Pesantren menyiapkan jalan kehidupan spiritual bagi para santri muda. Dalam menjalani proses ini, seorang santri tidak dipaksa mendekam dalam penjara imajinasi; tapi sebaliknya kepekaan sosialnya dipupuk dan intelektualitasnya terbentuk. Dari bilik-bilik pesantren, seorang santri menata pandangan terhadap dunia yang terdapat di luar tembok pesantren. Ia bukan berjarak dalam bayangan dunia itu, tapi melalui latihan untuk merasakan permasalahan intelektual, sosial, dan politik. Melalui bimbingan dan kepemimpinan ulama, kyai, dan para guru, para santri menerima pengenalan-pengenalan pengetahuan keagamaaan dan mengafirmasinya melalui pengakuan-pengakuan dalam kehidupannya. Dengan cara inilah, seorang santri menghidupkan peran mereka di masyarakat kelak.
Ibroh Pertama: Prinsip[1] dan Tradisi
Benedict Anderson bahkan mendasarkan bahwa sumber-sumber spiritual dan sosial revolusi pemudanya terletak pada sebuah jantung tradisi yang telah di pupuk dalam masyarakat Jawa: pesantren. Dalam Revoloesi Pemoeda ia menunjukkan bahwa menjadi cantrik (santri) artinya seseorang telah melewati masa kanak-kanaknya, dan memasuki ambang pintu kedewasaan melalui masa muda. Masa ini dimaknai sebagai masa retreat, mengundurkan diri, memusatkan pikiran dan bersiap. Tradisi, berdasar prinsip-prinsip tertentu (dalam hal ini Islam), mengharuskan si pemuda berguru pada seorang guru (menjadi santri) (Benedict Anderson, 2018: 8). Berguru dan ‘Menjadi Santri’ ini telah menjadi tradisi tersendiri dalam masyarakat Nusantara. Hal ini tertampak dalam istilah-istilah seperti ‘jejer pandito’, ‘nderek kyai’, ‘gurutta matto’, ‘tudang guru’; kemudian juga ‘dados santri’, ‘Urang Siak’, atau ‘Oreuang Meudagang’ (Lihat Ahmad Baso, 2015: 49 dan 85).
Seorang cantrik tinggal bersama gurunya, yang memberinya sandang pangan sambil membimbingnya untuk mengetahui rahasia-rahasia ilmu si guru. Cantrik atau si pemuda, sebaliknya, mematuhi gurunya tanpa syarat dan melayaninya dengan mengolah ladang-ladangnya atau menggarap pekerjaan lain yang ditugaskan kepadanya. Dalam masyarakat Nusantara, tradisi semacam ini telah dipelihara sejak lama, suatu tradisi yang melembaga dalam wujud pesantren, yang mempersiapkan para pemuda untuk kemunculannya di masyarakat (Benedict Anderson, 2018: 8-9). Oleh karenanya, nilai dan ciri khas pesantren tidak dapat hanya dipandang sebagai tradisi stagnan yang beku.
Mewujudnya pesantren harus dipandang sebagai pergumulan dan dialog dengan zaman dan budaya. Meskipun melihat unsur pemusatan kekuatan dalam pesantren dan energi spiritual tersendiri, namun Anderson menggunakannya dalam kerangka masa-masa krisis. Fragmen ini kurang luas dalam menilai pesantren sebagai ‘tradisi besar’ (Djoko Suryo, 2000) yang bukan hanya berperan dalam masa krisis, tapi pada sejumlah era seperti pembangunan masyarakat, peralihan budaya, dan juga perumusan gagasan di masa kolonial.
Sumber-sumber spiritual dan sosial pesntren telah dipupuk melalui tradisi berkhidmat. Ia tidak hanya berlaku di masa modern, tapi sebaliknya; proses ini dibentuk sekian lama melalui dialog, pelembagaan, dan konflik sosial. Ranah-ranah pesantren yang timbul karena—dan menjadi anak panah—Islamisasi memulai peran mereka secara alamiah dalam masyarakat. Dalam Sejarah Umat Islam, Hamka menunjukkan penggambaran penting relasi penubuhan pesantren di awal sejarahnya dengan terbentuknya kerajaan-kerajaan Islam sebagai fungsi keulamaan pesisir.
Sebagai raja pertama Demak, Raden Fatah dididik dalam dinamika pesantren yang terbentuk di akhir masa pemerintahan Majapahit di akhir abad ke-15. Dalam suatu kisah, diceritakan Raden Patah merupakan seorang putera dari Raja Majapahit yang terakhir, Brawijaya. Tetapi ibunya bukan seorang bangsawan. Ayahnya amat menyayanginya dan mengkhawatirkan kecemburuan akan terjadi di istana. Oleh karenanya, Pangeran Jinbun, Raden Patah kecil, dititipkan kepada seorang pangeran Palembang yang juga merupakan putera Brawijaya sendiri (Hamka, 2005: 754).
Istilah pesantren yang kita gunakan di sini bukan sekedar mencocokkan kepentingan tema dalam tulisan ini. Istilah pesantren dalam konteks zaman Raden Fatah telah digunakan oleh sejarawan Ahmad Adabi Darban untuk merujuk Giri sebagai sebuah inclave yang diperintah menurut kepemimpinan ulama, yakni Sunan Giri sendiri. Pada saat itu, pangeran Palembang, Arya Damar, disebut Hamka telah masuk Islam yang didakwahkan oleh Raden Rahmat, seorang ulama yang yang menempati sebuah Lemah Pepenah di wilayah Majapahit. Kepemimpinan Ampel sebagai pusat agama Islam pertama di Jawa selanjutnya digantikan oleh Giri, yang kemudian juga memberikan jalan terbentuknya otoritas politik di pesisir yang menjawab kemerosotan politik pedalaman (Ahmad Adaby Darban, 1988).
Sebelum Giri, tradisi sejarah masyarakat Indonesia telah melukiskan bagaimana mula-mula pesantren terbentuk dalam konteks kemasyarakatannya, lalu merupa pusat-pusat da’wah dan pendidikan, dan pada masa kemudian menjadi kesultanan-kesultanan. Perkembangan ini yang disorot dalam sebuah naskah yang diteliti oleh Ahmad Baso (2019: 1), yakni Babad Cerbon. Tiga naskah yang diteliti oleh intelektual NU tersebut menjelaskan kisah Raden Patah yang diberi petunjuk oleh Sunan Ampel untuk berjalan ke barat untuk menemukan pohon gelagah yang berbau harum. Setelah menuruti gurunya, dan kemudian menemukan tempat yang dimaksud, Raden Patah lalu membuka desa (babad alas). Tidak lama kemudian banyak orang datang, ikut membangun rumah di sekitarnya. Mereka lalu mendirikan masjid, untuk shalat Jum’at. Banyak orang datang dan berdiam di sana untuk berguru kepada Raden Patah (Ahmad Baso, 2019: 8-9).
Konteks pembukaan tanah untuk dijadikan sebagai pemukiman, sekaligus pusat da’wah dan pendidikan, lalu kemudian menjadi pusat politik dan peradaban ini, sejatinya tidak dapat dipisahkan dari gejala senjakala peradaban Hindu-Budha pada masa itu. Di zaman Hindu-Budha, para penguasa telah banyak memberikan tanah-tanah bebas pajak kepada para wiku, pandita, pratapa, atau guru-guru agama. Tanah-tanah inilah yang kelak menjadi desa pradikan di masa Islam. Di masa akhir Majapahit, tanah-tanah bebas pajak ini begitu berperan penting, dan perubahan yang terjadi sangatlah mendalam. Selain pengaruh Islam yang turut andil dalam kerajaan-kerajaan Hindu-Budha yang telah ada, peran para ulama dalam upaya Islamisasi dari bawah sangatlah menentukan. Tanah-tanah bebas pajak ini menjadi mandala, kabuyutan, dan kedewagurwan (Ahmad Baso, 2019: 15)—sebuah model masyarakat sekaligus pendidikan di masa Hindu-Budha, yang kelak disempurnakan oleh ulama.
Keistimewaan mandala, kabuyutan, dan kedewagurwan ini adalah independensinya dari politik kerajaan. Sehingga, tatkala kerajaan-kerajaan Hindu-Budha mengalami keruntuhan, dan sekaligus peradabannya di Nusantara, mandala-mandala ini dapat tetap bertahan sebagai sebuah komunitas. Seiring datangnya pengaruh Islam, pusat-pusat peradaban baru ini tetap dimanfaatkan dan disempurnakan menjadi pusat perkembangan peradaban baru di Nusantara. Bukan hanya berarti sebagai pusat keagamaan, lebih jauh ulama, yang tentu saja kita sebut Wali Songo, membangun basis-basis peradaban yang sangat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat. Pengetahuan peradaban sebelumnya dimanfaatkan dan selanjutnya tahapan ini ditransformasikan dalam momen perubahan-perubahan besar yang terarah setelah keruntuhan peradaban lama.
Kepemimpinan Giri yang memiliki otoritas kharismatik kepada daerah-daerah lainnya, terutama di pesisir, juga menjadi contoh dalam era perubahan ini. Menurut Adaby Darban, Giri memiliki hak untuk memutuskan dan mengikat masalah agama Islam, kenegaraan, dan segala urusan masyarakat. Bagi Demak, makna Giri segera terlihat ketika memutuskan Pangeran Jinbun dimahkotai untuk memimpin Demak sekembalinya dari didikan saudara tirinya di Palembang. Hadirnya kepemimpinan politik Islam di pesisir sekaligus memperteguh kedudukan Islam di Jawa. Sumber-sumber kekuatan poltik Demak berpusat pada kebijaksanaan para ulama pesisir. Raden Patah muda yang memimpin Demak memaknai pancaran spritual yang tak dapat dilepaskan dari kepemimpinan ulama dan pusat-pusat penyebaran Islamnya di Ampel dan Giri (Hamka, 2005: 755).
Sebagaimana yang dikatakan A.H. Johns dan Soebardi, yang dikutip Zamakhsyari Dhofier, bahwa lembaga-lembaga pesantren—yang dipimpin oleh kepemimpinan ulama, kyai, dan guru—itulah yang sejatinya menentukan watak ke-Islam-an kerajaan-kerajaan Islam dan yang memegang peranan paling penting bagi penyebaran Islam sampai ke pelosok pedesaan (Zamakhsyari Dhofier, 2011: 36). Kepemimpinan ulama, kaum santri, dan pesantrenlah yang berperan penting menggerakkan kehidupan masyarakat. Kepemimpinan politik hanyalah salah satu ekses penting dari hidupnya peran ulama, tanpa ulama, santri, dan pesantren, kehidupan dan kepemimpinan politik yang Islami sekalipun tidak akan dapat bertahan lama. Lestarinya dan kuatnya inti dasar dalam kehidupan kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara ditentukan oleh peran strategis pesantren.
Ibroh Kedua: Minangkabau, Suatu Lapangan Merumuskan Amal
Islamisasi juga Minangkabau dipengaruhi oleh proses kepemimpinan ulama dan peran pesantren semacam ini. Menurut Azyumardi Azra, agak sulit menentukan kapan tepatnya Islam pertama kali diterima oleh masyarakat Minangkabau. Meskipun konversi Minangkabau ke dalam Islam mula-mula dan secara masif nampaknya terjadi pada abad ke-16 melalui Pantai Barat maupun pesisir Timur Minangkabau, tokoh penting yang bertanggung jawab dalam peng-Islam-an Minangkabau adalah Syaikh Burhanuddin Ulakan pada abad ke-17.
Ulama ini juga telah memulai tradisi surau dan budaya ilmu dalam masyarakat Minangkabau yang mempercepat akselerasi ke-Islam-an di pedalaman. Ia berguru dengan seorang ulama besar Aceh, Syaikh Abdurrauf as-Singkili, seorang ulama yang menyambungkan ‘jaringan ulama’ Timur Tengah dan Nusantara. Murid-muridnya datang dari berbagai wilayah penting, yang pada gilirannya segera memainkan peranan penting dalam pembaruan sosial di Minangkabau. Salah seorang yang termahsyur di antaranya adalah Tuanku Nan Tuo (Azyumardi Azra, 2017: 18-19; Azyumardi Azra, 2013: 238-270).
Era kebangkitan Islam di Minangkabau berkorelasi dengan kebangkitan ekonomi, begitu sebaliknya. Era ini mencapai puncaknya pada akhir abad ke-18. Melalui tradisi ekonomi Minangkabau, yakni terangkainya strukur ekonomi pertanian dan perdagangan pesisir, terjadi perubahan dan penyimpangan sosial yang segera disambut dengan peran sosial surau. Limpahan kekayaan pada era kebangkitan ekonomi ini juga banyak menimbulkan penyakit-penyakit moral dalam masyarakat (Christine Dobbin, 2008: 198-199).
Seperti yang dikatakan Christine Dobbin, meskipun ada banyak sekali permintaan dari pelanggan asing, masyarakat menunjukkan ketidakmampuan untuk mengatur suatu jaringan dagang yang mantap. Ini ditambah dengan merajalelanya perampok-perampok, bahkan terdapat desa-desa perampok yang penduduknya berprofesi sebagai perampok secara turun temurun. Kasus-kasus perampokkan yang terjadi sering mengorbankan para pedagang, Mereka menculiknya kemudian menjualnya kepada para pedagang-pedagang di pantai timur. Selain kejahatan ini, masalah moral juga mengganggu kebutuhan perdagangan. Pasar-pasar besar seringkali terbuka untuk gelanggang adu jago dan perjudian. Orang-orang yang untung besar dalam permainan haram ini sering menghabiskan kekayaannya untuk berpesta tuak dan candu. Di pasar-pasar itu juga sering terjadi perkelahian antar pedagang yang sulit diselesaikan dan menyebabkan sengketa berkepanjangan (Dobbin, 2008: 199).
Dalam kondisi seperti ini, surau menonjolkan diri dalam masyarakat. Meskipun tarekat dan tasawuf memainkan peranan penting dalam Islamisasi Minangkabau, murid Syaikh Burhanuddin Ulakan, Tuanku Nan Tuo, memulai sebuah gerakan pembaruan (Dobbin 2008: 200-201). Gerakan pembaruan merupakan suatu tren yang berkembang di dunia Islam abad ke-17 dan 18 dengan apa yang disebut Azra sebagai ‘Neo-Sufisme’ (Azyumardi Azra, 2013: 125). Rangkaian pemaknaan kembali terhadap hukum Islam dengan tasawuf ini sejatinya telah dimulai pada abad ke-12 di tangan Imam al-Ghazali dari segi-segi yang tertuang dalam magnum opus-nya, Ihya’ ‘Ulumiddin (Ivan al-Hadar, 1988). Melalui kebangkitan ilmu-ilmu keagamaan, arus besar ‘kembali ke syariat’ ini sampai ke Minangkabau.
Dobbin menunjukkan peran penting syariat yang digerakkan oleh para Tuanku dan Urang Siak (santri) telah memberikan manfaat penting dalam menyokong kehidupan sosial-ekonomi Minangkabau di era kebagkitan ekonomi. Demikian halnya dengan Tuanku Nan Tuo yang memulai gerakannya, bukan saja dengan merekonstruksi pemahaman para santrinya terhadap arti penting syariat dalam kehidupan sosio-ekonomi. Lebih jauh, Tuanku Nan Tuo mulai mengorganisasi diri dan murid-muridnya untuk menyerukan gagasan kembali ke syariat di desa-desa Minangkabau. Ia mencoba membujuk desa-desa tersebut untuk menerima hukum Islam dalam berhubungan dagang antar saudagar (Dobbin, 2008: 200-201).
Ia berusaha mengajak penduduk-penduduk desa untuk menerima rukun Islam dan hidup sebagai orang Islam yang baik. Menariknya, ia juga mengutus murid-muridnya ke desa-desa perampok dan menyerukan hal yang sama diajarkan gurunya di surau dan desa-desa tersebut. Di sini kita mengetahui dan memahami bahwa salah satu fungsi surau yang mengajarkan silat telah sangat berguna dalam menjalankan misi ini. Murid-murid yang berbadan tegap, paham syariat, dan sadar terhadap gagasan yang dibawa gurunya itu (Dobbin, 2008: 200-201) menjalankan misi pembangunan jiwa dan sosial bagi masyarakatnya.
Gagasan dan seruan perjuangan sosial Tuanku Nan Tuo bersama murid-muridnya itu seringkali dapat diterima, namun kadang juga menimbulkan gejolak-gejolak. Khususnya di desa-desa para perampok yang diserbu oleh para murid surau itu adu fisik sering terjadi. Murid-murid ini sering menjalankan misi mencari orang-orang yang diculik dan akan dijual dalam perdagangan manusia di pantai timur. Menjelang pertengahan tahun 1790 gagasan dan usaha Tuanku Nan Tuo dan murid-muridnya menunjukkan asa dan keberhasilan. Era kebangkitan ekonomi masyarakat Minangkabau mencapai kemajuan besar. Karena jasa-jasanya itu, Tuanku Nan Tuo sering dijuluki sebagai ‘pelindung para pedagang’. Perjuangan ini kemudian semakin meluas, dilanjutkan oleh murid-muridnya; terutama Jalaluddin, seorang murid utama Tuanku Nan Tuo yang banyak meriwayatkan ‘cerita pembaruan’ ini dalam sebuah memoar (Dobbin, 2008: 200-201).
Masa-masa krisis yang dihadapi Tuanku dan Urang Siak merupakan gejolak temporer dalam tatanan masyarakat tradisi yang memiliki ketahanan yang baik. Krisis moral yang sebenarnya justru terjadi ketika campur tangan bangsa-bangsa Barat melalui agenda ekonomi-politiknya mencengkram tanah-tanah koloni. Dalam agenda ekonomi politik tersebut, yang terjadi bukan sekedar penguasaan, eksploitasi, dan pemiskinan kaum pribumi yang menerima akibat-akibat apa yang disebut sebagai ‘koeli-isasi’. Penjajahan membentuk ideologinya, persepsinya tentang budaya, tatanan masyarakat, serta akar peradaban Barat yang coba diasosiasikan di tanah jajahannya. Kolonialisme diperkukuh dalam proses-proses pem-Barat-an, demoralisasi, dan pembelengguan benak. Hanya sedikit yang kemudian tampil dengan menggunakan kepercayaan diri atas prinsip-prinsip Islam dan makna diri kesantriannya untuk menanggulangi kolonialisme yang mengubah benak dan budaya bumiputera.
Ibroh Ketiga: Kesadaran Islam dan Tantangan Kehidupan Modern
Satu di antara sedikit itu mengumumkan kesadarannya atas Islam dan mengidentifikasi sumber-sumber tradisinya dalam masyarakat Islam. Salah satunya ialah Mohammad Natsir muda. Natsir muda adalah sosok gagasan dan perawat kesadaran ber-Islam masyarakat. Mohammad Natsir menyerupa dalam ibroh ketiga kaum Santri kita di sini. Ibroh ketiga ini menjadi berbeda terkait dengan kehadiran Santri berhaluan modernis. Pengertian “pesantren”nya tentu berlainan dengan pesantren dalam artian lembaga yang berkembang di tengah-tengah kaum tradisi. Sebagaimana kita ketahui, pengalaman kaum modernis dalam membentuk metode-metode da’wah dan pendidikan baru di Hindia Belanda telah memunculkan ranah-ranah baru seperti organisasi, publikasi sumber-sumber pengajaran, pers, dan, yang terpenting, sekolah—sebagai wujud rumusan pendidikan Islam yang berhadapan lansgung dengan diskursus kolonial. Sekolah-sekolah—dengan konsekuensi sintesisnya dengan pendidikan berasarama—telah menandai munculnya perkembangan baru dalam pendidikan Islam (Jajat Burhanuddin, 2017: 389).
Meski secara zahir tampil dalam konteks kemodernan Islam di ranah kolonial, kesadaran Natsir sebagai cendikiawan Muslim di masa mudanya, sejatinya mengisyaratkan semangat yang sama dalam koridor-koridor perubahan zaman yang diperjuangkan kaum santri dan ulama di Indonesia. Dalam perjalanan pendidikannya di Bandung akhir 1929, ia bertemu dengan apa yang disebut Adian Husaini sebagai ‘guru terbaik pada zamannya’, yakni Ahmad Hassan. Melalui A. Hassan, Natsir mulai mempelajari ranah-ranah kritik gagasan, terutama sekularisme, kristenisasi, dan nativisasi yang menyebabkan krisis kepercayaan diri kaum bumiputera pada masanya. Di majalah Pembela Islam bersama A. Hassan, Natsir mulai mengkritik suara-suara miring dari kaum orientalis, nasionalis sekuler, dan orang-orang yang berusaha menciptakan gambaran buruk terhadap kelompok Islam.
Natsir awalnya datang ke Bandung untuk mengejar cita-citanya sebagai Mr.—meester in de rechten. Ia bersekolah di AMS kemudian berencana melanjutkannya ke Recht Hogesschool—sekolah hukum—untuk mengejar cita-cita itu. Tetapi di Bandung ia justru aktif dalam diskusi-diskusi organisasi-organisasi Islam, menjadi wakil ketua Jong Islamieten Bond Bandung, dan berguru pada tokoh-tokoh pergerakan. Aktifitas intelektual yang ia geluti tersebut akhirnya mengubah haluan rencananya dan meluruskannya untuk berjuang dalam menyemai kesadaran Islam. Natsir memang sosok pemuda yang cemerlang, sejak masa studinya itu ia telah merasakan kegelisahan-kegelisahan sosial yang terjadi di masyarakat kolonial (Ajip Rosidi, 1989: 71)
Kiprah Natsir mengait erat dalam soal-soal di lapangan sosial dan ekonomi. Meskipun masalah kebangsaan dan kerakyatan telah lama ada dalam pikiran Natsir, tidak serta merta ia memilih jalan nasionalisme atau komunisme. Justru sejak belajar di AMS, Natsir telah membicarakan masalah-masalah sosial-ekonomi rakyat dengan cara pandang dan solusinya yang khas. Pikiran-pikirannya yang khas ini juga merupakan kritik tak langsung terhadap ideologi marxisme dan kapitalisme yang telah gagal melihat hakikat kemanusiaan dalam menyelesaikan soal sosial-ekonomi.
Pada saat duduk di kelas lima AMS, Natsir pernah melakukan penelitian tentang akibat perkebunan tebu dan pabrik gula di Jawa terhadap kehidupan para petani. Penyelidikkannya tersebut sengaja dilakukannya untuk memenuhi tugas guru bumi ekonominya. Begitu serius Natsir mengerjakan tugas itu. Bukan saja buku-buku pelajaran yang ada di sekolahnya, melainkan tulisan dan pidato di Dewan Rakyat (volksraad) dipelajarinya dengan teliti. Berhari-hari pula Natsir menenggelamkan diri di perpustakaan Gedung Sate setiap sekolah usai. Hasil dari penelitiannya tersebut sangat memuaskan.
Hasil penelitiannya itu tentu tidak sepaham dengan apa yang sering dikatakan oleh guru ilmu bumi ekonominya yang merupakan orang Belanda. Berlainan dengan hasil penelitian Natsir, guru ilmu bumi ekonominya itu selalu membanggakan bahwa perkebunan dan pabrik gula di Jawa banyak menolong rakyat kecil. Berbeda pendapat dengan guru AMS-nya itu, hasil penelitian Natsir justru membuktikan bahwa perkebunan tebu dan pabrik gula sama sekali tidak membawa manfaat bagi kehidupan para petani kecil setempat. Bahkan para petani kecil yang tadinya miskin, setelah ada perkebunan tebu yang ditanam oleh pabrik gula itu, jatuh menjadi buruh tani melarat yang hidupnya terikat oleh pabrik gula.
Tanah mereka disewa dengan paksa untuk ditanami tebu dengan harga sewa yang diterapkan sendiri oleh penyewa, yang rendah sekali. Proses penyewaan itu dilakukan melalui para pejabat lokal, pangreh praja, yang merupakan perpanjangan tangan Belanda, sehingga membuat rakyat tidak bisa berbuat apa-apa. Menariknya, hasil penelitian Natsir dilengkapi dengan data-data dan angka-angka statistik disertai dengan sumber-sumber yang meyakinkan (Ajip Rosidi, 1989: 55-56).
Dalam keterangan Lukman Hakim, penulis Biografi Mohammad Natsir: Kepribadian, Pemikiran, dan Perjuangan (2019: 18), sejak Natsir menerima tugas tersebut, guru ilmu bumi ekonominya sudah terlihat tersenyum sinis. Dan ketika Natsir membacakan karya tulis hasil penelitiannya di depan kelas, gurunya menyimak dengan seksama kadang-kadang memperlihatkan rasa tidak suka: tidak menyangka ada murid kelas lima AMS mengemukakan analisa tajam mengenai sosio-ekonomi dalam Bahasa Belanda yang fasih.
Sejak muda, Natsir memang telah menyadari ketimpangan yang terjadi antara kalangan bumiputera dan pemerintah, serta perusahaan asing. Di zaman itu, Natsir menyadari, bisa jadi kaum intelektual yang telah lulus dari sekolahnya kemudian masuk bekerja kepada pemerintah kolonial atau perusahaan asing, telah turut memeras kekayaan tanah air dan bangsanya sendiri.
Kaum Tani yang disebut “Kaum Kromo” disadari Natsir merupakan 70 persen dari penduduk Indonesia yang hidup dalam kekurangan. Kaum ini sering tidak mampu mencukupi kehidupannya sendiri. Timbulnya perkebunan dan industri yang diinisiasi oleh bangsa asing memperburuk kehidupan “Kaum Kromo” ini. Industrialisasi tidak mengajak “Kaum Kromo” sebagai mitra menumbuhkan ekonomi bersama, tetapi justru menjadikan mereka sebagai kuli di tanah sendiri.
Kaum kapitalis ini mengharapkan lingkaran kemiskinan ini terus terjadi pada ‘kaum kromo’. Mereka mengharapkan stagnasi kenaikan status sosial ekonomi dengan menjaga harga upah dan tidak adanya pendidikan untuk menaikkan derajat rakyat. Sedangkan, kaum terpelajar Indonesia sendiri, menurut Natsir, lebih suka mengemmukkan dompet orang asing asal dirinya senang.
Kenyataan ini, menggerakkan pikiran Natsir. Menariknya Natsir tidak lalu berpaling pada ide-ide nasionalis, bahkan marxis sekalipun. Dalam M. Natsir: Sebuah Biografi, tulisan Ajip Rosidi, Natsir justru mengharapkan peran pemimpin yang ikhlas mendidik jiwa, perasaan kemanusiaan yang sepenuh-penuhnya dalam dada kaum yang melarat itu. Peran kepemimpinan ini menurut Natsir dapat dilakukan oleh para mubaligh Islam yang selalu bergaul dengan rakyat.
Bagi Natsir, kaum mubaligh Islam Islam harus insaf terhadap dirinya sendiri bahwa mereka lebih dipercaya rakyat daripada para pejabat pemerintahan. Lagi pula mereka, menurut Natsir, lebih mudah mendalami hati rakyat dan lebih mudah memasukkan kebenaran ke dalam hati rakyat.
Natsir berseru, tidaklah cukup seorang mubaligh menyebut-nyebut ayat yang menyatakan bahwa nasib suatu kaum tidak akan berubah kecuali dengan usahanya sendiri. Mubaligh harus memperlihatkan ajaran dan contoh, bahwa jerih payah kita sendiri, tenaga kita sendiri, usaha kita sendirilah yang akan memperbaiki keadaan kita (Ajip Rosidi, 1989: 143)
Si Kromo harus menolong diri dan memperbaiki nasibnya sendiri. Bagaimana ia bisa menyadarinya? Inilah peran para mubaligh untuk memberikan kesempatan kepada mereka seluas-luasnya untuk menyadari dirinya sebagai manusia. Selama ini “kaum kromo” menerima keadaan tidak adil antara dirinya dan tuan-tuan Belanda serta babah-babah Cina merupakan sebuah takdir. Ini bertentangan dengan prinsip kemanusiaan dalam Islam.
Pikiran kebangsaan Natsir memperoleh jembatannya di sini. Natsir bukanlah intelektual yang memilih jalan mobilisasi massa untuk membangunkan kesadaran manusia. Jalan kebangsaan Natsir adalah jalan pengadaban manusia yang sering kita kenal dengan nama pendidikan.
Natsir mengharapkan kebangunan harga diri rakyat sebagai jalan kemanusiaan yang mendatangkan keadilan. Oleh karenanya, menurut Natsir, tidak ada jalan lain yang paling baik untuk membangunkan kesadaran akan harga diri itu kecuali pengenalan lebih dalam akan agamanya sendiri: Islam.
Dalam al-Qur’an, Natsir menegaskan, dengan tegas menyatakan bahwa setiap manusia sama kedudukannya, tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah. Menurut Natsir, kaum Muslimin bangsanya itu tidak tahu, atau kurang mendalam pengetahuannya tentang agamanya sendiri. Natsir menyadari, bahwa kurikulum seperti yang dilaksanakan di sekolah-sekolah bentukkan Belanda tidaklah memberi peluang bagi pelajar Muslimin untuk memperdalam pengetahuannya soal agama.
Alih-alih memperdalam, pengajaran di sekolah Belanda justru mendangkalkan pengetahuan bumiputera tentang agamanya sendiri. Kondisi inilah yang ia dapati pada kawan-kawan terpelajar sebangsanya: antara jatuh pada keegoisan identitas karena terpengaruh pendidikan Barat atau sikap menyepelekan dan menghina Islam, meskipun disadarinya mereka masih beragama Islam.
Sedangkan, Natsir juga menyadari surau-surau, madrasah-madrasah, dan pesantren-pesantren yang mendalam dalam pelajaran agama tidak memberikan bekal pengetahuan modern yang memadahi untuk menghadapi tantangan yang dihadapi dalam kehidupan kolonial Barat.
Ini yang kemudian menarik dalam pikiran Natsir, seorang intelektual muda yang pikirannya melampaui zamannya. Natsir menyimpulkan bahwa, harus ada bentuk pendidikan yang mengajarkan ilmu-ilmu modern, tetapi juga mendidikkan agama Islam kepada para pelajarnya supaya ketika mereka terjun ke dalam masyarakat, telah menjadi Muslim yang tahu harga diri dan kukuh tegak dalam menghadapi kehidupan modern dan tidak hanya menjadi korban bangsa asing seperti Belanda penjajah, Cina mindring, atau Arab riba! (Ajip Rosidi, 1989: 159).
Maksud penyadaran tersebut mengarahkan pada usaha-usaha pendidikan yang mulai dirintisnya secara mandiri. Pemuda lulusan sekolah menengah ini sudah memiliki pikiran untuk mendirikan suatu onderwijs dan opvoeding yang memiliki visi progresif pada zamannya: berlandaskan prinsip-prinsip pendidikan dalam Islam dan tradisi dalam khazanah peradabannya, serta bagaimana menempatkannya berhadap-hadapan pada peradaban modern! Natsir menyadari sekolah-sekolah Belanda yang didirikan pemerintah takkan mampu diharapkan untuk membangun kesadaran Islam seperti yang ia harapkan. Alih-alih memperdalam pengetahuan dalam soal agama, justru sekolah-sekolah Belanda akan mendangkalkannya. Hal ini sebagaimana dilihatnya pada kaum intelektual nasionalis pada masa itu yang justru menuduh agama sebagai pemecah belah persatuan.
Berkonsultasi dengan Tuan Hassan, mempelajari buku-buku pendidikan, serta menyewa sebuah ruangan di Jalan Pangeran Sumedang kemudian dilakukannya. Di situ Natsir secara khsusus mulai terlibat serius dalam merintis cita-citanya membangun kesadaran beragama untuk membangkitkan marwah kaum kromo dan bumiputera. Murid-murid Natsir mula-mula sedikit, tapi kemudian bertambah banyak sehingga ruangan yang disewanya atas bantuan Haji Muhammad Yunus itu semakin terasa sempit. Gagasan dan gerakan pendidikannya itu perlahan meluas dan pada tahun 1932, melalui pertemuan dengan Kaum Muslimin disepakati didirikannya sebuah badan pendidikan dan pengajaran dengan nama Pendidikan Islam. Pendidikan Islam berkembang di bawah kepemimpinan Natsir dan didampingi seorang wanita anggota JIB yang kemudian dinikahinya, yakni Puti Nur Nahar (Ajip Rosidi, 1989: 177).
Khatimah
Keberadaan tokoh-tokoh intelektual di atas melalui ibroh-ibrohnya menyiratkan peranan penting yang dimainkan pada lapangan sosial, ekonomi, dan politik. Pada genealogis gagasan dan makna dirinya, kaum santri menonjolkan kemampuannya dalam membentuk, mengurai, dan mengamalkan gagasannya dalam masyarakat dan sejarah Indonesia. Makna pesantren sebagai pendidikan Islam terumuskan dalam fragmen-fragmen sejarah ini; ia bukan saja bisa mendidik orang-orang yang pandai menjadi imam sholat atau pemimpin tahlil di masyarakat. Perannya lebih kentara pada sosok-sosok manusia universal, segolongan kaum ide yang memiliki integritas; memiliki keteguhan dalam prinsip-prinsip Islam, tapi juga berusaha menyemai kesadaran Islam dan memahami tantangan realitas yang dihadapi pada zamannya.
Gerakan yang dibangun dari pesantren memiliki makna dinamis namun stabil (dalam ungkapan Wan Mohd Nor Wan Daud, “Pengantar” dalam Syed Muhammad Naquib al-Attas, 2010, xv). Integritas keilmuan mewujud pada sosok kepemimpinan dan keumatan yang faqih, tidak mengkhianati prinsip adab dan moralnya, sekaligus, sebagaimana telah disebut, sosok manusia gagasan. Untuk itu, seruan-seruan untuk menciptakan iklim pendidikan yang ideal dan baik melalui pesantren, bukan dibangun dalam cita-cita doktriner dan utopis—kalau ada pesantren, semua beres; tapi melalui banyak upaya dari manusia penggeraknya untuk senantiasa menjaga prinsip-prinsip dan ‘tradisi pesantren’ yang beradab, bergagasan, dan melahirkan alim-pejuang. Itu!
Oleh: Ahda Abid al-Ghiffari – Guru Sejarah di Ponpes at-Taqwa Depok
Kepustakaan
- Buku
Anderson, Benedict, Revoeloesi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946, terj. Jiman Rumbo, Tangerang: Marjin Kiri, 2018.
Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII: Akar Pembaruan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2013.
__________, Surau: Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi, Jakarta: Kencana, 2017.
Ajip Rosidi, M. Natsir: Sebuah Biografi, Bandung: Pustaka, 1989.
Baso, Ahmad, Pesantren Studies 2a, Buku II: Kosmopolitanisme Peradaban Kaum Santri di Masa Kolonial, Juz Pertama: Pesantren, Jaringan Pengetahuan dan Karakter Kosmopolitan-Kebangsaannya, Tangerang: Pustaka Afid, 2015.
Burhanuddin, Jajat, Islam dalam Arus Sejarah Indonesia, Jakarta: Kencana, 2017.
Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya mengenai Masa Depan Indonesia, Jakarta: LP3ES, 2011.
Dobbin, Chirstine, Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri: Minangkabau 1784-1847, terj. Lilian D. Tedjasudhana, Depok: Komunitas Bambu, 2008.
Hamka, Sejarah Umat Islam, Singapura: Pustaka Nasional, 2005.
Lukman Hakim, Biografi Mohammad Natsir: Kepribadian, Pemikiran, dan Perjuangan, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2019.
Suidat, Sejarah Nasional Indonesia: Untuk Pelajar, Depok: Attaqwa, 2019.
- Artikel
Ahmad Adaby Darban, “Kyai dan Politik Pada Zaman Kerajaan Islam di Jawa”, Pesantren, No. 2, vol. V, 1989, hlm. 32-38.
Al-Hadar, Ivan, “Politik Ulama dalam Perspektif Sejarah”, Pesantren, No. 2, vol. V, 1989, hlm.18-31.
Baso, Ahmad, “Sejarah Lahirnya Pesantren Berdasarkan Naskah Babad Cirebon Koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, dalam Jumantara, vol. 9, no. 1, tahun 2019.
Djoko Suryo, “Tradisi Santri dalam Historiografi Jawa: Pengaruh Islam di Jawa”, makalah Seminar Pengaruh Islam terhadap Budaya Jawa, 31 November 2000.
Wan Daud, Wan Mohd Nor, “Islam dan Sekularisme: Suatu Karya Agung Kulli”, dalam Al-Attas, Syed Muhammad Naquib, Islam dan Sekularisme, terj. Khalif Muammar, Bandung: PIMPIN dan CASIS-UTM, 2010.
[1] Keutamaan Prinsip ini disinggung oleh Suidat (2019: 25) dalam bukunya, Sejarah Nasional Indonesia: Untuk Pelajar.