Merunut ulang apa yang disebut sejarah Jakarta, menuntut kita untuk memiliki perspektif yang berbeda. Memandang sejarah Jakarta, tak sekedar runutan dari era pra kolonial saja,namun yang terpenting menyelami proses penyebaran dan perkembangan Islam di Jakarta. Seringkali Islam di Jakarta dan sejarahnya dipandang, hanya selintas lalu. Padahal, Islam di Jakarta, setua atau bahkan lebih tua dari kota Jakarta. Dan yang terpenting, Islam di Jakarta tetap hadir dalam jiwa masyarakatnya, seiring pertumbuhan kota Jakarta.
Kita dapat menelusuri kembali Jakarta dari sebuah pelabuhan penting yang bernama Sunda Kelapa (Calapa). Begitu orang-orang Portugis menyebutnya, karena pelabuhan tersebut dikuasai oleh sebuah Kerajaan Sunda bernama Pajajaran. Kerajaan Sunda tersebut memiliki beberapa pelabuhan seperti Banten, Pontang, Cigeude, Tangerang Kalapa dan Cimanuk.[1]
Sunda Kelapa menjadi pelabuhan penting Kerajaan Pajajaran, setidaknya sejak abad 12 hingga 16. Kerajaan Pajajaran yang berpusat di Bogor, menjadikan Sunda Kelapa sebagai pelabuhan pentingnya. Kegiatan ekonomi kerajaan tersebut ditopang oleh pelabuhan yang berada di mulut sungai Ciliwung tersebut. Sunda Kalapa menjadi pelabuhan yang menjadi titik temu para pedagang dari Cambay, Cina, Melayu dan lainnya.[2]
Masyarakat Sunda Kalapa kala itu dihuni oleh beragam kelompok, baik pribumi maupun orang Asing yang berdagang ke Sunda Kalapa. Kebanyakan penduduk Sunda Kalapa waktu itu kemungkinan orang Sunda, sedangkan agama masyarakatnya Hindu yang kadang bercampur budha dan kepercayaan lokal seperti Sunda Wiwitan.[3] Daerah di sekeliling Sunda Kalapa (kemudian menjadi Jayakarta) menjadi penting untuk ditinjau karena merupakan daerah yang terjalin dengan Sunda Kalapa. Berbagai interaksi penduduk daerah sekitar tersebut nantinya merupakan penyokong Batavia yang kemudian melebur dengan Batavia.
Pelabuhan Sunda Kalapa menjadi penting ketika Portugis mengalahkan kesultanan Malaka dan mengambil alih pelabuhan di Malaka. Politik penjajahan dan dagang Portugis yang berjalin dengan misi agama, membuat para pedagang Muslim beralih dari Malaka menuju Sunda Kalapa. Sunda Kalapa mulai dibanjiri pedagang Muslim. Di Sunda Kalapa saat itu, menurut Ridwan Saidi, bukan tak ada komunitas Muslim, nyatanya,penyebaran Islam di sekitar Karawang, merembes hingga ke Sunda Kelapa. [4] Namun seberapa jauh penyebaran Islam saat itu di Sunda Kalapa sulit dipastikan.
Penyebaran Islam di wilayah diluar Sunda Kalapa sendiri telah dimulai dari abad ke 15 di Karawang, oleh seorang ulama bernama Syekh Quro. Nama asli Syekh Quro diyakini adalah Hasanuddin. Disebut Quro karena kepandaiannya dalam mengaji atau Qira’at yang sangat merdu. Syekh Quro yang awalnya berdakwah di Muara Jati, Cirebon, akhirnya pindah ke Karawang, setelah sebelumnya sempat kembali ke Champa. Dakwah Syekh Quro diterima masyarakat Karawang. Menurut budayawan Betawi, Ridwan Saidi, murid-murid Syekh Quro akhirnya menyebarkan Islam sampai ke Sunda Kalapa. [5]
Bangkitnya kekuasaan Islam di Jawa dengan berdirinya kerajaan Demak, berdampak pada terancamnya kekuasaan lain di pulau Jawa. Islamisasi yang diiringi oleh bangkitnya kekuasaan Islam di tanah Jawa, terus meluas hingga ke Jawa Barat dengan hadirnya Kerajaan Cirebon. Kerajaan Hindu, Sunda Pajajaran di Jawa Barat merasa terdesak oleh berkembangnya kekuasan Islam.[6]
Di Sunda Kalapa, Kerajaan Pajajaran berupaya untuk menghadang pengaruh Islam, membuat perjanjian dengan Portugis yang memiliki kekuatan militer yang kuat. Portugis juga membutuhkan merica dari Banten yang berada dibawah kekuasaan Pajajaran. Upaya negosiasi Pajajaran Portugis ini dimulai sejak 1521. Negosiasi ini dibuka dengan dikirimnya utusan Kerajaan Pajajaran, yaitu Surawisesa ke Malaka. Tahun 1522, Kapten Portugis di Malaka, Jorge d’Albuquerque mengirmkan utusan ke Sunda Kelapa. Perjanjian disepakati oleh Surawisesa, yang telah naik tahta menjadi Ratu Sanghyang dengan Henrique Leme dari Portugis. Tanggal 21 Agustus 1522, Portugis dan Pajajaran melakukan kesepakatan. Kesepakatan ini masih tersisa jejaknya disebuah pilar (Padrao) yang ditemukan pada tahun 1918 di daerah Kota (Jakarta).[7] Persaingan kekuasaan Islam dengan Portugis di Nusantara, membawa dampak pada berbagai aspek termasuk perdagangan di Sunda Kalapa. Hanya dengan memahami kontestasi kedua pihak ini, kita akan memahami, penyebab Demak akhirnya mengutus Fatahillah untuk menaklukkan Sunda Kelapa.
Nama Falatehan (Fatahillah) disebutkan oleh orang Portugis bernama Joao de Barros. Fatahillah, yang menurut sumber lokal seperti Negarakertabhumi dan Purwaka Caruban Nagari, sebenarnya bernama Fadhillah Khan. Ia lahir di Pasai tahun 1490, anak seorang bernama Maulana Ibrahim. Falatehan disebutkan datang kembali ke Pasai sepulang dari Mekkah. Di Pasai yang telah jatuh ke tangan Portugis mengekang kegiatan syiar Islam. Falatehan pun ke Demak, untuk berdakwah dan menikahi seorang saudari raja Demak.[8] Kerajaan Islam Demak berusaha membendung pengaruh Portugis dengan merencanakan ekspedisi militer ke Banten dan Sunda Kalapa. Di Jawa Tengah Demak menjadi pusat kekuasaan Islam, sementara di Jawa Barat,Kerajaan Cirebon menjadi pusatnya. Hubungan Demak-Cirebon ini menjadi pembuka jalan bagi Fatahillah untuk menaklukkan Sunda Kelapa dan Banten.
Ekspedisi militer Fatahillah, singgah di Cirebon sebelum sampai ke Banten dan Sunda Kelapa. Di Cirebon, ia bertemu dengan Syarif Hidayatullah, atau yang dikenal dengan Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati adalah seorang ulama sekaligus penguasa Kerajaan di Cirebon. Ia disebut sebagai raja pandita. Fatahillah, bertujuan untuk meminta bantuan pasukan kepada mertuanya. Permintaan ini pun dikabulkan oleh Sunan Gunung Jati.[9] Maka terjadilah penaklukkan Sunda Kelapa, yang jika ditinjau dari sumber seperti De Barros diperkirakan terjadi antara akhir tahun 1526 atau awal 1527.[10] Penyerangan ke Sunda Kalapa dilakukan dengan terlebih dahulu menuju Banten. Banten yang telah ditaklukkan oleh Maulana Hasanuddin tahun 1526 menjadi titik tolak penyerangan Fatahillah dari arah barat Sunda Kelapa.[11]
Ditaklukkannya Sunda Kelapa oleh Fatahillah, menuai perbedaan pendapat. budayawan Betawi, RIdwan Saidi misalnya, menanggap Fadhillah Khan sebagai penjajah masyarakat di Sunda Kelapa saat itu. Termasuk masyarakat muslim yang telah ada di Sunda Kelapa.[12]
Melihat peristiwa ini, akan lebih jernih jika kita membandingkan dengan situasi yang lebih luas saat itu. Penting untuk memahami motivasi Portugis menjelajah, termasuk ke nusantara, tidak hanya untuk misi berdagang, tetapi juga penyebaran agama. Tujuan ini seringkali dikenal dengan feitoria, fortaleza dan igreja (perdagangan, dominasi militer dan agama).[13]
Saat itu kekuasaan Islam berhadapan langsung dengan Portugis. Keadaan semakin sengit setelah direbutnya Malaka dan Pasai oleh Portugis.. Padahal Pasai dan Malaka awalnya adalah pusat kegiatan umat Islam. Cahaya Pasai sebagai pusat dakwah menjadi sirna. Dari sisi perdangangan umat Islam mengalami kerugian. Semenjak menguasai Malaka sebagai pelabuhan internasional, Protugis menyingkirkan perdagangan umat Islam ke Laut Merah dan Afrika Timur. Pedagang yang hendak lewat melalui Laut India dipaksa untuk membeli cartezas atau surat izin berlayar. Kehadiran Portugis di Malaka menghapus system pelayaran di nusantara yang selama ini dikenal damai.[14]
Kekuasaan Islam yang kini di pegang oleh Demak, menjadi faktor penting. Gagalnya penyerangan Demak untuk merebut Malaka dari Portugis tahun 1512, membuat Demak melakukan taktik lain menghadang Portugis. Kebijakan Demak – Cirebon melalui Fatahillah untuk merebut kekuasaan Kerajaan Pajajaran (Hindu), adalah sebuah kebijakan untuk mempertahankan kekuasaan umat Islam dan menguasai perdagangan di Pulau Jawa. Maka menguasai pelabuhan-pelabuhan penting di Jawa seperti Cirebon, Banten dan Sunda Kelapa berarti membatasi ruang gerak Portugis. Persaingan ini adalah persaingan yang melibatkan Kerajaan Pajajaran (Hindu) – Portugis (Katolik) dan Demak (Islam).
Jayakarta di bawah kekuasaan Islam.
Tahun 1527, ketika Portugis berkunjung ke Banten, mereka hadir dalam situasi yang berbeda. Banten dan Sunda kelapa telah dikuasai oleh Kekuasaan Islam dari Demak-Cirebon. Portugis terlambat menyadari situasi yang telah berubah. Perjanjian Pajajaran – Portugis yang pernah disepakati tak pernah terlaksana. Fatahillah telah berkuasa di Sunda Kelapa. Fatahillah kemudian menyebut kekuasaan barunya sekitar Sunda Kelapa sebagai Jayakarta. Yang berarti ‘Mendapatkan Kemenangan.’ Kemenangan Fatahillah merebut Sunda Kalapa, menurut Sukanto, terjadi pada 22 Juni 1527.[15]
Fatahillah menjadi penguasa di Jayakarta (Adhipati Jayakarta) sejak 1527 hingga 1570.[16] Posisi ini kemudian diteruskan oleh Tubagus Angke, menantu dari Maulana Hasanuddin dari Kesultanan Banten. Kemungkinan Tubagus Angke bertahta sebagai penguasa Jayakarta di bawah kekuasaan Banten hingga tahun 1596.[17] Jayakarta dibawah kekuasaan Islam mulai mengalami perubahan. Suasana keagamaan beralih menjadi Islam. Hal ini terutama sejak hubungan Jayakarta dan Banten diperkuat oleh hubungan perkawinan antara putri Maulana Hasanuddin dengan Tubagus Angke. Jayakarta menjadi bagian dari Kesultanan Banten. Banten kemudian menjadi pusat dari syiar Islam di Jawa Barat. Ulama-ulama dari India dan Arab diundang ke Banten untuk menyebarkan ilmunya. Buku-buku berbahasa arab dapat tersebar. Bahkan sekolah keagamaan telah berdiri di Banten.[18]
Jayakarta pun turut mengalami pengaruh dari Banten tersebut. Jayakarta menjadi ‘kota’ yang dibentuk seperti kota-kota Islam lain seperti Demak dan Banten. Pusat pemerintahan Jayakarta terletak di sebelah barat muara Ciliwung. Letak alun-laun, keraton (dalem) disebelah selatan alun-alun. Masjid terletak di sebelah barat alun-alun dan pasar disebelah selatan.[19]
Pada masa Tubagus Angke, Belanda mulai datang ke Jayakarta. Sumber-sumber Belanda menyebut Jayakarta sebagai Jaccatra. Seperti diberitakan De Eerste Schipyaart der Nederlanders Naar Oos-indie Onder Cornelis de Houtman 1595-1597, VOC, dipimpin Cornelis de Houtman, pertama kali singgah di Jayakarta pada 13 November 1596.[20] VOC sebenarnya adalah sebuah perusahaan dagang Belanda. Di bentuk pada tahun 1602, VOC memiliki kewenangan menjalankan otoritas sipil, yudisial dan militer di koloni-koloni di Asia. Koloninya tersebar mulai dari Sumatera hingga ke Maluku, dari pesisir India, Bengal dan Sri Lanka hingga ke Deshima di Jepang. VOC kemudian menjadi perusahaan besar.[21]
Pasca wafatnya Tubagus Angke, hubungan Jayakarta dengan VOC kemudian dilanjutkan oleh, Pangeran WIjayakrama, putra dari Tubagus Angke. Pada masa Pangeran Wijayakrama inilah, hubungan dagang Belanda (VOC) dengan Jayakarta diperkuat dengan sebuah perjanjian. Gubernur Jenderal Pieter Both melalui Jaques Hermite mengikat perjanjian dengan Jayakarta diwakili oleh Pangeran Wijayakrama, pada November 1610. Perjanjian ini mengizinkan VOC untuk membuka kantor dagang di Jayakarta, dengan lahan seluas 94 meter.[22]
Perjanjian ini ternyata tak berjalan mulus. Gubernur Jenderal Pieter Both ingin mengubah beberapa bagian dari perjanjian tersebut. Hal ini membuat hubungan Pangeran Wijayakrama dengan VOC memburuk. Keadaan semakin memburuk ketika J.P. Coen ditunjuk sebagai Gubernur jenderal baru. Di sisi lain, Kesultanan Banten tidak berkenan terhadap Pangeran Wijayakrama yang membuat perjanjian dengan VOC tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan mereka. Puncaknya, pada 15 Februari 1619, Pangeran Wijayakrama ditarik dari Jayakarta oleh Kesultanan Banten. J. P. Coen memanfaatkan situasi ini. 30 Mei 1619, VOC merebut Jayakarta. Perebutan ini dapat dilakukan karena Kesultanan Banten sendiri dilanda konflik internal yang telah berlangsung sebelumnya.[23]
Denyut Umat Islam dalam Batavia
J.P. Coen membuat Jayakarta tinggal sejarah. Selepas mereguk kemenangan, Jayakarta lantas diubah menjadi Batavia.[24] Sebuah nama yang merujuk pada nenek moyang orang Belanda. Coen juga mengesahkan Kristen Protestan sebagai agama kelas yang berkuasa saat itu. Ia juga memberlakukan kalender Kristen di Batavia.[25]
Batavia menjadi kota pelabuhan seluas 1 km x 1,5 km yang dibatasi oleh tembok-tembok. Meski demikian Batavia sangat kosmopolitan. Berbagai ras campur baur di sini. Orang-orang eropa didatangkan untuk mengisi posisi administrasi VOC dan militer. Kekurangan personel militer ditutupi oleh para tentara bayaran dari Ambon, disusul dari Makassar, Bugis dan Bali. Budak-budak banyak pula tumpah ruah dari Bengal, India, hingga Makassar, Bali hingga Sumbawa. Namun tak ada budak dari Jawa. Orang-orang Jawa banyak datang untuk bekerja atau berdagang setelah direbutnya Sunda kelapa oleh Fatahillah. Sementara itu, orang-orang Sunda di Sunda Kelapa banyak keluar dari Sunda Kelapa setelah Jayakarta muncul. Namun orang-orang Cina-lah yang dominan dalam perdagangan. Orang-orang Melayu hingga Patani juga memenuhi Batavia. Orang Mardijker (Kristen Asia, biasanya budak Bengal dan India yang masuk Kristen) juga hidup di Batavia.[26]
Batavia kemudian menjadi kota yang dikeliliingi oleh tembok-tembok. Konsentrasi penduduk akhirnya mulai diarahkan ke Ommenlanden (wilayah diluar tembok kota Batavia).[27] Terlebih ketika sesudah tahun 1650, pemerintah mulai mengurusi Ommenlanden. Fase ini dipicu oleh ancaman serangan militer oleh Banten dan Mataram. Meski Mataram sempat dua kali menyerbu Batavia, namun keduanya mengalami kegagalan. Bahkan konflik internal di Kesultanan Banten dan Mataram mampu dimanfaatkan oleh VOC. Pihak yang berkonflik seringkali meminta bantuan VOC, agar memiliki kekuatan. Tak heran, selepas dirundung konflik internal dan direcoki VOC, Banten dan Mataram tak lagi bertaji. Tahun-tahun berikutnnya, tak ada suksesi kepemimpinan di Banten dan Mataram tanpa persetujuan VOC.[28]
Meski begitu, VOC tetap memiliki kekhawatiran terhadap orang Jawa. Hal ini membuat mereka mengeluarkan peraturan yang melarang orang Jawa tinggal di dalam kota Batavia. Orang-orang Jawa menetap di perkampungan mereka di Ommenlanden. Begitu pula orang Ambon, Makassar, Mandar, Bali, Cina dan lainnya. Masing-masing menetap disebuah kampung yang terpisah secara etnis. Maka kita hingga saat ini, istilah Kampung Ambon, Kampung Melayu, Kampung Makassar kini di Jakarta masih dikenal, meski hanya sebatas nama tempat saja. Saat itu, setiap kampung diangkat seorang Kapten untuk bertanggung jawab terhadap warga kampungnya. Pengusiran orang-orang Jawa oleh Belanda dari Batavia secara tidak langsung berdampak pada kehidupan umat Islam di Batavia. Kebijakan ini menjadi model untuk menyingkirkan umat Islam dari Batavia hingga 150 tahun kemudian.[29]
Pengusiran orang Jawa dan (berarti banyak orang Islam dari Batavia) bukan berarti melemahkan denyut syiar Islam di Batavia. Orang-orang ‘Moor’ (umumnya, Muslim India) merupakan muslim yang masih bertahan di Batavia. Bahkan denyut nadi Islam di Batavia tetap hidup, dengan kegigihan orang ‘Moor’ mendakwahkan Islam. Orang-orang ‘Moor’ telah ada di Batavia sebelum masa kolonial. Seorang ulama dari Surat (India), bernama Mas Goula adalah seorang muslim yang berpengaruh di Batavia. Mereka sejak 1633 telah tinggal dalam kawasan mereka sendiri, dibagian barat kota. Mereka juga mendirikan mushollanya dan sekolah agama Islam.[30]
Dakwah orang-orang Moor ini seringkali ditentang pihak gereja di Batavia. Tahun 1648, mereka mempermasalahkan, yang mereka sebut ‘sebuah kuil Moor.’ Bahkan Gubernur Jenderal Joan Maetsuycker berjanji akan merobohkan masjid apabila ‘pendeta Moor’ masih melakukan kegiatan keagamaan di Masjid, merantai dan menjebloskan mereka ke penjara. Namun masjid-masjid tetap saja menjadi tempat berkumpul baik untuk sholat lima waktu maupun sholat Jumat. Rupanya dakwah orang-orang Moor ini menarik hati para Mardrijker asal Bengal yang tadinya beragama Islam. Mereka kembali tertarik untuk memeluk agama Islam.[31]
Muslim ‘Moor’ ini bahkan menyemarakkan kegiatan dakwah dengan membuka sekolah-sekolah Islam. Sekolah ini terbuka, termasuk untuk orang-orang Melayu pribumi. Geliat dakwah disekolah-sekolah Islam ini bahkan dapat kita lihat dengan lahirnya penghafal Al Quran pribumi bernama Bodol, anak angkat Muslim ‘Moor’ di Batavia. Tahun 1678, setidaknya terdapat tiga masjid di Batavia, yaitu di utara Sungai Ancol, gerbang Diest dan diluar gerbang Utrecht. Masjid-masjid ini berdiri di atas lahan pribadi. Artinya, mereka memiliki kebebasan penuh untuk penyelenggaraan Masjid dan Sekolah-sekolah Islam. Muslim ‘Moor’ juga dicatat seringkali mampu menyelesaikan permasalahan-permasalah dengan baik. Soal warisan, konflik dan perselisihan diselesaikan dengan baik dan tanpa merepotkan pejabat Batavia.[32]
Kehidupan yang relijius tidak saja ditemukan pada Muslim ‘Moor’, tetapi juga muslim pribumi yang ada di Batavia dan Ommenlanden. Orang-orang asal Banda, misalnya, mereka meski sudah menetap di Batavia dan beberapa pemimpin mereka murtad, namun orang-orang Banda lainnya masih setia memeluk Islam. Mereka bahkan mendirikan sekolah Islam untuk anak-anak di pemukiman orang Banda. Harapan pejabat Batavia agar mereka memeluk agama Kristen, pupus. Pejabat Batavia memang tak memberikan keleluasaan bagi umat Islam untuk berdakwah. Tahun 1636, seorang ulama ‘Moor’, dilarang untuk mengajar anak-anak Banda oleh pemerintah Kolonial. Geliat dakwah di kalangan muslim pribumi memang tetap hidup, di kawasan dekat kota atau di Ommenlanden, seslalu terdapat kehadiran seorang ulama.[33]
Pemerintah Batavia memang tak kuasa menolak perkembangan Islam di Batavia. Pada akhir abad ke 17, sejumlah kebiasaan Islam sudah menyerap dalam derap kehidupan masyarakat, bahkan dalam penerapan hukum pidana, pemerintah VOC harus mempertimbangkan agama terdakwa. Gerrit Vermeulen, dalam laporan perjalanannya tahun 1677 menulis, orang ‘Moor’ dan Jawa sudah terbiasa “untuk mempertahankan hukum mereka secara amat ketat;” mereka selalu mengucapkan sumpah dalam bahasa mereka sendiri dan secara Islam. Hal ini tak mengherankan jika pejabat pengadilan di Batavia bahkan sampai perlu untuk meminta masukan dari ulama setempat untuk persoalana pengadilan yang melibatkan orang Islam.[34]
Muslim, baik Moor, pribumi atau Cina, berdakwah sambil menjalani profesi mereka, terutama para pedagang. Mereka meyebarkan Islam melalui hubungan dagang dan perkawinan campuran. Buku-buku Islam dari Banten kerap masuk ke Batavia, dibaca oleh para pedangang melayu. Batavia akhirnya tidak menjadi kantong masyarakat Kristen seperti yang dicita-citakan VOC.[35] Batavia, mengikuti Jayakarta, tetap menjadi bagian dari dunia Islam. Batavia malah menjadi hunian muslim yang multietnis, yang menjadi bagian penting dunia Islam pada masa itu di nusantara.
Di Ommenlanden, kampung-kampung pribumi diberikan keleluasaan untuk mengatur masyarakatnya dengan aturan masing-masing, menjadi dakwah Islam yang terus berkembang. Adat atau aturan masyarakat yang sudah menyerap nilai dan pengaruh Islam menjadi kekuatan dakwah Islam itu sendiri. Para perempuan pribumi, misalnya, dinilai lebih diuntunngkan dan mandiri dengan aturan Islam. Para muslimah abad ke 17 di Batavia, telah memahami bahwa perempuan dalam Islam berhak atas hartanya sendiri. Maka banyak dari perempuan tersebut yang memiliki kekayaan dari harta mereka sendiri. Mereka jelas beruntung, tidak seperti perempuan Mardijker (Kristen), seringkali menjadi pihak yang dirugikan dalam kepemilikan harta.[36]
Islam menjadi sebuah titik temu bagi masyarakat di kampung-kampung yang dipisahkan secara etnis tersebut. Perkawinan campur kerap terjadi. Orang-orang Bali yang menetap di Batavia, banyak melepas identitas adat dan agama mereka, kemudian memeluk Islam. Bahkan orang-orang Bali yang lebih dahulu menetap di Batavia ini pernah bertikai dengan orang-orang Bali yang baru datang dari Bali. Orang Bali lama di Batavia tak ingin disatukan dikampung yang sama dengan orang-orang Bali yang baru datang. Persoalan agama menjadi penyebabnya. Ketidaksamaan agama ini membuat mereka sulit melebur.[37]
Melihat kenyataan-kenyataan yang terhampar diatas, terang sekali, Islam menjadi faktor yang menentukan untuk meleburkan berbagai etnis yang ada di Batavia dan sekitarnya. Perkawinan campur karena kesamaan agama, menjadi faktor utama yang mendorong peleburan etnis-entis tersebut. Kampung – kampung yang disekat etnis tak menjadi penghalang. Pejabat di Batavia mencoba mencegah peleburan ini dengan melarang perkawinan campur pada tahun 1701 dan 1766. Namun aturan itu hanya macan kertas. Menarik untuk menyimak pendapat Remco Raben yang menulis soal kehidupan di Batavia. Menurutnya,
“Tidak adanya friksi atau persaingan antara batas-batas etnis yang jelas antara kelompok-kelompok itu. Di sini kita menyaksikan ampuhnya kekuatan asimilatoris Islam.”[38]
Islam, memang menjadi kekuatan ampuh yang menyatukan berbagai etnis di Batavia dan sekitarnya (Ommenlanden). Selain perkawinan campur dan peleburan tempat tinggal masyarakat, factor yang juga amat penting adalah bahasa. Bahasa Melayu yang menjadi lingua franca, menjadi hidup dan berkembang. Berbagai bahasa yang hadir di Sunda Kelapa, Jayakarta hingga Batavia; mulai dari Sunda, Jawa, Melayu, Bali, Arab hingga Portugis mewarnai pembentukan bahasa di Batavia.
Bahasa Melayu dan Portugis awalnya menjadi bahasa yang dominan di Batavia sebagai bahasa sehari-hari. Dominannya bahasa Portugis ini banyak dibawa oleh para Mardrijkers. Namun pada paruh kedua abad ke 18, bahasa Portugis mulai menghilang.[39] Kemungkinan, lenyapnya bahasa Portugis ini disebabkan semakin sedikitnya Mardrijkers, entah melebur dalam masyarakat, atau terhapusnya perdagangan budak di Batavia. Sementara itu bahasa Melayu terus hidup. Bahasa Melayu yang dipengaruhi berbagai bahasa ini kemudian perlahan menjadi, yang saat ini dikenal dengan Bahasa Betawi.[40]
Batavia, Kota para Ulama Betawi
Islam awalnya mengikat orang-orangnya dengan perkawinan campur dan peleburan tempat tinggal, kemudian terjadi pula percampuran bahasa dan budaya di masyarakat yang saling mempengaruhi, sehingga membentuk sebuah etnis baru di Batavia, yaitu Betawi. Kehadiran etnis ‘baru’ Betawi ini setidaknya sudah ada sejak sebelum abad ke 19.
Istilah etnis Betawi sendiri, sebenarnya belum dikenal (setidaknya pada catatan resmi) dalam registrasi populasi penduduk Batavia yang dilakukan oleh pejabat di Batavia tahun 1593, 1815, dan 1893.[41] Sementara etnis-etnis lainnya (Bali, Ambon, Jawa, Melayu dan lainnya) sudah terdaftar, etnis betawi belum disebut. Istilah Betawi menurut beberapa penulis sejarah Jakarta (dan Betawi) tercatat secara resmi, saat M. H. Thamrin ketika membentuk ‘Perkoempoelan Kaoem Betawi’ tahun 1923.[42] Namun sebenarnya istilah Betawi, sudah dikenal sebagai suatu asal atau etnis. Hal ini dapat kita lihat dari nama seorang ulama besar asal Betawi. Ia dikenal oleh masyarakat dengan nama Junayd Al Batawi. Ulama yang tinggal di Mekkah sejak 1834, nantinya akan dikenal sebagai poros ulama Betawi.[43]
Ada beberapa pendapat mengenai asal kata Betawi, pertama ia adalah pengucapan dari bahasa arab untuk Batavia. Prof. Uka Tjandrasasmita termasuk yang memegang pendapat ini.[44] Namun pendapat ini ditolak oleh Ridwan Saidi,. Ia berpendapat Betawi berasal dari kata Pitawi, yang berarti suci atau larangan. Ia menunjuk kata suci tersebut terkait dengan tempat suci yang dihubungkannya dengan sejarah Betawi di Batu Jaya dan Telaga Jaya di Karawang.[45] Kemungkinan lain, menurut Yasmin Z. Shahab, kata Betawi berasal dari kata “bau tai.” Sebuah istilah yang dipakai ketika Belanda berhasil merebut Sunda kelapa. Lainnya, Betawi berasal dari kata fatawi, yang berarti orang yang memperkenalkan fatwa, yaitu Fatahillah.[46] Terlepas dari berbagai kemungkinan tersebut, yang jelas, kata Betawi setidaknya telah disebutkan sejak paruh pertama abad ke 19 melalui nama ulama Junayd Al Batawi.
Abad ke 19 memang merupakan abad peralihan bagi Batavia. Di abad ke 18 Batavia mengalami bencana kesehatan yang akut. Antara tahun 1733-1738, setiap tahun ada 2 hingga 3 ribu orang yang mati akibat epidemi ini. Epidemi ini tentu saja memukul VOC. Namun tahun-tahun itu juga menjadi masa sekaratnya VOC. Sejak 1730 VOC terus dilanda kerugian. Berbagai faktor turut mendorong bangkrutnya VOC. Mulai dari manajemen yang buruk, korupsi dan perdagangan pribadi para pegawainya, hingga merotketnya utang VOC akibat perang Inggris-Belanda ke empat. Tahun 1795 VOC akhirnya dinasionalisasi oleh Belanda.[47] Sejak saat itu, sebagai buah dari ekspansi territorial dan perluasan kekuasaan kontrol Belanda, koloni-koloni VOC di nusantara berkembang menjadi Hindia TImur Belanda (Dutch East Indies).[48]
Batavia memang patut berbenah. Kota Tua Batavia sudah tidak layak. Sejak bencana kesehatan mendera Batavia, banyak orang pindah keluar tembok Batavia, untuk mencari lingkungan yang lebih sehat.[49] Dibukanya terusan Suez tahun 1869 membuat perjalanan kapal uap meningkat pesat. Demi bersaing denga pelabuhan seperti Singapura dan Surabaya, pemerintah kolonial Hindia Belanda akhirnya membuka Pelabuhan Tanjung Priok 1886.[50] Pemerintah kolonial Hindia Belanda dibawah Gubernur Jenderal Daendels juga mengembangkan kota ‘Batavia baru.’ Ia memindahkan militer dan pemerintahan keluar dari ‘Kota Tua Batavia’ yang sempit. Batavia kemudian berkembang luas ke selatan. Daendels mendirikan kantornya di Weltervreden (sisi Lapangan Banteng). Bagian sudut Lapangan Banteng (Waterlooplein) didirikan gereja besar atau katedral. Daerah-daerah ini adalah daerah elit baru di Batavia yang lebih luas.[51]
Dibukanya terusan Suez bukan saja mendatangkan lebih banyak kapal uap ke Batavia, tetapi juga mempermudah hubungan dari Batavia ke Timur tengah. Perjalanan menuju Jeddah dapat ditempuh, kurang lebih hanya 30 hari saja.[52] Orang-orang Arab, terutama dari Hadramaut (Yaman) mulai banyak berdatangan ke Hindia Belanda, termasuk ke Batavia sebagai salah satu pelabuhan besar. Semenjak India dikuasai Inggris, awal Abad ke 19 menjadi saksi mulai sirnanya kehadiran Muslim ‘Moor’ ke Batavia. Sebaliknya orang-orang Arab menjadi faktor penting bagi syiar Islam di tanah air, menggantikan posisi Muslim ‘Moor.’ Posisi mereka sebagai Sayyid (keturunan Rasulullah) mendapat tempat tersendiri di masyarakat Betawi. Tetapi, mereka tetap dipandang sejajar dengan ulama-ulama Betawi.[53] Kemudahan mencapai tanah suci Mekkah, juga melancarkan hubungan ulama-ulama tanah air, termasuk orang Betawi ke tanah Suci. Maka kita akan melihat pada abad ke 19, banyak ulama Betawi yang menuju tanah suci. Salah satu yang menjadi pelopor dan mendapat tempat terhormat di sana adalah Junayd Al Batawi. Ulama besar Betawi ini menimba ilmu dan menetap di Tanah Suci Mekkah. Ialah poros ulama Betawi yang membuka pintu bagi ulama-ulama Betawi lainnya untuk menjadi bagian dari para penuntut ilmu di Haramayn.
Lahir di Pekojan, Batavia, sebuah kawasan yang dikenal sebagai kampong komunitas muslim, Syaikh Junayd adalah ulama Betawi yang dikenal sebagai Imam Masjidil Haram. Ia dikenal sebagai imam mahzab Syafi’i. Syaikh Junayd menetap di Mekkah sejak tahun 1834, dan setidaknya hingga 60 tahun kemudian ia tetap tinggal di sana. Snouck Hurgronje mengetahui keberadaan Syaikh Junayd dan ingin bertemu dengannya. Namun permintaan ini ditolak oleh Syaikh Junayd. Pada saat itu Syaikh Junayd telah berusia 90 tahun. Kedudukan Syiakh Junayd di Mekkah begitu dihormati oleh masyarakat disana. Menurut Buya Hamka, ketika pada tahun 1925, Syarif Ali (putra Syarif Husin) ditaklukkan oleh Ibnu Saud, salah satu syarat yang diajukan oleh Syarif Ali adalah,” agar keluarga Syaikh Junayd tetap dihormati setingkat dengan keluarga Raja Ibnu Saud.”[54]
Kedalaman ilmu Syaikh Junayd Al Batawi, dibuktikan dengan banyaknya murid beliau yang menjadi ulama besar. Sebut saja Syaikh Nawawi Al Bantani yang kemudian juga menjadi ulama di Hijaz. Nama lain adalah Syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi, yang kelak juga menjadi imam mahzab Syafi’i di Masjidil Haram. Syaikh Ahmad Khatib adalah guru para ulama generasi selanjutnya, seperti KH Hasyim Asy’ari, KH Ahmad Dahlan, Haji Rasul, hingga H. Agus Salim.
Fakta yang tak kalah penting, Syaikh Junayd Al Batawi juga menjadi poros para ulama Betawi untuk belajar ke Tanah Suci. Ia membuka pintu bagi para orang Betawi untuk menimba ilmu di Tanah Suci. Di antara murid-murid Betawinya yang menjadi ulama besar Betawi adalah Syaikh Mujitaba dan Guru Mirshod. Dari para muridnya pula nantinya lahir ulama-ulama besar Betawi.
Salah seorang murid Syaikh Mujitaba adalah Guru Manshur Jembatan Lima (1878-1967). Guru Manshur adalah ulama besar Betawi dan amat menonjol dalam bidang ilmu falak.Salah seorang cucunya, KH Ahmadi Muhammad, menyusun kalender hisab al Manshuriyah, berdasarkan hasil pemikiran dari Guru Manshur. Hingga kini kalender tersebut masih digunakan oleh sebagian masyarakat Betawi, bahkan hingga ke Malaysia. Guru Manshur membuka halaqah di Masjid Jembatan Lima dan mengajar di tempat lain, seperti di Kenari dan Cikini. Ia banyak menulis kitab berbahasa arab tentang ilmu falak, puasa, waris dan lain-lain. Salah satu keturunan Guru Manshur saat ini adalah Ustadz Yusuf Mansur. Sedangkan murid-murid Guru Manshur yang menjadi ulama kelak diantaranya adalah KH Abdullah Syafi’i (dikenal sebagai tokoh Masyumi) dan KH Syafi’i Hadzami.[55]
Menariknya, ulama Betawi tak berhenti melahirkan generasi-generasi ulama penerus. Salah seorang Ulama Betawi yang menjadi guru para ulama Betawi adalah Guru Marzuqi Cipinang Muara.Ia adalah anak dari Guru Mirshod, yang pernah menjadi murid Syaikh Junayd Al Batawi. Guru Marzuqi, disebut guru para ulama Betawi, karena begitu banyak murid-muridnya orang Betawi yang menjadi ulama. Diantaranya adalah KH Abdullah Syafi’i, KH Noer Ali, Guru Asmat, dan lain-lain. Para ulama betawi ini bukan saja menjadi tumpuan menimba ilmu, tetapi juga tumpuan umat Islam dalam melawan penjajahan. Salah satu nama yang dikenal sebagai pemimpin dalam berjihad melawan penjajah adalah KH Noer Ali di Bekasi. Selain dikenal anti penjajahan, dia juga dikenal anti komunisme, dan sangat berani mengkritik rezim Soeharto, seperti misalnya dalam perjuangan RUU Perkawinan yang kontroversial itu. Dalam lapangan politik, nama KH Abdullah Syafi’i adalah orator ulung yang menjadi anggota partai Masyumi. Pendiri Asyafi’iyyah ini juga dikenal dekat M. Natsir.[56]
Selain ulama asli Betawi, bagi masyarakat Betawi, ulama yang menjadi panutan juga dari kalangan Sayyid. Para ulama dari atau keturunan Arab, kebanyakan Hadramaut (Yaman) ini sudah sejak lama menjadi figur yang dihormati oleh masyarakat Betawi. Setidaknya kehadiran ulama dari keturunan Rasulullah SAW ini telah ada sejak masa Habib Husein bin Alaydrus di Luar Batang, Batavia. Ia diperkirakan datang ke Batavia tahun 1736.[57] Di akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20, masyarakat Batavia mengenal nama seorang ulama, Sayid Oesman. Lahir di Batavia tahun 1822, ia sempat menimba ilmu di tanah Suci, kemudian kembali ke Batavia. Kehadiran Sayyid Oesman, juga menandai perubahan politik kolonial, yang berusaha tidak memusuhi ulama dan umat Islam, selama tidak terlibat dalam politik anti penjajahan dan Pan-Islam.[58]
Di awal abad ke 20, hadir pula Habib Ali al-Habsji. Lahir tahun di Jakarta tahun 1870, ia kemudian dikenang sebagai ulama besar di Jakarta. Ia sempat menjadi murid Saiyid Usman, kemudian menimba ilmu dari mufti mahzab Syafi’i di Mekkah, Syaikh Ahmad bin Zayni Dahlan. Selain di Tanah Suci, ia juga menuntut ilmu di Hadramaut. Ia menjadi ulama yang menjalin hubungan baik dengan banyak pihak, termasuk Syekh Ahmad Soorkati (Al Irsyad) dan KH Wahab Hasbullah (Nadhlatul Ulama) dan Sarekat Islam. Setiap hari Minggu , ia membuka pengajian di rumahnya, di daerah Kwitang. Tahun 1937, di tempat itu dibangun Masjid. hal ini semakin mengokohkan Kwitang sebagai salah satu pusat keislaman di Jakarta. Kajian itu dihadiri berbagai kalangan, termasuk orang-orang Betawi yang kelak menjadi ulama, seperti Abdullah Syafi’i, Thohir Rahili dan Syafi’i Hadzami.[59] Dari contoh ini, kita bisa melihat hubungan ulama keturuan Arab dan orang Betawi berjalan dan terjalin dengan baik. Keduanya, baik ulama dari kalangan keturunan Arab, maupun ulama Betawi mendapatkan tempat yang sejajar di mata orang-orang Betawi.
Ulama bagi masyarakat Betawi adalah pemimpin yang diikuti. Meski di Abad ke 19-20, pemerintah Batavia memberikan jabatan pemimpin kampung, yang disebut Bek, namun mereka bukan pemimpin yang diikuti oleh masyarakat Betawi. Melainkan para ulama-lah yang mendapatkan tempat tertinggi dihati masyarakat Betawi.[60]
Ada hirarki yang diakui dalam keulamaan bagi masyarakat Betawi. Status tertinggi dalam ulama di Betawi adalah ‘Guru.’ Posisinya dalam tradisi keilmuan Islam seperti Syaikhul Masyaikh.’Guru’ tidak hanya tempat bertanya tetapi juga memiliki otoritas dalam mengeluarkan fatwa. Di bawah ‘Guru’ ada sebutan ‘Mu’allim.’ ‘Mu’allim’ memiliki otoritas untuk mengajar berbagai ilmu dalam Islam, namun belum otoritatif dalam mengeluarkan fatwa. Di bawah ‘Mu’allim’ ada ‘Ustadz.’ ‘Ustadz’ biasanya memberikan pelajaran agama Islam untuk tingkat dasar dan lanjutan, seperti membaca Al Qur’an, bahasa arab, tarikh dan sebagainya.[61]
Kedudukan para ulama dalam masyarakat Betawi tersebut memberikan kita gambaran akan pengaruh Islam yang kuat pada orang Betawi. Orang-orang Betawi dikenal sebagai orang Islam yang taat. Islam memberikan pengaruh kepada orang-orang Betawi, mulai dari elemen penyatu masyarakat yang akhirnya melahirkan etnis Betawi, tetapi juga berkelanjutan, meresap dalam tradisi yang hidup dalam masyarakat Betawi, seperti hakekah, dan sunatan.[62] Orang Betawi identik dengan Muslim.
Agama Islam dalam perjalanan sejarah Jakarta, bukanlah faktor pinggiran. Ia menjadi unsur dominan yang hidup dalam masyarakat sejak Jayakarta, Batavia hingga Jakarta. Islam meleburkan berbagai etnis dalam masyarakat Batavia, ‘melahirkan’ etnis Betawi, dan mewarnai denyut masyarakatnya dengan derap para ulama. Maka berbicara Jakarta dalam konteks masa kini, tidak mungkin melepaskan Agama Islam dari Jakarta. Dan bagi masyarakat muslim di Jakarta pada umumnya dan orang Betawi khususnya, meneruskan tongkat estafet syiar Islam di Jakarta saat ini adalah tugas yang harus dipikul di pundak masing-masing.
Oleh : Beggy Rizkiyansyah (Penggiat Jejak Islam untuk Bangsa)
[1] Tjandrasasmita, Uka. 2009. Masyarakat Jakarta sebelum Batavia: Sebuah Pendekatan Sejarah Sosial dalam Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
[2] Ibid
[3] Ibid
[4] Saidi, Ridwan. 2010. Sejarah Jakarta dan Peradaban Melayu-Betawi. Jakarta: Renaisance Indonesia.
[5] Kiki, Rakhmad Zailani. 2011. Genealogi Intelektual Ulama Betawi: Melacak Jaringan Ulama Betawi dari Abad ke-19 sampai Abad ke-21. Jakarta: Pusat Pengkajian dan Pengembangan Islam Jakarta (Jakarta Islamic Center dan Saidi, Ridwan. 2010.
[6] Ambary, Hasan Muarif. 1975. The Establishment of Islamic Rule in Jayakarta. Jakarta: Djambatan.
[7] Tjandrasasmita, Uka. 2009. Masyarakat Jakarta sebelum Batavia.
[8] Tjandrasasmita, Uka. 2009. Sejarah Jakarta Ditinjau dari Perspektif Arkeologi: Sebuah Rintisan Bagi Arkeologi Perkotaan dalam Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
[9] Ambary, Hasan Muarif. 1975.
[10] Ibid
[11] Tjandrasasmita, Uka. 2009. Masyarakat Jakarta sebelum Batavia.
[12] Saidi, Ridwan. 2010.
[13] Tjandrasasmita, Uka. 2009. Pengaruh Kedatangan Portugis Bagi Kota Pelabuhan di Nusantara dalam Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
[14] Ibid
[15] Tjandrasasmita, Uka. 2009. Masyarakat Jakarta sebelum Batavia.
[16] Ambary, Hasan Muarif. 1975.
[17] Tjandrasasmita, Uka. 2009. Masyarakat Jakarta sebelum Batavia.
[18] Guillot, Claude, Hasan Ambary dan Jacques Dumarcay. 1990. The Sultanate of Banten. Jakarta: Gramedia Book Publishing Division.
[19] Tjandrasasmita, Uka. 2009. Sejarah Jakarta Ditinjau dari Perspektif Arkeolog.
[20] Tjandrasasmita, Uka. 2009. Masyarakat Jakarta sebelum Batavia.
[21] Van der Brug, Peter. 2000. Batavia yang Tidak Sehat dan Kemerosotan VOC pada abad kedelapan belas dalam Jakarta-Batavia: Esai Sosio Kultural. Jakarta: KITLV Jakarta.
[22] Tjandrasasmita, Uka. 2009. Sejarah Jakarta Ditinjau dari Perspektif Arkeolog.
[23] Ibid dan Guillot, Claude, Hasan Ambary dan Jacques Dumarcay. 1990.
[24] Abeyaskere, Susan. 1989. Jakarta, A History. Singapura: Oxford University Press.
[25] Kanumoyoso, Bondan. 2011. Beyond the City Wall: Society and Economic Development in Ommenlanden of Batavia 1684-1740. Disertasi tidak diterbitkan Leiden University, Leiden.
[26] Niemeijer, Henderik A. 2012. Batavia: Masyarakat Kolonial Abad XVIII. Depok: Komunitas Bambu.
[27] Kanumoyoso, Bondan. 2011.
[28] Ambary, Hasan Muarif. 1975.
[29] Niemeijer, Henderik A. 2012 dan Raben, Remco. 2000.
[30] Niemeijer, Henderik A. 2012
[31] Ibid
[32] Ibid
[33] Ibid
[34] Ibid
[35] Ibid
[36] Ibid
[37] Raben, Remco. 2000.
[38] Ibid
[39] Shahab, Yasmin Z. 1994. The Creation of Ethnic Tradition: The Betawi of Jakarta. Disertasi tidak diterbitkan untuk School of Oriental and African Studies, London.
[40] Ibid
[41] Castles, Lance. 1967. The Ethnic Profile of Jakarta. Jurnal Indonesia Vol. 3.
[42] Shahab, Yasmin Z. 1994.
[43] Kiki, Rakhmad Zailani. 2011. Genealogi Intelektual Ulama Betawi: Melacak Jaringan Ulama Betawi dari Abad ke-19 sampai Abad ke-21. Jakarta: Pusat Pengkajian dan Pengembangan Islam Jakarta (Jakarta Islamic Center).
[44] Tjandrasasmita, Uka. 2009. Sejarah Jakarta Ditinjau dari Perspektif Arkeolog.
[45] Saidi, Ridwan. 2010.
[46] Shahab, Yasmin Z. 1994.
[47] Van der Brug, Peter. 2000. Batavia yang Tidak Sehat dan Kemerosotan VOC pada abad kedelapan belas dalam Jakarta-Batavia: Esai Sosio Kultural. Jakarta: KITLV Jakarta.
[48] Ibid
[49] Abeyaskere, Susan. 1989.
[50] Ibid
[51] Tjandrasasmita, Uka. 2009. Sejarah Jakarta Ditinjau dari Perspektif Arkeolog.
[52] Laffan, Michael Francis. 2003. Islamic Nationhood and Colonial Indonesia; Umma Below the Wind. London and New York: RoutledgeCruzon.
[53] Kiki, Rakhmad Zailani. 2011.
[54] Ibid
[55] Ibid
[56] Ibid
[57] Puspitasari, Popi, Sudaryono Achmad Junaedi & Heddy Shri Ahimsa Putra. 2012. Ritual and Space Structure: Pilgrimage and Space Use in Historical Urban Kampung, Context of Luar Batang (Jakarta, Indonesia). Procedia Social and Behavioral Science. No. 36.
[58] Laffan, Michael Francis. 2003.
[59] Alatas, Ismail Fajrie. 2011. Becoming Indonesians: The Ba Alawi in the Interstices of the Nation. Die Welt Des Islams no. 51
[60] Kiki, Rakhmad Zailani. 2011.
[61] Ibid
[62] Shahab, Yasmin Z. 1994.
[…] 8. Orang pertama yang mendakwahkan Islam di Jakarta adalah Syekh Quro, yang dibantu oleh ulama lain seperi Datuk Ibrahim. Silakan KLIK […]
[…] Sumber: Jejak Islam […]