Ada sisi lain dari tragedi 1965 yang bisa kita lihat. Islam menjadi dominan tampil dalam satu wajah, yaitu wajah politik. Alih-alih pendekatan politik konservatif, beberapa orang mencoba melihat dari sisi lain. Merangkul para komunis dan keluarganya.
Kerugian Umat Islam Pasca 1965
Peneliti Pusat Studi Peradaban Islam (PSPI) Solo, Arif Wibowo menyoroti tindakan pembunuhan terhadap orang-orang PKI dan yang dituding PKI pasca 1965.Menurut pakar Kristenisasi ini, terjadi konversi umat Islam pindah agama ke Kristen, Katolik, Hindu dan lainnya bahkan mencapai angka yang fantastis.Mereka pindah agama lantaran mencari ‘aman’ agar tidak dituduh PKI.
“Memang ada yang beralasan psikologisnya saat itu kalau tidak membunuh ya akan dibunuh. Sehingga memang ada unsur konflik horizontalnya, walaupun di beberapa wilayah, seperti di Jateng, banyak aparat yang bergerak,” kata Arif. Namun, yang lebih disoroti Arif ialah penyintasan dari agama Islam hingga dua juta orang banyaknya.
“Kerugian utama ketika wajah islam hanya satu, wajah politik. Wajah agama, wajah akademis, semua tak nampak.Hanya wajah politik. Ketika islam hanya punya wajah politik, kemudian terjadi konflik horizontal yang cukup berat dengan PKI,” kata Arif Wibowo.
Akibatnya, kata Arif pada tahun 65-71, terjadi konversi agama besar-besaran dari muslim abangan ke Kristen. “Nah Kristen di Indonesia itu mendapatkan basis komunitasnya ya pasca 65. Sebelum itu, mereka tak punya komunitas kecuali desa-desa kristen yang dibuat Belanda. Itu kerugian utama kita,” kata Arif Wibowo.
Menurut Arif, peneliti ihwal ini, Avey T Willis, dalam Indonesian Revival : Why two million came to Christ, menunjukkan antara tahun 19760 – 1971, jumlah jemaat dari lima denominasi Protestan yang menjadi subyek kajian Willis tumbuh secara fenomenal dari 96.872 menjadi 311.778, sebuah peningkatan lebih dari 220 %. Pada tahun 1965-7, tingkat pertumbuhan tahunannya adalah 27,6 %, sementara pada tahun 1968-1971, 13,7 %.
Avery T Willis, seorang missionaris asal Amerika yang menjadi missionaris di Indonesia sejak tahun 1964 dan memimpin Seminari Teologi Baptis Indonesia menyebutkan ada 11 faktor yang menyebabkan perpindahan massal keagamaan ke agama Kristen/ Katolik ini.
“Tiga diantaranya berkait dengan posisi pengikut PKI yang secara psikologis mengalami ketertindasan akibat agitasi lawan-lawan politiknya, yang berhasil dimanfaatkan oleh para rohaniawan Kristen dan Katolik. Reaction Factor, reaksi berlebihan dari sebagian pemimpin kelompok Islam terhadap orang-orang Islam,” kata Arif.
Statistik yang menjadi anggota dan simpatisan PKI telah mendorong orang-orang itu menoleh ke tempat lain untuk memperoleh bantuan spiritual dan perlindungan politik.
“Protection Factor, perlindungan gereja terhadap orang-orang yang dituduh PKI dan orang yang belum beragama secara sungguh-sungguh, dari pembunuhan dan kehilangan status sosialnya telah memberi rasa simpati banyak orang untuk memeluk Kristen. Service, perhatian dan pelayanan dari lembaga gereja, termasuk di dalamnya pendidikan, bantuan medis dan kebutuhan fisik lainnya, telah mendorong orang-orang untuk tertarik dan masuk ke agama Kristen,” kata Arif.
Dakwah dan Renungan Bersama
Pada saat kaum Kristen menjaring umat Islam yang sebagian tak mengerti apa-apa kemudian dituduh PKI, agar masuk ke Kristen, di sisi lain, menurut Arif untungnya ada pula kalangan umat Islam yang juga mendakwahi orang-orang PKI dan yang dituduh PKI agar kembali ke Islam.
“Sebetulnya kita harus merenungi ini, bahwa PKI abangan ini harus kita rangkul. Tapi PKI ideologis ini yang harus kita waspadai.Cuma sekarang ini, umat Islam saat ini banyak yang menggeneralisir, gampang mengecam semua disebut bahaya PKI.Padahal harus ada yang didakwahi dan dirangkul, bukan dijauhi” kata Arif.
Ia mencontohkan anak-anak pemikir PKI sekarang banyak yang menjadi aktivis Masjid hingga aktif di organisasi keislaman.“Apa kita mau terus menerus memanggil mereka PKI. Maka yang diuntungkan adalah pihak Kristen,” kata Arif.
Karenanya, ia menilai pendekatan dakwah bisa dilakukan dan terbukti sukses di banya tempat yang dulunya merupakan basis PKI. “Makanya pendekatan kita harus dakwah. Bukan pendekatan politik konservatif,” kata Arif. Salah satu contoh pendekatan dakwah yang berhasil, menurut Arif ialah di kawasan Jogokariyan Yogyakarta yang dulu merupakan basis komunis.
“Malahan bukan sekadar komunis, tapi juga kampungnya Lekra. Budayawan Lekra itu ngumpulnya di Jogokariyan.Sekarang jadi masjid paling aktif di Jogja. Jadi yang paling santri,” kata pengajar di Ma’had Hujjatul Islam Al Ghazali ini.
Dulunya Kampung Komunis
Masjid biru itu berdiri kokoh di kampung Jogokariyan.Silakan rasakan ‘senshasi’ shalat subuhnya yang penuh meluber hingga ke luar-luar.Masjid Jogokariyan yang mampu menampung sekira seribu jamaah ini dulunya hanyalah sepetak langgar berukuran 9×15 meter berlantai satu.Bukan hanya itu, masjid yang berdiri di tanah wakaf ini dibangun di kampung yang dulunya dikuasai orang-orang Merah, atau yang dikenal Komunis-PKI.
Demikian yang dikisahkan biro Rumah Tangga Masjid Jogokariyan Sudi Wahyono, “Dulu, latar belakang di sini basisnya PKI, masyarakat banyak yang tergabung dalam Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra) PKI,” ucap Sudi mengawali ceritanya.
“Kemudian ada juragan yang juga tokoh-tokoh Muhammadiyah cabang Karangkajen (dari kampung sebelah) yang melihat di sini banyak pekerja pengusaha batik. Niat awalnya, agar para pekerja itu bisa shalat berjamaah di masjid,” lanjut Sudi.
Sudi memaparkan beberapa ulama yang terlibat menggagas Masjid Jogokariyan.Di antaranya ada H Zarkoni, Amin Sa’id, Dul Manan, yang mudanya Muhammad Chamid.
Sudi melanjutkan ceritanya, pendirian masjid memang termasuk mudah, tapi saat perkembangan dakwahnya yang ada perlawanan.Seringkali mereka menyalakan petasan, pokoknya mengganggu ketika kita ada kegiatan.Tak jarang gangguannya sampai ke tingkat adu fisik.
Bahkan, imbuh Sudi, Kesenian Lekra begitu gencar mengampanyekan ideologi komunisnya.Sampai-sampai menggelar Pagelaran Ketoprak bertema Matine Gusti Allah (Matinya Allah Swt).
Kisah ini dibenarkan tokoh masyarakat yang juga saksi sejarah perjuangan Islam di era 1966, H. Muhammad Chamid. “Masjid ini resmi dibangun tahun 1967 di atas tanah wakaf Bapak Jazuri. Situasi Jogokariyan saat itu, termasuk kampung merah, dulu banyak PKI,” tegas bapak berusia 71 ini membenarkan kisah yang dipaparkan Sudi Wahyono.
“Kita masih minoritas. Islamnya juga banyak yang Islam abangan, tidak shalat, orang-orang mabuk sambil berjudi pemandangan biasa saat itu,” lanjutnya, melengkapi.
Namun karena basis ‘orang-orang Merah’, perkembangan dakwah di kawasan Jogokariyan ini tak semudah membalikan telapak tangan.
“Mereka sering mengganggu aktivitas ibadah kita. Misalnya, ketika shalat dibunyikan mercon.Kita memang banyak dimusuhi. Akan tetapi, tak menyurutkan semangat teman-teman (angkatanya) untuk berdakwah,” ungkap H. Chamid mengenang.
Chamid bercerita, pemuda-pemuda muslim saat itu masih sedikit, sekira lima orang. Mereka dengan getol berdakwah khususnya mengajak anak-anak untuk rajin datang ke masjid.Lewat anak-anak yang dibina inilah, satu persatu orang tuanya tersadarkan dan mau datang ke masjid.Bahkan, imbuhnya, sekarang banyak mantan PKI yang menjadi muadzin, shalat berjamaahnya tidak ketinggalan.
Rekonsiliasi Hakiki
M Jazir ASP, tokoh Jogokariyan yang pernah lama menjadi ketua takmir masjid mengatakan bahwa masyarakat kini mengenal Jogokariyan sebagai kampung islami dan identitas ini yang ingin ia sebarkan ke publik.
“Sekarang ini orang kenal Jogokariyan sebagai masjid yang makmur. Tidak ada yang tahu ini basis PKI. Itu banyak yang kita lakukan, mengubah image kampung komunis menjadi kampung islami. Sudah berhasil, bagaimana kami membuat identitas baru bagi jogokariyan,” katanya.
Menurutnya, ada beberapa faktor keberhasilan mengapa orang-orang komunis akhirnya kembali kepada Islam.Pertama, menurut Jazir ialah memuliakan mereka dan tidak dianggap sebagai musuh lagi.
“Mereka diundang, anak-anaknya kita sekolahkan gratis. Kami anggap keluarga besar, kami tidak menyalahkan keluarga mereka. Mungkin saja ada pihak yang marah, dulu itu menghinanya disebut ‘PKI kamu!’, Kami tidak mau begitu,” kata Jazir.
Kedua, menurut Jazir ialah berproses dan keikhlasan dalam berdakwah, menerima mereka dalam kondisi apapun. “Kita tidak melakukan permusuhan. Sebagaimana Rasulullah saat Fathul Makkah menyatakan di Masjidil Haram bahwa kaum kafir Quraisy merdeka,” kata Jazir.
“Kami pun ingin begitu. Di luar dicaci maki, disini tidak.Semua bersama, sekolah bersama. Sehingga identitas itu lambat laun hilang tak terasa karena kami menyamaratakannya dengan yang lain. Mereka gak minder di masjid. Ikatan masjid menyatukan kita semua,” lirihnya.
Jazir mengisahkan, ada orang PKI yang baru saja pulang dari Pulau Buru.“Orang ini kaget karena anak-anak mereka menjadi ustadz, dan menjadi khatib. Ia menangis sejadi-jadinya melihat anaknya, dan mereka kini menjadi aktivis masjid. Kami menghapus kesan PKI pada mereka dan membuat mereka menjadi lekat dengan masjid,”kata Jazir.
Menurut Jazir, Islam dan masjid mendamaikan pihak-pihak yang di masa lalu bermusuhan, dan inilah rekonsiliasi yang begitu jelas. Menurutnya, wacana agar negara meminta maaf kembali menyeruak apalagi setelah terjadi Simposium 1965 beberapa bulan lalu adalah wacana yang dipaksakan.
“Rekonsiliasi seharusnya tidak perlu dipaksakan. Contohnya di kampung ini, warga Jogokariyan yang dulu komunis juga sudah jadi ahli masjid. Jadi, kalau ada formalitas, harus ada rekonsiliasi, itu hanya akan mengulangi peristiwa masa lalu seperti PKI mengeluarkan buku putih menyatakan mereka tidak bersalah dan sebagainya,” kata Jazir.
Menurut Jazir, ini adalah masa silam yang kelam dan sudah selesai, tak perlu diungkit-ungkit lagi dengan wacana negara minta maaf dan rekonsiliasi. “Sangat bodoh kalau kita sampai berpikir ini belum selesai. Ini sudah selesai. Sekarang ini persoalannya apa lagi? Ini persoalan politik, orang-orang yang punya ambisi politik dengan ideologi komunis ingin eksis lagi,” kata Jazir.
Padahal, menurut Jazir banyak anak-anak eks PKI yang sudah hidup biasa, banyak menjadi PNS, aktif di partai politik dan hidup dengan baik.Hal senada disampaikan eks tapol Pulau Buru, Haji Bajuri.“Saya masa bodoh dengan rekonsiliasi, bagi saya sudah selesai sejak lama, sudah hidup bermasyarakat,” kata Bajuri (79).
Kiai Lukman Haris Dimyati, keponakan Pimpinan Pondok Termas KH Hamid Dimyati yang pada tahun 1948 dibunuh PKI menegaskan bawah masa kelam sudah selesai. “Sekarang kita sebagai anak bangsa harus membangung bangsa ke depan. Walau PKI tidak pernah meminta maaf ke keluarga besar kami, tapi jangan sampai dipantik-pantik lagi dengan wacana minta maaf,” kata Gus Lukman.
Masdukin, yang ayahnya dibunuh PKI mempertanyakan mengapa negara harus minta maaf kepada korban tahun 1965 padahal PKI sendiri tak pernah meminta maaf kepada dirinya dan keluarganya. Hal senada disampaikan Ketua HMI Solo pada tahun 1966, Miftah Faridl, yang sempat terkena bacokan belati yang menancap dipunggungnya.
“Generasi itu sudah selesai, kini tinggal generasi sekarang. Apa anak komunis pasti komunis?Belum tentu juga. Artinya yang sudah lalu kita jadikan pelajaran, sekarang kita menatap ke depan seperti apa, membangun bangsa bersama, biarlah itu sejarah masa kelam yang tidak perlu terulang,” katanya.
Tokoh Lekra, Djoko Pekik (79) mengatakan bahwa permintaan agar negara minta maaf adalah salah alamat. “Lha wong Jokowi saja dulu masih kecil, kok diminta untuk minta maaf? “ katanya.
Ia yang mengaku bagian dari PKI ini menegaskan,“Sing wes yowes (yang sudah ya sudah),” pungkasnya.
Bersambung ke bagian 3 – Rekonsiliasi dan Renungan: Dari Buru ke Tanah Suci
Oleh: Rizki Lesus -Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa
Tulisan ini kerjasama Jejak Islam untuk Bangsa dengan Jurnalis Islam Bersatu
[…] Bersambung ke bagian 2 – Rekonsiliasi dan Renungan : Dari Buru ke Tanah Suci […]