Pergulatan wacana mengenai agama dan negara sudah terjadi sejak zaman kolonialisme Belanda. Setidaknya ada dua kubu yakni mereka yang menolak keterlibatan dan keterhubungan antara agama dengan negara, juga mereka yang melihat agama dan negara memilki hubungan yang tak dapat dipisahkan. Menurut Ahmad Syafii Maarif, gagasan mengenai negara/pemerintahan Islam telah mencuat sejak tahun 1920-an dari para pemimpin Sarekat Islam seperti Suryopranoto dan Sukiman. Suryopranoto menggunakan istilan een Islamietische Regerring (suatu pemerintahan Islam), sedangkan Sukiman memakai istilah een eigen Islamietisch bestuur onder een eigen vlag (suatu kekuasaan Islam di bawah benderanya sendiri). Memang pada masa itu belum ditemukan konsep yang secara terperinci mengenai bagaimana bentuk negara Islam yang dimaksudkan.[1]
Konsep dan gambaran mengenai negara Islam mulai diperjelas oleh para tokoh dari kalangan muslim modernis. Mohammad Natsir adalah salah satu yang berpendapat mengenai integrasi agama dan negara. Bersama partai Masyumi yang dipimpin olehnya, Natsir membuktikan, meskipun belum berhasil terwujud sepenuhnya di Indonesia, bahwa cita-cita negara yang berlandaskan Islam itu bukanlah semata gagasan dan hal yang utopis.
Pemikiran dan gagasan Natsir mengenai hubungan agama dan negara sudah ia tuangkan sejak sebelum Indonesia merdeka. Ketika masih aktif di Jong Islamieten Bond, dan mendirikan sekolah Pendidikan Islam di Bandung, ia banyak menuangkan gagasannya ke berbagai media. Khususnya yang cukup dikenal luas ialah polemiknya dengan Soekarno tahun 1930-an di mana keduanya saling berbalas tulisan mengenai hubungan agama dan negara di berbagai surat kabar.
Ada beberapa tulisan karya Natsir yang menguraikan gagasannya mengenai konsep hubungan antara agama, dalam hal ini yakni agama Islam, dengan negara, di antaranya yakni: “Persatuan Agama dengan Negara” yang mana karyanya ini telah terlampir dalam kumpulan tulisan Natsir dalam buku Capita Selecta,[2] awalnya tulisan Natsir ini merupakan jawaban atas tulisan Soekarno yang mendukung sekularisasi negara Republik Turki oleh Kemal Attaturk. Yang kedua yakni Islam sebagai Dasar Negara,[3] yang merupakan naskah pidatonya dalam sidang Konstituante. Tulisan ini akan menguraikan pemikiran Natsir mengenai hubungan agama dan negara berdasarkan kedua karyanya tersebut. Selain itu, juga akan dibahas mengenai praktik penerapan gagasan Natsir tersebut di partai Masyumi selama masa Orde Lama.
Perjalanan Hidup Natsir
Mohammad Natsir lahir pada 17 Juli 1908 di Alahan Panjang, Kabupaten Solok, Sumatera Barat, dari pasangan Idris Sutan Saripado dan Khadijah.[4] Pendidikannya ia awali dari Sekolah II, sekolah rakyat dengan pengantar bahasa Melayu, sebelum akhirnya ia ikut kakaknya ke Padang dan masuk sekolah Hollandsche Inlandsche School (HIS) Adabiyah, sekolah swasta yang setara HIS milik Belanda dan waktu belajarnya sore hari. Hanya beberapa bulan kemudian ia berpindah lagi ke HIS Solok, namun kemudian pindah lagi hingga lulus di HIS Padang. Selain itu Natsir juga belajar di Madrasah Diniyyah pada siang hingga sore harinya, di sini ia belajar bahasa Arab hingga mengaji kitab di malam harinya.[5]
Lulus dari HIS Padang pada 1923, Natsir melanjutkan sekolahnya ke Meer Uitgebreide Lagere Onderwijs (MULO) Padang dengan beasiswa 20,00 Gulden perbulannya. Lulus dari sekolah tersebut, ia melanjutkan kali ini ke Algemene Middelbare Schoolen (AMS) di Bandung, satu-satunya sekolah menengah pada waktu itu yang memberi pelajaran bahasa Latin dan kebudayaan Yunani, dengan beasiswa 30,00 Gulden perbulannya, sebuah jumlah yang cukup besar ketika itu dan memulai masuk pada 1927.[6]
Ketika pindah di Bandung inilah Natsir mulai banyak berkenalan dengan dunia pergerakan nasional dan bertemu dengan tokoh-tokoh dari kalangan Islam yang banyak menginspirasi dirinya. Setidaknya ada tiga tokoh yang diakui oleh Natsir sebagai orang-orang yang mempengaruhi pertumbuhan pemikiran dirinya. Dalam bidang keagamaan ia terpengaruh dengan pemikiran A. Hassan, tokoh Persatuan Islam (Persis) dari Bandung. Natsir ketika di Bandung pun bergabung dengan Persis dan banyak belajar langsung dari A. Hassan. Menurut Natsir, gurunya tersebut tidak pernah memaksakan satu pola tertentu, justru ia lebih sering mendiskusikan suatu permasalahan bersama dan mendorongnya untuk berfikir. Dalam bidang politik Natsir mengaku banyak dipengaruhi oleh pemikiran Haji Agus Salim, tokoh Sarekat Islam yang juga pembina dari Jong Islamieten Bond (JIB), organisasi kepemudaan yang diikuti Natsir. Tokoh lain di JIB yang juga belajar dari Haji Agus Salim ialah Mohammad Roem, Yusuf Wibisono, Kasman Singodimedjo, dan Prawoto Mangkusasmito. Kemudian sosok ketiga yang berpengaruh bagi Natsir ialah Syaikh Ahmad Syurkati, tokoh Al Irsyad.[7]
Setelah kemerdekaan Indonesia diplokramirkan, Natsir sempat menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Kemudian, ketika Kongres Umat Islam di Yogyakarta pada awal November 1945 menyepakati membentuk sebuah partai sebagai wadah aspirasi umat, Natsir juga turut bergabung namun hanya sebagai anggota. Ketika itu jabatan Majelis Syura (Dewan Partai) masih dipegang oleh KH. Hasyim Asy’ari sebagai ketua umum, sedangkan di jajaran pengurus besar, ketua umum dipegang oleh Sukiman.[8] Di masa revolusi kemerdekaan Indonesia ini, setidaknya dua kali Natsir ditunjuk sebagai Menteri Penerangan. Yang pertama ialah Menteri Penerangan dalam Kabinet Syahrir, dan yang kedua ialah saat masa Kabinet Hatta. Di masa ini pula hubungan Natsir dan Soekarno yang saat itu menjabat sebagai Presiden RI sangat dekat. Mengenai kedekatan ini Mohammad Hatta menyebut Natsir sebagai “anak kesayangan Bung Karno”, bahkan menurut Hatta, Soekarno tidak akan mau pidato atau menandatangani naskah apabila bukan Natsir yang menuliskannya.[9]
Natsir menjabat di posisi ketua umum Partai Masyumi baru pada tahun 1949 dalam Muktamar di Yogyakarta. Penunjukkan Natsir sebagai ketua pengganti Sukiman ini juga didukung oleh KH. Wahid Hasyim sehingga semakin populer lah nama Natsir untuk menggantikan Sukiman. Dalam keputusan muktamar itu pula diputuskan bahwa kantor pusat pusat Masyumi dipindahkan ke Ibu Kota, Jakarta.[10]
Natsir juga memiliki peranan cukup penting dalam proses transisi dari Republik Indonesia Serikat (RIS) menuju Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan sebuah mosi yang dikenal sebagai Mosi Integral Natsir. RIS merupakan hasil kompromi antara Republik Indonesia dengan Belanda dalam Konferensi Meja Bundar (KMB). Maka sejak 1949 Indonesia memakai sistem Serikat dengan beberapa negara bagian. Namun rakyat Indonesia di negara-negara federal tetap menghendaki bentuk negara kesatuan. Sejak awal tahun 1950 muncul gerakan-gerakan yang menuntut pembubaran negara bagian dan penggabungan dengan RI. Gerakan penuntutan pembubaran negara bagian ini terjadi di seluruh wilayah RIS. Hingga akhirnya kesepakatan antara pemerintah RIS dengan RI (sebagai negara bagian) untuk membentuk negara kesatuan tercapai pada tanggal 19 Mei 1950 dengan ditandatanganinya Piagam Persetujuan antara pemerintah RIS dan pemerintah RI.[11] Atas jasanya ini, oleh Soekarno, Natsir ditunjuk sebagai perdana Menteri NKRI pada 1950.[12]

Persatuan Agama dan Negara
Mohammad Natsir menyebutkan seorang muslim memiliki falsafah hidup dan ideologi tersendiri sebagaimana agama dan kelompok lain memilikinya masing-masing. Menurutnya, falsafah hidup seorang muslim dapat disimpulkan dalam sebuah ayat: “Tidaklah aku menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku” (QS. Adz-Dzariyat: 56). Jadi seorang muslim hidup di dunia ini ialah sebagai hamba Allah Swt. untuk mencapai kejayaan dan kebahagiaan dunia dan akhirat. Maka untuk mencapai tingkatan mulia ini, Tuhan, menurut Natsir, telah memberikan bermacam-macam aturan. Dalam hal ini Natsir menulis:
“Aturan atau cara kita harus berlaku berhubungan dengan Tuhan yang menjadikan kita, dan cara kita harus berlaku berhubung dengan sesama manusia. Di antara aturan-aturan yang yang berhubungan dengan muamalah sesama makhluk itu, ada diberikan garis-garis besarnya berupa kaedah yang berkenaan dengan hak dan kewajiban seseorang terhadap masyarakat, dan hak serta kewajiban masyarakat terhadap seseorang. Yang akhir ini tak lebih tak kurang ialah yang dinamakan orang sekarang dengan urusan kenegaraan itu.”[13]

Dari kutipan tersebut dapat kita lihat bahwa bagi Natsir, Islam sebagai falsafah hidup bukanlah sekadar agama yang mengatur ritual peribadatan kepada Tuhan saja (hablumminallah), melainkan juga mengatur hubungan antar manusia (hablumminannas) yang dalam hal ini yakni antar individu juga antara individu dengan masyarakat atau negara. Namun negara bukanlah menjadi tujuan yang utama, sebab itu hanyalah alat untuk menjamin terlaksanakan tujuan dari syariat Islam. Persatuan agama dan negara menurut Natsir juga bukan sekadar dimasuk-masukan hal-hal yang berbau Islam saja dalam konsep negara, sebagaimana Natsir menuliskan:
“Negara, bagi kita, bukan tujuan, tetapi alat. Urusan kenegaraan pada pokoknya dan pada dasarnya adalah satu bagian yang tak dapat dipisahkan, satu ‘intergreerend deel’ dari Islam. Yang menjadi tujuan ialah: Kesempurnaan berlakunya undang-undang Ilahi, baik yang berkenaan dengan perikehidupan manusia sendiri (sebagai individu), ataupun sebagai anggota dari masyarakat. Baik yang berkenaan dengan kehidupan dunia yang fana ini, ataupun yang berhubungan dengan kehidupan kelak di Alam Baka.”[14]
Adapun mengenai bentuk dan sistem negara, Natsir meyakini secara lebih fleksibel. Sebab negara sudah ada sejak lama bahkan sebelum Rasulullah Saw. sudah berdiri berbagai negara di dunia. Rasulullah Saw. hanyalah membawa beberapa patokan untuk mengatur negara agar negara itu menjadi kuat dan subur menjadi perantara untuk mencapai tujuan hidup manusia.
“Memang negara tidak perlu disuruh dirikan oleh Rasulullah lagi. Dengan, atau tidak dengan, Islam, negara memang bisa berdiri dan memang sudah berdiri jauh sebelum dan sesudah Islam, dimana saja ada segolongan manusia yang hidup bersama-sama dalam satu masyarakat. Dizaman onta dan pohon korma ada negara, dizaman kapal terbang ada negara. Negara dizaman onta, sebagaimana jang munasabah dengan masa itu dan negara dizaman kapal terbang sebagaimana yang munasabah dengan zaman kapal terbang pula.
Hanyalah yang dibawakan oleh Nabi Muhammad s.a.w. ialah beberapa patokan untuk mengatur negara, supaya negara itu menjadi kuat dan subur, dan boleh menjadi wasilah yang sebaik-baiknya untuk mencapai tujuan hidup manusia yang berhimpun dalam negara itu, untuk keselamatan diri dan masyarakat, untuk perseorangan dan kesentosaan umum.”[15]
Begitupun sebuah jabatan kepala pemerintahan dalam Islam bukanlah urusan yang utama, jadi baik itu khalifah, presiden, ataupu raja bukanlah sebuah hal yang pokok, asalkan kepala negara itu menjalankan tugas yang seharusnya dalam susunan kenegaraan. Sebagaimana dituliskan olehnya:
“Dalam pada itu, apakah yang menjadi kepala pemerintah itu memakai titel chalifah atau tidak, bukanlah urusan yang utama. Titel chalifah bukan menjadi syarat yang tidak boleh tidak dalam pemerintahan Islam, bukan menjadi satu conditio sine que non.”[16]
Selain itu, Natsir juga menerima dan mendukung konsep demokrasi, meskipun ia memiliki pemahaman yang berbeda dengan demokrasi Barat. Ia mengartikan demokrasi dalam Islam sebagai, “memberikan hak kepada rakyat, supaya mengkritik, menegur, membetulkan pemerintahan yang zalim. Kalau tidak cukup dengan kritik dan teguran, Islam memberi hak kepada rakyat untuk menghilangkan kezaliman itu dengan kekuatan jikalau perlu.”
Dalam hal ini ia juga mengutip hadits Nabi Saw. yang diriwayatkan oleh Imam Nasa’i yang berbunyi, “Seseorang bertanya kepada Rasulullah, ‘apakah yang sebaik-baik jihad?’ Dijawab oleh Rasulullah, ‘Mengatakan barang yang hak terhadap sultan yang zalim.”[17] Jadi demokrasi dalam Islam bagi Natsir ialah sebuah kebebasan berpendapat termasuk untuk mengkritik dan memperbaiki pemerintah apabila salah. Maka konsep negara bagi Natsir jelas menolak sebuah sistem yang absolut dan diktator.
Lebih lanjut, Natsir menerangkan sifat demokrasi dalam Islam sebagai berikut:
“Islam bersifat demokratis dengan arti bahwa Islam itu anti Istibdad, anti absolutisme anti sewenang-wenang. Akan tetapi ini, tidak berarti, bahwa dalam Pemerintahan Islam itu semua urusan diserahkan kepada keputusan musyawarah Majelis Syura. Dalam Parlemen Negara Islam, tidaklah akan dipermusyawarahkan terlebih dahulu, apakah yang harus menjadi dasar bagi pemerintahan, dan tidaklah mesti ditunggu keputusan Parlemen terlebih dahulu, apakah perlu diadakan pembasmian minum arak atau tidak. Tidak ditunggu persetujuan Parlemen untuk penghapusan judi dan kecabulan, dan tidak perlu dimusyawarahkan apakah perlu diadakan pemberantasan khurafat dan kemusyrikan atau tidak, dan sebagainya. Bukan! Ini semua bukan hak musyawarah Parlemen.”[18]
Dalam pandangan Natsir ini, meskipun dalam demokrasi setiap orang diberikan kebebasan untuk berpendapat dan memutuskan sebuah perkara dengan musyawarah, namun demokrasi dalam Islam tidaklah membuka peluang mendiskusikan kembali sesuatu perintah ataupu larangan yang sudah jelas di dalam ajaran Islam seperti membahas apakah minuman keras harus dilarang atau tidak, apakah pornografi harus dilarang atau dilegalkan, dan sebagainya. Sebab seorang muslim sebagai individu pun sudah diharuskan meninggalkan apa yang telah dilarang dalam Islam, maka sebagai seorang wakil rakyat atau pemimpin negara pun berstatus sama, bahkan memiliki tanggungjawab lebih untuk bisa menggunakan kekuasaannya menegakkan ajaran Islam itu. Adapun hal-hal yang boleh dibahas dan disikusikan di dalam parlemen ialah hal-hal yang belum ditetapkan dalam ajaran Islam.
Karena negara harus bisa mengakomodir keberlangsungan ajaran Islam, maka dasar yang digunakan negara pun sudah semestinya adalah yang sesuai dengan ajaran Islam. Hal inilah yang melandasi pandangan Natsir mengenai Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Pada 1952, dalam acara the Pakistan Institute of World Affairs Natsir berpidato yang pada intinya menyebutkan bahwa Indonesia dengan dasar Pancasila sudah merupakan negara Islam.
“Tidak diragukan lagi Pakistan adalah sebuah negeri Islam karena penduduknya dan karena pilihan, sebab ia menyatakan Islam sebagai agama negara. Begitu juga Indonesia adalah sebuah negeri Islam karena fakta bahwa Islam diakui sebagai agama rakyat Indonesia, sekalipun dalam konstitusi kami tidak dengan tegas dinyatakan sebagai agama negara. Namun, Indonesia tidak mengeluarkan agama dari sistem kenegaraan. Bahkan ia telah menaruhkan kepercayaan tauhid kepada Tuhan pada tempat teratas dari Pancasila, lima prinsip yang dipegang sebagai dasar etik, moral, dan spiritual negara dan bangsa.”[19]
Selain itu, dalam peringatan Nuzulul Qur’an tahun 1954, Natsir juga berpidato yang isinya kurang lebih hampir sama:
“Rumusan Pancasila merupakan hasil pertimbangan yang mendalam di kalangan pemimpin nasional selama puncak perjuangan kemerdekaan pada 1945. Saya percaya bahwa dalam momen yang menentukan semacam itu, para pemimpin nasional yang sebagian beragama Islam tidak akan menyetujui setiap rumusan yang dalam pandangan mereka bertentangan dengan prinsip dan doktrin Islam.”[20]
Penafsiran Pancasila secara Islam ini bukan hanya dilakukan oleh Natsir, melainkan juga tokoh-tokoh Islam lainnya baik dari Masyumi, NU, maupun PSII. Oleh sebab itu ketika Pancasila tafsirkan secara sekuler oleh kelompok nasionalis dan komunis di persidangan Dewan Konstituante, kelompok Islam berbalik menyerang Pancasila yang ditafsirkan dengan paham sekularisme ini dan mengunggulkan Islam sebagai dasar negara. Ketika itu memang ada kekhawatiran dari para tokoh Islam bahwa Pancasila akan menggantikan peran agama, sebab Pancasila ditafsirkan secara bebas dan sekular. Bahkan keyakinan ini semakin menguat ketika para tokoh-tokoh komunis, dalam Komisi I yang membahas dasar negara berusaha mengganti sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” menjadi sila “Kemerdekaan Beragama dan Berkeyakinan Hidup”.[21]
Dalam pidatonya di sidang Konstituante pun, Natsir mengkritik dan menyerang pihak komunis:
“Orang-orang komunis mengharap agar negara itu lenyap apabila tujuan terakhir mereka sudah tercapai. Orang-orang anarkis ingin menghapuskan negara selekas mungkin. Kita umat Islam berpendirian harus memelihara negara selama manusia ada di dunia.”[22]
Dilanjutkan oleh Natsir, bahwa dalam sejarah manusia, hanya ada dua alternatif untuk meletakkan dasar negara, yakni paham sekularisme (la diniyah) atau paham agama (diniyah). Sekularisme diartikan olehnya sebagai suatu cara hidup yang mengandung paham, tujuan, dan sikap hanya di dalam batas hidup keduniaan. Segala sesuatu dalam penghidupan kaum sekularis tidak ditujukan kepada apa yang melebihi dari keduniaan.[23] Selain itu, Natsir menyebutkan dua alasan keunggulan agama dibandingkan paham sekuler. Pertama, agama memberikan kepada pemeluknya lebih banyak kemungkinan mencari ilmu pengetahuan dan kebenaran. Jika falsafah sekuler mengakui hanya tiga dasar cara meraih kebenaran yakni empirisme, rasionalisme, dan intituionisme, dalam agama selain ketiganya juga mengakui wahyu sebagai sumber kebenaran, karenanya agama mencapai aspek yang lebih luas.[24] Kedua, paham agama meliputi seluruh bagian hidup manusia.[25]
Maka ketika disajikan sebuah dasar negara, yakni Pancasila yang sekuler itu, Natsir dan para tokoh Islam lainnya menolak.
“Maka negara yang didasarkaan kepada Pancasila yang jelas sudah demikian sifatnya itu, tidaklah dapat menjadi negara yang betul-betul mencukupi kebutuhan rakyat Indonesia, tidak akan menjadi suatu negara yang dapat menjalankan fungsi yang sebenarnya, tidak akan menjadi negara sebagai satu institution yang akar-akarnya nyata terhujam dalam sanubari bangsa Indonesia.”[26]
Perlu diingat di sini bahwa konsepsi negara menurut Natsir, meskipun menolak sekularisme, atau pemisahan agama dari negara, dan mendukung suatu bentuk yang integral antara agama dan negara, namun bukanlah sebuah bentuk teokrasi, yakni suatu bentuk pemerintahan yang dikuasai kependetaan yang mempunyai sistem hierarki dan menjalankannya sebagai wakil Tuhan di dunia. Menurutnya Islam tidak mengenal konsep teokrasi semacam itu. Karena itulah negara yang dimaksud Natsir merupakan negara demokrasi Islam yang disebut olehnya sebagai Teistik Demokrasi.
“Jadi, negara yang berdasarkan Islam bukanlah satu teokrasi. Ia negara demokrasi. Ia bukan pula negara sekuler seperti yang saya uraikan lebih dulu. Ia adalah negara demokrasi Islam. Dan kalaulah orang akan memberikan nama yang lebih umum, maka negara yang berdasarkan Islam itu dapat disebut Teistik Demokrasi.”[27]
Oleh: Syaidina Sapta Wilandra – Mahasiswa Sejarah Peradaban Islam UIN Syarif Hidayatullah, pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)
[1] Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara: Studi tentang Perdebatan dalam Konstituante (Bandung: Mizan, 2017), 172.
[2] Mohammad Natsir, Capita Selecta (Jakarta: Bulan Bintang, 1973).
[3] Mohammad Natsir, Islam Sebagai Dasar Negara (Bandung: Sega Arsy, 2014).
[4] Lukman Hakiem, Biografi Mohammad Natsir: Kepribadian, Pemikiran, dan Perjuangan (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2019), 6.
[5] Ibid., 9.
[6] Ibid., 15.
[7] Lihat A. W. Pratiknya, ed., Pesan Perjuangan Seorang Bapak (Jakarta: LAZNAS Dewan Dakwah dan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, 2019), 18–23. Hasil catatan wawancara oleh Amien Rais, A. W. Pratiknya, Kuntowijoyo, E. S. Anshari, dan Yahya. A. Muhaimin bersama Mohammad Natsir.
[8] Hakiem, Biografi Mohammad Natsir: Kepribadian, Pemikiran, dan Perjuangan, 133.
[9] Ibid., 142.
[10] Ibid., 210.
[11] Marwati Djoenoed Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, jilid. IV (Jakarta: Balai Pustaka, 2010), 304.
[12] Seorang wartawan koran Merdeka mewawancarai Soekarno mengenai siapa yang akan menjadi perdana menteri, kemudian Soekarno menjawab, “Siapa lagi kalau tidak dari Masyumi? Mereka mempunyai konsepsi untuk menyelamatkan Republik melalui konstitusi”. Lihat Hakiem, Biografi Mohammad Natsir: Kepribadian, Pemikiran, dan Perjuangan, 239.
[13] Natsir, Capita Selecta, 436.
[14] Ibid., 442.
[15] Ibid., 442–443.
[16] Ibid., 443.
[17] Ibid., 439.
[18] Ibid., 452.
[19] Maarif, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara: Studi tentang Perdebatan dalam Konstituante, 211.
[20] Yudi Latif, Negara Paripurna; Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2012), 87.
[21] Ibid., 93.
[22] Natsir, Islam Sebagai Dasar Negara, 47.
[23] Ibid., 58.
[24] Hal ini merupakan bahasan dalam epistemologi atau filsafat ilmu Islam. Bandingkan misalnya dengan Mulyadhi Kertanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam (Bandung: Mizan, 2003), 8–17. Mulyadhi menyebutkan, “Agama dapat memberi penjelasan yang terperinci tentan pelbagai hal yang tidak mungkin dapat dijangkau oleh sains dan tidak bisa diolah semata-mata oleh akal manusia.”
[25] Natsir, Islam Sebagai Dasar Negara, 79.
[26] Ibid., 83.
[27] Ibid., 91.