3 April lalu, bangsa Indonesia memperingati “Mosi Integral” yang diserukan oleh Mohammad Natsir. Pada tanggal 3 April 1950, di podium sidang paripurna Parlemen Republik Indonesia Serikat (RIS), Natsir menyampaikan pidato yang kelak disebut sebagai Mosi Integral Natsir:
“Sekarang ini seluruh wakil rakyat negara bagian manapun semuanya menghendaki terwujudnya negara kesatuan, dalam hal ini tidak ada negara bagian yang merasa lebih tinggi dari yang lainnya, semuanya sama dari yang lain, marilah negara kesatuan kita dirikan bersama dengan cara semua negara bagian termasuk juga negara RI Jogja dilikuidasi sama sekali dan marilah atas dasar hak yang sama mosi integral ini sebelum dibicarakan dalam parlemen diperiksa oleh presiden dan menteri, dan parlemen secara aklamasi menyetujuinya” (dikutip dari, Waluyo, Dari “Pemberontak” Menjadi Pahlawan Nasional: Mohammad Natsir dan Perjuangan Politik Indonesia, Yogyakarta: Ombak, 2009, hlm. 78).
Dalam sejarah politik Indonesia Mosi Integral tersebut mengukuhkan Natsir sebagai negarawan yang berperan dan turut andil dalam kesatuan negara. Mosi Integral juga menggambarkan wawasan kebangsaan Natsir yang luas dan telah ditempa sejak masa muda.
Mengkritik Kapitalisma sejak Muda
Mohammad Natsir dikenal sebagai seorang begawan politik dan aktifis Islam. Sosoknya sering hanya dikenal sebagai tokoh yang memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Belakangan sebenarnya mulai marak yang mengenal M. Natsir sebagai seorang tokoh dan pemikir pendidikan. Namun rupanya masih sedikit yang mengenal Natsir sebagai tokoh dan pemikir perjuangan sosial-ekonomi kerakyatan. Namun sejatinya, dalam landasan-landasan pengalaman aksi dan pemikiran Islamnya, Natsir telah banyak menyinggung masalah-masalah sosial dan ekonomi yang dihadapi kaum tani dan buruh.
Dalam masalah-masalah kebangsaan dan kerakyatan itu, kiprah Natsir mengait erat dalam soal-soal di lapangan sosial dan ekonomi. Meskipun masalah kebangsaan dan kerakyatan telah lama ada dalam pikiran Natsir, tidak serta merta ia memilih jalan nasionalisme atau komunisme. Justru sejak belajar di AMS, Natsir telah membicarakan masalah-masalah sosial-ekonomi rakyat dengan cara pandang dan solusinya yang khas. Pikiran-pikirannya yang khas ini juga merupakan kritik tak langsung terhadap ideologi marxisme dan kapitalisme yang telah gagal melihat hakikat kemanusiaan dalam menyelesaikan soal sosial-ekonomi.
Pada saat duduk di kelas lima AMS, Natsir pernah melakukan penelitian tentang akibat perkebunan tebu dan pabrik gula di Jawa terhadap kehidupan para petani. Penyelidikkannya tersebut sengaja dilakukannya untuk memenuhi tugas guru bumi ekonominya. Begitu serius Natsir mengerjakan tugas itu.
Bukan saja buku-buku pelajaran yang ada di sekolahnya, melainkan tulisan dan pidato di Dewan Rakyat (volksraad) dipelajarinya dengan teliti. Berhari-hari pula Natsir menenggelamkan diri di perpustakaan Gedung Sate setiap sekolah usai. Hasil dari penelitiannya tersebut sangat memuaskan.
Hasil penelitiannya itu tentu tidak sepaham dengan apa yang sering dikatakan oleh guru ilmu bumi ekonominya yang merupakan orang Belanda. Berlainan dengan hasil penelitian Natsir, guru ilmu bumi ekonominya itu selalu membanggakan bahwa perkebunan dan pabrik gula di Jawa banyak menolong rakyat kecil.
Berbeda pendapat dengan guru AMS-nya itu, hasil penelitian Natsir justru membuktikan bahwa perkebunan tebu dan pabrik gula sama sekali tidak membawa manfaat bagi kehidupan para petani kecil setempat. Bahkan para petani kecil yang tadinya miskin, setelah ada perkebunan tebu yang ditanam oleh pabrik gula itu, jatuh menjadi buruh tani melarat yang hidupnya terikat oleh pabrik gula.
Tanah mereka disewa dengan paksa untuk ditanami tebu dengan harga sewa yang diterapkan sendiri oleh penyewa, yang rendah sekali. Proses penyewaan itu dilakukan melalui para pejabat lokal, pangreh praja, yang merupakan perpanjangan tangan Belanda, sehingga membuat rakyat tidak bisa berbuat apa-apa. Menariknya, hasil penelitian Natsir dilengkapi dengan data-data dan angka-angka statistik disertai dengan sumber-sumber yang meyakinkan (Ajip Rosidi, M. Natsir: Sebuah Biografi, 1989, hlm. 55-56).
Dalam
keterangan Lukman Hakim, penulis Biografi Mohammad Natsir: Kepribadian,
Pemikiran, dan Perjuangan (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2019, hlm. 18), sejak
Natsir menerima tugas tersebut, guru ilmu bumi ekonominya sudah terlihat
tersenyum sinis. Dan ketika Natsir membacakan karya tulis hasil penelitiannya
di depan kelas, gurunya menyimak dengan seksama kadang-kadang memperlihatkan
rasa tidak suka: tidak menyangka ada murid kelas lima AMS mengemukakan analisa
tajam mengenai sosio-ekonomi dalam Bahasa Belanda yang fasih.
Kaum Kromo dan Pendidikan
Sejak muda, Natsir memang telah menyadari ketimpangan yang terjadi antara kalangan bumiputera dan pemerintah serta perusahaan asing. Pada zaman itu, Natsir menyadari, bisa jadi kaum intelektual yang telah lulus dari sekolahnya kemudian masuk bekerja kepada pemerintah kolonial atau perusahaan asing, telah turut memeras kekayaan tanah air dan bangsanya sendiri.
Kaum Tani yang disebut “Kaum Kromo” disadari Natsir merupakan 70 persen dari penduduk Indonesia yang hidup dalam kekurangan. Kaum ini sering tidak mampu mencukupi kehidupannya sendiri. Timbulnya perkebunan dan industri yang diinisiasi oleh bangsa asing memperburuk kehidupan “Kaum Kromo” ini. Industrialisasi tidak mengajak “Kaum Kromo” sebagai mitra menumbuhkan ekonomi bersama, tetapi justru menjadikan mereka sebagai kuli di tanah sendiri.
Kaum kapitalis ini mengharapkan lingkaran kemiskinan ini terus terjadi pada ‘kaum kromo’. Mereka mengharapkan stagnasi kenaikan status sosial ekonomi dengan menjaga harga upah dan tidak adanya pendidikan untuk menaikkan derajat rakyat. Sedangkan, kaum terpelajar Indonesia sendiri, menurut Natsir, lebih suka mengemmukkan dompet orang asing asal dirinya senang.
Kenyataan ini, menggerakkan pikiran Natsir. Menariknya Natsir tidak lalu berpaling pada ide-ide nasionalis, bahkan marxis sekalipun. Dalam M. Natsir: Sebuah Biografi, tulisan Ajip Rosidi, Natsir justru mengharapkan peran pemimpin yang ikhlas mendidik jiwa, perasaan kemanusiaan yang sepenuh-penuhnya dalam dada kaum yang melarat itu. Peran kepemimpinan ini menurut Natsir dapat dilakukan oleh para mubaligh Islam yang selalu bergaul dengan rakyat.
Bagi Natsir, kaum mubaligh Islam Islam harus insaf terhadap dirinya sendiri bahwa mereka lebih dipercaya rakyat daripada para pejabat pemerintahan. Lagi pula mereka, menurut Natsir, lebih mudah mendalami hati rakyat dan lebih mudah memasukkan kebenaran ke dalam hati rakyat.
Natsir berseru, tidaklah cukup seorang mubaligh menyebut-nyebut ayat yang menyatakan bahwa nasib suatu kaum tidak akan berubah kecuali dengan usahanya sendiri. Mubaligh harus memperlihatkan ajaran dan contoh, bahwa jerih payah kita sendiri, tenaga kita sendiri, usaha kita sendirilah yang akan memperbaiki keadaan kita (Ajip Rosidi, M. Natsir …, hlm. 143)
Si Kromo harus menolong diri dan memperbaiki nasibnya sendiri. Bagaimana ia bisa menyadarinya? Inilah peran para mubaligh untuk memberikan kesempatan kepada mereka seluas-luasnya untuk menyadari dirinya sebagai manusia. Selama ini “kaum kromo” menerima keadaan tidak adil antara dirinya dan tuan-tuan Belanda serta babah-babah Cina merupakan sebuah takdir. Ini bertentangan dengan prinsip kemanusiaan dalam Islam.
Pikiran kebangsaan Natsir memperoleh jembatannya di sini. Natsir bukanlah intelektualyang memilih jalan mobilisasi massa untuk membangunkan kesadaran manusia. Jalan kebangsaan Natsir adalah jalan pengadaban manusia yang sering kita kenal dengan nama pendidikan.
Natsir mengharapkan kebangunan harga diri rakyat sebagai jalan kemanusiaan yang mendatangkan keadilan. Oleh karenanya, menurut Natsir, tidak ada jalan lain yang paling baik untuk membangunkan kesadaran akan harga diri itu kecuali pengenalan lebih dalam akan agamanya sendiri: Islam.
Dalam al-Qur’an, Natsir menegaskan, dengan tegas menyatakan bahwa setiap manusia sama kedudukannya, tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah. Menurut Natsir, kaum Muslimin bangsanya itu tidak tahu, atau kurang mendalam pengetahuannya tentang agamanya sendiri. Natsir menyadari, bahwa kurikulum seperti yang dilaksanakan di sekolah-sekolah bentukkan Belanda tidaklah memberi peluang bagi pelajar Muslimin untuk memperdalam pengetahuannya soal agama.
Alih-alih memperdalam, pengajaran di sekolah Belanda justru mendangkalkan pengetahuan bumiputera tentang agamanya sendiri. Kondisi inilah yang ia dapati pada kawan-kawan terpelajar sebangsanya: antara jatuh pada keegoisan identitas karena terpengaruh pendidikan Barat atau sikap menyepelekan dan menghina Islam, meskipun disadarinya mereka masih beragama Islam.
Sedangkan, Natsir juga menyadari surau-surau, madrasah-madrasah, dan pesantren-pesantren yang mendalam dalam pelajaran agama tidak memberikan bekal pengetahuan modern yang memadahi untuk menghadapi tantangan yang dihadapi dalam kehidupan kolonial Barat.
Ini yang kemudian menarik dalam pikiran Natsir, seorang intelektual muda yang pikirannya melampaui zamannya. Natsir menyimpulkan bahwa, harus ada bentuk pendidikan yang mengajarkan ilmu-ilmu modern, tetapi juga mendidikkan agama Islam kepada para pelajarnya supaya ketika mereka terjun ke dalam masyarakat, telah menjadi Muslim yang tahu harga diri dan kukuh tegak dalam menghadapi kehidupan modern dan tidak hanya menjadi korban bangsa asing seperti Belanda penjajah, Cina mindring, atau Arab riba!
Kaum Buruh Memperbaiki Kedudukannya
Corak pemikiran Natsir untuk “memperbaiki nasib” dan “mencapai kemerdekaan pada umumnya” untuk rakyat ini juga terlihat dalam kritiknya tentang Perjuangan Nasib Buruh. Dalam Capita Selecta 2, pandangan Natsir tentang nasib kaum jelata dan hubungannya dalam usaha memperbaiki kepincangan serta mencari keseimbangan masih tetap kokoh. Pada jilid I, Capita Selecta menghadirkan pandangan-pandangan Natsir pada era sebelum kemerdekaan, maka pada jilid II kapasitas pandangan Natsir sebagai seorang Negarawan yang menangkap persoalan ideologi sosial-ekonomi di tahun 50-an diperlihatkan.
Natsir menyadari revolusi nasional yang telah sampai pada tahun tersebut adalah saat yang tepat untuk sampai pada taraf kedaulatan. Sebagai hasil dari perjuangan di lapangan politik, dengan sendirinya perjuangan berpindah ke lapangan sosial dan ekonomi. Sebuah bangsa yang telah mencapai taraf ini terang akan menghadapi soal-soal agraria dan perburuhan yang telah lama berlangsung sejak zaman kolonial hingga harus selekasnya dicari penyelesaiannya.
Natsir melihat pemimpin-pemimpin kaum buruh menggunakan mobilisasi massa berupa pemogokkan-pemogokkan untuk mengajukan tuntutan-tuntutan buruh. Bagi Natsir, pemogokkan hanya akan mempertebal keyakinan kaum buruh bahwa pemogokkan adalah satu-satunya jalan untuk mencapai perbaikan nasibnya.
Dikarenakan pergolakkan itu menjadi suatu jalan bagi perjuangan kaum buruh, maka menurut Natsir “… menstimulir konflik antara buruh dan majikan setiap saat yang dikehendakinya, adalah sesuatu yang gampang sekali bagi orang-orang yang mempunyai kepentingan dalam terus-menerusnya ada kekacauan dalam produksi di Indonesia, dan agar tidak lekas tercapainya stabilisasi dalam soal perburuhan ini menurut cara-cara yang teratur.”
Masalah sosial ini tidak saja perlu diperbaiki dari satu pihak saja. Untuk memperbaiki kepincangan itu, tidak cukup diselesaikan dengan soal-soal materil dengan hanya menambah upah buruh. Natsir menyeru kepada kaum majikan agar para pemimpin modal tidak hanya memiliki kecakapan teknis dan produksi. Ia perlu pula memahami jiwa masyarakat, dan yang lebih penting: tak bisa lagi mempertahankan pandangan bahwa buruh hanyalah alat produksi.
“Soal nasib buruh bukanlah soal buruh semata-mata, akan tetapi berjalin dengan kepentingan majikan sendiri. Sewajarnya mereka aktif dan mengambil inisiatif untuk mencari jalanmemperbaiki kedudukan buruh.” Dengan adanya kesadaran tetang kedudukan itu, kaum buruh perlu menyadari bahwa kedudukannya bukan untuk ‘diperkuda-kuda’ oleh kapitalis-kapitalis. Tetapi juga bukan diperkuda-kuda oleh sentimen-sentimen yang menggelapkan mata, yang dikobarkan dan dikendalikan oleh orang yang perjuangannya ditujukan kepada buruh sebagai alat produksi.
Natsir menyerukan kepentingan pendidikan yang perlu digalakan oleh pemimpin kaum buruh untuk mendidik buruh supaya sadar akan harga dirinya sebagai manusia, di samping sadar pula akan tanggung jawabnya kepada masyarakat. Sehingga, Natsir mencapai kesimpulan:
“Tidak bisa, bila soal memperbaiki nasib buruh ini dilihat terlepas dari perjuangan menyusun sendi-sendi ekonomi dan sosial seluruhnya. Tidak bisa, bila memperjuangkan nasib buruh dianggap monopoli bagi buruh dan pemimpinnya semata-mata sedang pemerintah membatasi dirinya dengan campur tangan menyudahi tiap-tiap pemogokan dengan kata keputusannya. Tidak bisa, bila perjuangan nasib buruh ini dikendalikan oleh mereka yang bertaklid buta kepada dogma-dogma yang tua dan lapuk dogma “Verelendung” dari kelas buruh, yang diimpor dari negeri-negeri asing dan yang sudah lama tak laku lagi” (M. Natsir, “Perjuangan Nasib Buruh”, dalam Capita Selecta 2, Jakarta: Abadi dan Yayasan Capita Selecta, 2008, hlm. 236-246).
Mendayung di Tengah Dua Karang
Dalam menghadapi persoalan sosial dan ekonomi yang bersifat kebangsaan, M. Natsir menghindari penyelesaian yang bersifat ‘kebendaan’ atau materil. Natsir melihat persoalan-persoalan sosial-ekonomi ini harus dikembalikan pada kedudukan manusia itu sendiri. Berbeda dengan marxisme atau kapitalisme yang memandang manusia dalam segi materilnya, ajaran Islam melihat manusia dalam esensi jiwanya. Jiwa yang dimiliki manusia inilah yang menyebabkan manusia bukanlah sekedar makhluk materi.
Dalam sebuah pidato pada hari Muhammad Iqbal di tahun 1953, Natsir mengomentari sebuah puisi Iqbal yang juga perlu kita simak seksama:
….
Kau bersyerikat dengan benda
Dan mencintakan unsur dari hadirat Ilahi
Ilmu yang memecahkan soal demi soal benda
Tak memberikan padamu apa-apa kecuali mazhar perkisaran
Kematianmu mencanangkan kedatangan hidup untuk dunia
…
Keduanya berjiwa gelisah dan tak sabar menanti,
Keduanya orang asing bagi Ilahi dan penipu manusia
Yang satu diasuh ruh revolusi
Yang lain gemuk oleh penghasilan negara
Dan diantara kedua ini, dua batu kemanusiaan terlanda
….
Natsir berkomentar:
“Iqbal menegaskan bahwa kapitalisme Barat dan sosialisme Marx pada asasnya berdasarkan nilai-nilai kebendaan dari kehidupan dan kosong dalam warisan ruhaniah. Dianggapnya sosialisme Karl Marx sebagai suatu rencana yang berdasarkan kesamaan perut dan bukan kesamaan ruh. Demikian juga dilihatnya kapitalisme, imperialisme, kolonialisme dan rasialisme sebagai kegemukan jasad dan dinyatakannya penolakannya kepada semuanya itu ….”
Dengan demikian, kedua ideologi yang berdasarkan nilai-nilai kebendaan ini gagal mengenal wujud kemanusiaan manusia. Agamalah yang menemukan jalan sebagai “… pemimpin dan penuntun kepada orang-orang untuk mencapai perkembangan setinggi-tinggi mungkin dalam kemampuan-kemampuan ruhaniah, akhlak, intelek dan fisik. Selanjutnya fungsi Agama menetapkan, memelihara dan melaraskan hubungan antara Tuhan dan insan dan juga antara manusia dengan manusia” (M. Natsir, “Pidato pada Hari Iqbal”, dalam Capita Selecta 2 …, hlm. 148-149).
Oleh karenanya, tuntutan Islam, dalam pemikiran Natsir, dalam persoalan sosial dan ekonomi bukan saja berwujud keberhasilan materil dalam ukuran kemakmuran manusia. Tetapi kemakmuran yang sebenar-benarnya itu dapat dicapai dalam wujud meningkatkan kesadaran dan harga dirinya menurut kedudukannya yang tepat sebagai hamba Tuhan dan dengan sesama manusia. Kefahaman manusia terhadap kedudukannya inilah yang kemudian disebut Natsir “menghapuskan kepincangan-kepincangan” dan “mencari keseimbangan”.
Pesan dan pikiran Natsir ini bertahan melintasi zaman dan generasi. Dalam perjuangannya mengangkat harga diri umat Islam dan bangsanya, ia meninggalkan warisan penting: sebuah rumusan pengadaban yang perlu dipikirkan dan diperjuangkan oleh umat Islam dan bangsanya, bukan saja untuk mengangkat harga diri sosial-ekonomi, tapi sebagai manusia seutuhnya dengan kemanusiaannya. Wallahu a’lam.
Oleh: Ahda Abid al-Ghiffari – Guru Sejarah Ponpes at-Taqwa Depok