“Kalau engkau hendak mentjari pemimpin sedjati ichlas lahir-batin, perhatikanlah terlebih dahulu dapur rumahnja dan tjara hidupnja sebelum memperhatikan dia dari segi-segi lainnja. Djika engkau lihat dapurnya penuh santapan jang enak-enak dan tjara hidupnja mewah, hentikan penjelidikanmu karena sudah terang dia bukan pemimpin sedjati.”

Kepemimpinan dalam Islam memegang peranan penting, dari perkara bernegara hingga perkara rumah tangga, Islam menyebut soal kepemimpinan. Begitu besarnya pemimpin, sampai Allah memberikan aturan soal pemimpin. Dalam situasi saat ini, kata ‘pemimpin’ tiba-tiba menjadi pembicaraan yang hangat. Terutama persoalan memilih pemimpin yang bukan beragama Islam bagi umat Islam di Jakarta. Hal ini mungkin tidak terbayangkan sebelumnya. Tiba-tiba saja umat Islam harus menghadapi fakta pahit di depan mata, bahwa sebagian orang (termasuk muslim) tak lagi menganggap agama sebagai faktor yang penting.

Padahal pembicaraan mengenai agama pemimpin pernah menjadi perkara yang genting, saat dibicarakan puluhan tahun yang lalu, tatkala sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Saat sidang tanggal 13 Juli 1945, para peserta sidang, yang diwakili tokoh berbagai unsur dalam masyarakat – termasuk Islam-, berdebat tentang agama kepala Negara. KH Wahid Hasjim, tokoh dari Nadhlatul Ulama, mengusulkan agar Undang-Undang Dasar memuat ketentuan tentang agama kepala negara. Menurut KH Wahid Hasjim,

“Buat masyarakat Islam penting sekali perhubungan antara pemerintah dan masyarakat. Oleh karena itu, yang diusulkan pasal 4 ayat (2) ditambah dengan kata-kata :”yang beragama Islam.”  Jika Presiden Orang Islam, maka perintah-perintah berbau Islam , dan akan besar pengaruhnya.“ (lihat Safroedin Bahar dkk, 1995, Risalah Sidang BPUPKI-PPKI, Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia,)

Usul KH Wahid Hasjim akhirnya memang tak diterima. Kita mengetahui, selain KH Wahid Hasjim, tokoh Muhammadiyah, Ki Bagus Hadikusumo, berperan besar dalam memperjuangkan Islam dalam sidang tersebut. Bersama Kahar Muzakkir ia menjadi tokoh yang teguh, tegas dan sesekali keras agar Islam menjadi landasan negara. Ki Bagus Hadikusumo memang mekmperhatikan seksama kaitan Islam dengan negara, termasuk perkara pemimpin. Dalam Achlaq Pemimpin, Ki bagus Hadikusumo memberikan delapan (8) kriteria seorang pemimpin.

Pertama, seorang pemimpin haruslah memiliki sifat istiqomah. Istiqomah menurut beliau berarti lurus, teguh dan bersungguh-sungguh. Lurus maksudnya tidak miring dan tidak berbelok. Teguh berarti sikap tak berubah pendirian. Dan bersungguh-sungguh berarti yakin dan setia. Ki Bagus menegaskan,

„Dalam i’tiqod (kepertjajaan), pembitjaraan dan tindakan dengan pendirian jang teguh serta bersedia membela kebenaran itu dengan setia.“ Beliau kemudian mengutip surat Hud ayat 112 dan As-Syura ayat 15. (lihat, Ki Bagus Hadikusuma, Islam Sebagai Dasar Negara dan Achlaq Pemimpin, Pustaka Rahaju, Jogjakarta)

Sikap istiqomah ini hanya bisa didapat jika pemimpin tersebut tawakal pada Allah. Menurutnya,

“Orang jang tidak bertawakkal kepada Allah hati dan keteguhan, mendjadi penakut dan senantiasa merasa kuatir ragu. Kalaupun ia berani, maka keberaniannja itu tidak teguh dan lekas berubah mendjadi ketakutan dan ketjemasan.” (lihat, Ki Bagus Hadikusuma, Islam Sebagai Dasar Negara dan Achlaq Pemimpin)

Poin kedua syarat pemimpin adalah Tawakkal. Ki Bagus menekankan pentingnya tawakkal bagi seorang pemimpin.

“Orang jang sengadja beramal kebaikan membela agama dan kebenaran sangat sering digoda oleh sjaitan – iblis (jang selalu menampakkan dirinja berupa kesenangan dunia), sehingga ia merasa takut dan kuatir berkurang penghasilanja, mundur perusahaannja, atau susut hartabendanja; atau kehilangan pangkat dan djabatannja, atau kuatir tak mendapat rezeki. Ketahuilah, disini orang harus mempunja tawakkal itu untuk mengalahkan godaan sjaitan tersebut diatas.” (lihat, Ki Bagus Hadikusuma, Islam Sebagai Dasar Negara dan Achlaq Pemimpin)

Poin ketiga, Ki bagus menyebutkan “Selpkoreksi (self-correction-pen) serta tidak menjari-tjari kesalahan dan tjela orang lain. “ Sambil menyitir Surat AlHajr ayat 18, Ki Bagus menyebutkan pentingnya bermuhasabah.  Karena yang paling berbahaya adalah hawa nafsu yang bersembunyi dalam diri manusia.

Adil dan jujur menjadi poin keempat syarat seorang pemimpin. Adil berarti meletakkan sesuatu pada tempatnya, dan lawannya adalah zalim. Sedangkan jujur berarti lurus.

‘”Maka djudjur ialah keadilan watak dan kelakuan, dan adil ialah kedjudjuran hukum dan peraturan” (lihat, Ki Bagus Hadikusuma, Islam Sebagai Dasar Negara dan Achlaq Pemimpin)

Tawadlu dan tidak takabur menjadi poin kelima kriteria pemimpin. Seorang pemimpin selalu diintai rasa ujub. Dari rasa ujub ini lahir sikap dan sifat takabur, yaitu sombong. Termasuk sombong (tidak suka) untuk menerima kebenaran dari orang lain karena perasaan angkuhnya. Ki Bagus menyebutkan Surat Luqman ayat 18 sebagai peringatan Allah untuk tidak berlaku angkuh dan sombong. Sifat sombong dan ujub menurut Ki Bagus menghilangkan kehati-hatian dan kewaspadaan. Inilah yang menjadi pangkal kekalahan dan kejatuhan. (lihat, Ki Bagus Hadikusuma, Islam Sebagai Dasar Negara dan Achlaq Pemimpin)

Pemimpin juga harus memegang teguh janji. Poin ini menjadi poin penting setelah tawadlu. Ki Bagus mengingatkan,

“Djandji tidak boleh disalahi terutama oleh para pemimpin, karena namanja akan luntur hilang kehormatan dirinja, dan pemimpinja tak akan dihargai orang. Djanganlah boros dengan djandji dan kesanggupan, djanganlah berdjanji kalau tidak jakin dapat menetapi. Menjalahi djandji adalah dosa besar dan menetapi djandji adalah satu kewadjiban.” (lihat, Ki Bagus Hadikusuma, Islam Sebagai Dasar Negara dan Achlaq Pemimpin)

Sabar dan halim menjadi poin ketujuh kriteria seorang pemimpin. Sabar bukan hanya menerima kekecewaan dengan tenang, tetapi juga lebih luas, yaitu;

“Tahan dan kuat batinja, teliti, tenang dan berani. Bersabar ialah menahan kemarahan hawanafsu dan menahan keinginan nafsu jang djahat, sehingga nafsu itu dapat dikendalikan dan diatur dengan teliti dan utama“ (lihat, Ki Bagus Hadikusuma, Islam Sebagai Dasar Negara dan Achlaq Pemimpin)

Sifat halim menurut Ki Bagus adalah lembut hati dan peramah, tidak lekas marah dan pemaaf. Sifat seperti ini akan menarik hati, perhatian dan kecintaan pengikutnya dan masyarakat.

Terakhir Ki Bagus menyebutkan, hidup sederhana sebagai sifat seorang pemimpin. Pemimpin harus menghindari sifat kikir dan boros. Sebaliknya dapat hidup hemat dan dermawan. Hidup sederhana justru akan memberikan kehormatan bagi pemimpin tersebut. Menariknya, Djarnawi Hadikusumo, tokoh Muhammadiyah yang juga putra dari Ki Bagus Hadikusumo, diberikan nasehat mendalam bagi oleh Ki Bagus diakhir hayat beliau. Ki bagus berpesan,

“Kalau engkau hendak mentjari pemimpin sedjati ichlas lahir-batin, perhatikanlah terlebih dahulu dapur rumahnja dan tjara hidupnja sebelum memperhatikan dia dari segi-segi lainnja. Djika engkau lihat dapurnya penuh santapan jang enak-enak dan tjara hidupnja mewah, hentikan penjelidikanmu karena sudah terang dia bukan pemimpin sedjati. Sebab seorang pemimpin sedjati tidak mungkin suka hidup mewah. Bahkan pemimpin jang mengatakan bahwa kemegahan dan kemewahan itu perlu untuk medjaga standing bangsa dan negara kita dimata dunia internasional : tetapi perkataan itu njatanja alasan jang dibuat-buat, sebab dirumah tangganja jang terpisah dari dunia internasional, namun mereka suka mewah dan megah djuga. Djarang orang jang berani hidup melarat ketika ada kesempatan baginja mendjadi kaja baik setjara halal atau tidak halal, jang berani hanjalah pemimpin-pemimpin sedjati dan muchlis serta orang2 jang saleh, karena mereka sedia rela melepaskan keduniaan itu asal dapat bekerdja dan berdjoang untuk keselamatan dan kebahagiaan umat”

Ki Bagus kemudian melanjutkan, “Tidak kurang pemimpin jang dahulu disebut muchlis, tetapi setelah terbuka kesempatan untuk mewah maka diambilnja kesempatan itu dan mereka terus djuga mendjadi pemimpin; tetapi keichlasanja itu telah hilang, apalagi djika kesempatan itu tidak halal. Ketahuilah bahwa ukuran pemimpin tidak ditentukan oleh lamanja dia berdjoang, tetapi oleh keichlasan dan kebidjaksanaannja serta keberaniannja memikul tanggung djawab.“ (lihat, Ki Bagus Hadikusuma, Islam Sebagai Dasar Negara dan Achlaq Pemimpin)

Delapan kriteria pemimpin tadi, setelah aqidahnya, menjadi tantangan, dan sekaligus panduan bagi umat Islam. Delapan kriteria tadi semoga menyadarkan umat yang masih dalam lembah kebingungan dan akhirnya hanya memegang kriteria pemimpin, “biar kafir asal tidak korupsi“ atau “biar korupsi asal muslim.“

Oleh: Beggy Rizkiyansyah – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa

Tulisan ini dimuat di Majalah Tabligh edisi bulan Juli 2016

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here