutuhan untuk mengetahui bahasa orang-orang pribumi setempat dan pengetahuan akan masyarakatnya semakin mendesak. Pada Desember 1754, Gubernur Jenderal Jacob Mossel (menjabat 1750-1761) memerintahkan agar disusun bunga rampai mengenai berbagai hukum dan adat ‘Mohammedan’ paling penting mengenai beberapa hal, seperti warisan, perkawinan dan perceraian. Mereka juga ingin menghilangkan ketergantungan terhadap penerjemah asing.[20] Hanya saja Mossel bukan pertanda gelombang perubahan di Batavia. Sebab dua Gubernur Jenderal berikutnya memusuhi usaha ilmiah apa pun.[21]
Kerja-kerja mengamati masyarakat pribumi di nusantara akhirnya ditopang pula para peminat pencerahan ilmu pengetahuan. Salah satunya dari Jacob Cornellius Mattheus Radermacher, seorang ahli botani dan menantu dari Gubernur Jenderal Reiner de Klerk (menjabat 1777-1780). Radermacher kemudian mendirikan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Masyarakat Batavia untuk Seni dan Ilmu Pengetahuan) pada tahun 1777 yang jelas-jelas mencontoh Hollandsche Maatschappij der Wetenschappen (Dutch Society of Sciences) Harlem.[22]
Perkumpulan ini membuka pintu untuk segala pengetahuan seperti biologi, sejarah, arkeologi dan antropologi. Meski demikian tujuan utamanya tetaplah perkembangan ekonomi koloni di Batavia.[23] Maka tidak mengherankan jika perkumpulan ini dibawah patronase dari Gubernur Jenderal V.O.C.[24] Sebab Radermacher sendiri selain pegawai V.O.C., mertuanya pun Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
Meskipun banyak menaruh minat di perkara pertanian, botani dan sejarah, namun perkumpulan ini juga tak luput menaruh perhatian pada Islam. Pada pertemuan tanggal 30 Juni 1782, diputuskan untuk menawarkan hadiah uang kepada siapa pun yang bisa menghasilkan sebuah makalah untuk menjelaskan proses pengislaman di berbagai wilayah dan kepulauan di nusantara.[25]
Yang menarik dari Radermacher tentu saja bukan sekedar minatnya pada seni dan ilmu pengetahuan, tetapi juga posisi dirinya sebagai anggota Freemason dan pendiri dari Loji Freemson La Choisie di Batavia. Ayah Radermacher sendiri adalah anggota berpengaruh dalam Freemason. Maka tidak mengherankan jika sepertiga dari anggota Bataviaasche Genootshcaap adalah anggota Freemason.[26] Dari posisinya dalam Freemason di Batavia, kita dapat melacak pula keanggotaan Freemason yang berpengaruh dalam perkumpulan Bataviaasch Genootschap, salah satunya dengan keikutsertaan Thomas Stamford Raffles yang akan membawa gelombang perubahan terhadap studi masyarakat Muslim di Nusantara, khususnya kepada orang Jawa.
Bersambung ke bagian 2: Raffles dan Studi Muslim di Jawa
Oleh: Beggy Rizkiyansyah – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)
[1] Steenbrink, Karel. Kawan dalam Pertikaian: Kaum Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia (1596-1942). Bandung: Penerbit Mizan, 1995.
[2] Laffan, Michael. Sejarah Islam di Nusantara. Yogyakarta: Penerbit Bentang, 2015.
[3] Laffan, Michael.
[4] Laffan, Michael.
[5] Laffan, Michael.
[6] Laffan, Michael.
[7] Laffan, Michael.
[8] Boogert, Jochem van den.” Rethinking Javanese Islam: Towards New Description of Javanese Tradition.” PhD. Diss., Leiden University, 2015.
[9] Boogert, Jochem van den.
[10] Boogert, Jochem van den.
[11] Steenbrink, Karel.
[12] Steenbrink, Karel.
[13] Laffan, Michael.
[14] Laffan, Michael.
[15] Laffan, Michael.
[16] De Vries, Lourens. Ikhtisar Sejarah Penerjemahan Alkitab di Indonesia dalam Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia, ed. Henri Chambert-Loir. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2009.
[17] Steenbrink, Karel.
[18] Laffan, Michael.
[19] Laffan, Michael.
[20] Laffan, Michael.
[21] Laffan, Michael.
[22] Laffan, Michael. Hal. 97, Steenbrink, Karel. Hal. 77, dan Boomgaard, Peter. For the Common Good: Dutch Institutions and Western Scholarship in Indonesia Around 1800 dalam Empire and Science in the Making: Dutch Colonial Scholarship in Comparative Global Perspective 1760-1830, ed. Peter Boomgaard. New York: Palgrave Macmillan, 2013.
[23] Boomgaard, Peter.
[24] Boomgaard, Peter.
[25] Laffan, Michael.
[26] Boomgaard, Peter.