Situasi sosial Sumatra Barat sedang berubah di awal abad XX. Penduduk Minangkabau berkembang menjadi masyarakat yang secara intensif mengalami proses modernisasi. Dalam kerangka pembaharuan Islam masyarakat Minang tidak saja menyaksikan berdirinya lembaga-lembaga pendidikan modern menggantikan lembaga pendidikan tradisional sistem surau, namun juga tampilnya sejumlah ulama yang mengetengahkan pemikiran baru yang disemangati oleh perubahan dan modernisasi.[1]
Arus pembaharuan ini selain dimotori oleh Sekolah Adabiyah di Padang pada tahun 1909 dan Sumatra Thawalib di Padang Panjang – dan selanjutnya di beberapa kota lain di Sumatra Barat, juga diperkuat dengan kedatangan sejumlah ulama dari Timur Tengah. Penyebaran ide pembaharuan ini secara massif juga disuarakan melalui jurnal al-Munir (terbit tahun 1911-1916), menggantikan al-Imam yang sebelumnya terbit di Singapura.[2]
Rahmah adalah seorang berjiwa pejuang yang memiliki idealisme kokoh, cita-cita tinggi, dan pandangannya yang jauh ke depan. Ia berharap kedudukan kaum wanita dalam masyarakat tidak hanya sebagai istri yang akan melahirkan anak-anak dan keturunan semata, akan tetapi lebih dari itu dia menginginkan terangkatnya derajat kaum wanita ke tempat yang lebih wajar dan pantas. Wanita juga mampu memberikan peran dan kontribusi terhadap peradaban. Kaumnya harus mengerti hak dan kewajibannya sebagai seorang istri, sebagai seorang ibu dan sebagai anggota masyarakat. Kaum wanita harus dapat menjalankan peranannya sebagaimana yang telah digariskan oleh agama Islam.
Semua yang harus diketahui oleh kaum wanita itu tidak bisa terjadi secara serta-merta. Semuanya harus melalui pendidikan dan pengajaran, Wanita harus dituntut untuk terus belajar dan berupaya untuk memahami persoalan yang ada di sekitar mereka. Selama mereka masih berada dalam kebodohan, maka nasib kaum wanita itu tidak akan berubah. Oleh karena itu Rahmah berpendapat bahwa wanita itu harus mendapatkan akses pendidikan, sebagaimana kaum pria mendapatkan kesempatan yang sama. Hak untuk mempunyai ilmu pengetahuan dan pendidikan antara pria dan wanita adalah sama.
Sistem pendidikan yang sebelumnya bercorak tradisional kurang memberikan akses bagi perempuan. Selain itu kurang penekanannya terhadap akses untuk masuk dunia kerja dan kesempatan lain. Dalam situasi masyarakat yang sedang bertumbuh inilah Rahmah El-Yunusiah tergugah untuk berkiprah. Ia menaruh perhatian khusus terhadap pendidikan kaum perempuan. Ia menyadari bahwa pendidikan menjadi sarana utama bagi peningkatan posisi kaumnya.
Tidak diragukan lagi, Rahmah El-Yunusiah merupakan salah satu tokoh yang menggagas pendidikan untuk kaum perempuan. Ia sendiri berjuang untuk mewujudkan gagasan tersebut melalui berbagai upaya yang ditempuh. Makalah ini disajikan untuk menjawab pertanyaan: Bagaimana konsep dan corak pendidikan Rahmah El-Yunusiah ?
Riwayat Hidup
Rahmah El-Yunusiah lahir Padang, Sumatra Barat pada 1 Rajab 1318 Hijriyah atau 29 Desember 1900. Rahmah adalah anak bungsu dari empat bersaudara dari pasangan Syaikh Muhammad Yunus (dari Pandai Sikat) dan Rafi’ah (dari Si Kumbang). Jadi dari sisi silsilah, Rahmah berasal dari suku Sikumbang. Ayahnya adalah seorang qadhi dan ahli ilmu falak di Pandai Sikat. Sedangkan kakeknya adalah Syaikh Imaduddin, ulama dan tokoh tarekat Naqsyabandi yang terkenal di Tanah Minang.[3]
Pendidikannya ia dapatkan dari ayahnya. Namun hal ini hanya berlangsung singkat karena ayahnya meninggal saat ia masih muda. Kakak-kakaknya yang telah dewasa kemudian melanjutkan bimbingan kepada Rahmah. Awalnya ia belajar membaca dan menulis pada kedua kakaknya yakni Zainuddin Labay El-Yunusiy dan M. Rasyad. Zainuddin adalah salah seorang tokoh pembaharu di Sumatra Barat. Zainuddin Labay sendiri adalah pendiri Diniyat School di Sumatra. Kakaknya itu menguasai beberapa bahasa asing seperti Inggris, Arab, dan Belanda sehingga banyak membantu Rahmah mengakses sejumlah literatur asing. Rahmah sangat menyegani dan mengagumi kakaknya ini. Baginya Labay adalah seorang pemberi inspirasi, pendukung cita-cita, dan seorang guru baginya.
Rahmah hanya belajar selama 3 tahun di tingkat sekolah dasar. Ia merasa pendidikan ini kurang mencukupi bagi perkembangan dirinya. Menurutnya, pendidikan seperti ini kurang terbuka kepada siswa putri mengenai persoalan khusus perempuan. Oleh karena itu ia kemudian juga belajar pada sejumlah ulama di Minangkabau, seperti Haji Karim Amrullah (ayah Buya Hamka), Tuanku Mudo Abdul Hamid Hakim (pemimpin sekolah Thawalib Padang-Panjang), Syaikh Muhammad Jamil Jambek, Syaikh Abdul Latif Rasyidi, dan Syaikh Daud Rasyidi.
Rahmah el-Yunusiah menjalani hidupnya dengan perjuangan untuk mengentaskan kaum perempuan. Ia hidup hingga usia 68 tahun lewat 2 bulan. Tepat pada jam 18.00 tanggal Rabu tanggal 9 Zulhijjah 1388 H atau 26 Februari 1969, pelopor pendidikan kaum perempuan itu wafat. Jenazahnya dikuburkan di perkuburan keluarga di samping rumahnya yang juga di samping Perguruan yang ia dirikan. Setiap orang yang melewati rumah dan perguruannya akan dapat melihat nisan kuburannya di pinggir jalan Lubuk Mata Kucing. Ia merupakan satu-satunya syaikhah Indonesia yang diakui oleh dunia.
Kiprah Pendidikan Rahmah
Keluarga yang memiliki latar belakang taat beragama dan aktif dalam gerakan pembaharuan menjadi ladang bagi bersemainya kesadaran pembaharuan dalam diri Rahmah. Ia menilai bahwa kaum perempuan sebagai tiang negara mestinya mendapatkan pendidikan yang baik sebagai halnya kaum lelaki. Keterbelakangan pendidikan kaum perempuan ini menurutnya berakar dari persoalan pendidikan dan melalui bidang ini dapat terselesaikan. Rahmah El-Yunusiah menulis:
“Diniyah School Puteri ini selalu akan mengikhtiarkan penerangan agama dan meluaskan kemajuannya kepada perempuan-perempuan yang selama ini susah mendapatkan penerangan agama Islam dengan secukupnya daripada kaum lelaki … inilah yang menyebabkan terjauhnya perempuan Islam daripada penerangan agamanya sehingga menjadikan kaum perempuan itu rendam karam ke dalam kejahilan”.[4]
Rahmah El-Yunusiah merupakan pendiri perguruan untuk wanita Islam pertama di Indonesia yakni Madrasah Diniyah Puteri (Madrasah Diniyah li al-Banat) di Padang Panjang, Sumatra Barat. Madrasah ini didirikannya pada tanggal 1 November 1923.
Semangat untuk mengangkat harkat kaum muslimah ini rupanya telah terpatri dengan mendapat landasan yang kokoh dalam ajaran Islam yang secara tegas menyebutkan: “Menuntut ilmu itu wajib bagi tiap-tiap orang Islam laki-laki dan perempuan”. Jika kaum perempuan tidak mendapatkan ilmu yang memadai, maka bahaya akan datang dalam lingkungan masyarakat. Namun jika pendidikan yang diberikan kepada mereka itu keliru, maka tidak sedikit pula malapetaka yang akan menimpa bagi segenap masyarakat manusia. Berhubung dengan itu maka pendidikan terhadap kaum wanita hendaknya disertai dengan berbagai macam kebijaksanaan, tidak boleh dilakukan secara serampangan.[5]
Oleh karena itu maka Rahmah El-Yunusiah berupaya untuk menggunakan landasan ideal dari pelaksanaa cita-citanya yaitu berpegang kepada Al-Qur`an dan As-sunnah. Sedangkan tujuan pendidikan Diniyah Puteri yang ia kembangkan adalah sebagai berikut: “Membentuk puteri yang berjiwa Islam dan ibu pendidik yang cakap dan aktif serta betanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air atas dasar pengabdian Allah subhanahu wata’ala”.
Selain itu ia juga mendirikan lembaga pendidikan untuk kaum ibu yang belum bisa baca tulis, Menyesal School. Pendirian sekolah untuk kaum ibu ini tetap berjalan meski mendapat cemoohan. Pandangan sebagian masyarakat adat Minang pada masa itu memang agak memarginalkan kaum perempuan. Bagi mereka perempuan tidak layak berkutat pada buku, melainkan berhabitat di dapur. Menyesal School ini terpaksa dihentikan karena tempat yang diperuntukkan untuk pengajarannya rusak akibat gempa bumi pada tahun 1926.[6]
Untuk mengembangkan pengetahuannya tentang kurikulum sekolah, Rahmah melakukan studi banding melalui kunjungan-kunjungan sekolah ke Sumatera dan Jawa (1931). Selanjunya ia juga mendirikan Freubel School (Taman Kanak-kanak), Junior School (setingkat HIS). Sekolah Diniyah Putri sendiri diselenggarakan selama 7 tahun secara berjenjang dari tingkat Ibtidaiyah (4 tahun) dan Tsanawiyah (3 tahun). Pada tahun 1937 berdiri program Kulliyat al-Mu’alimat al-Islamiyah (3 tahun) yang diperuntukkan bagi calon guru. Ia juga memiliki peran dalam pendirian Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Sumatra Barat.[7]
Rahmah El Yunusiyah juga aktif dalam pergerakan menentang praktik-praktik penindasan ataupun pergerakan oleh penjajah Belanda. Hal itu dilakukan antara lain dengan mendirikan Perserikatan Guru-Guru Poetri Islam di Bukittinggi, menjadi ketua panitia penolakan Kawin Bercatat, dan ketua Penolakan Organisasi Sekolah Liar. Pada tahun 1933 Rahmah El Yunusiyah memimpin rapat umum kaum ibu di Padang Panjang, hal ini menyababkan dia didenda pemerintah Belanda 100 gulden karena dituduh membicarakan politik.[8]
Rahmah El Yunusiyah juga pernah menjadi anggota pergurus Serikat Kaum Ibu Sumatra (GKIS) Padang Panjang, organisasi yang itu berjuang menegakkan harkat kaum wanita dengan menerbitkan majalah bulanan. Aktivitasnya yang lain adalah mendirikan Khuttub Khannah ( taman bacaan) untuk masyarakat.
Pada tahun 1935 Rahmah El Yunusiah sempat mewakili kaum ibu Sumatra Tengah dalam kongres perempuan yang diselenggarakan di Jakarta. Dalam kongres ini Rahmah El Yunusiyah bersama Ratna Sari memperjuangkan kaum wanita Indonesia untuk memakai selendang. Selesai kongres ia tinggal di Jakarta agak lama untuk mendirikan pendidikan untuk kaum putri di Gang Nangka, Kwitang, Kebon Kacang, Tanah Abang, Jatinegara, dan jalan Johar di Rawasari.[9]
Rahmah sendiri merupakan pribadi yang giat mencari ilmu. Selain belajar agama kepada sejumlah ulama, ia juga mempelajari dan menekuni berbagai ketrampilan yang mestinya dimiliki oleh kaum perempuan. Memasak, menenun, dan menjahit merupakan keterampilan yang ia miliki. Ia juga berupaya menularkan ketrampilan ini kepada kaum perempuan yang ada di sekitarnya. Bahkan Rahmah kemudian mendirikan sebuah sekolah kejuruan yakni,sekolah tenun pada tahun 1936. Untuk memenuhi tenaga pengajar perempuan, Rahmah mendirikan sebuah sekolah guru untuk perempuan pada tahun 1937.
Dalam masa penjajahan Jepang ia turut menentang sejumlah kebijakan yang ditelorkan oleh Tentara Jepang. Rahmah bersama para rekannya menggawangi berdirinya organisasi sosial politik yang dinamakan “Anggota Daerah Ibu” (ADI) di Sumatera Tengah. Tujuan pendirian ADI ini adalah untuk menentang aktivitas pengerahan kaum perempuan Indonesia terutama di Sumatera Tengah sebagai jugun ianfu (perempuan penghibur) bagi tentara Jepang.
Berkat keaktifannya, nama Rahmah El-Yunusiah cepat dikenal secara luas dikalangan pergerakan di Jawa. Sampai-sampai setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, Presiden Soekarno memasukkan namanya sebagai Anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Namun Rahmah batal pergi ke Jakarta karena tak bisa meninggalkan ibunya yang sedang sakit di Padang Panjang
Jiwa patriot seorang Rahmah El-Yunusiah tergerak tatkala mendengar berita proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Kebeteluan ia merupakan anggota Chuo Sang In yang diketuai Engku Syafe’i sehingga mudah mengakses berita-berita tentang perubahan konstelasi politik di tanah air. Segera ia mengibarkan bendera merah putih di sekolahnya.Konon ia adalah orang yang pertama kali mengibarkan bendera merah putih untuk menyambut kemerdekaan di Sumatra Barat. Hal itu terjadi karena jaringan komunikasi saat itu masih banyak dikuasai oleh Jepang sehingga kaum muslimin masing jarang yang bisa mengakses. Begitu bendera berkibar di Perguruan Diniyah Puteri, lantas aktivitas ini diikuti oleh massa yang mengibarkan bendera di kantor-kantor layanan public. Tentara Jepang tidak mampu memberi tindakan atas gerakan masyarakat Minang ini. Meski demikian masyarakat telah siap dengan berbagai kemungkinan yang bisa saja terjadi.[10]
Dalam peran sertanya memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, Rahmah El-Yunusiah terjun dalam berbagai kegiatan. Antara lain terlibat langsung dalam berbagai aktivitas sebagai berikut:
Pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Sumatra Barat. Anggotanya terdiri dari pemuda-pemuda yang telah terlatih dalam lascar Gyu Gun Ko En Kai (laskar rakyat) yang sebelumnya dibentuk oleh Jepang. Dapur asrama dan harta miliknya direlakan untuk pembinaan TKR yang rata-rata masih muda usia.
- Rahmah sendiri ditunjuk menjadi ketua Haha no Kai (organisasi perempuan) di Padang Panjang, untuk membantu pemuda-pemuda indonesia yang terhimpun dalam Gyu Gun (laskar rakyat) agar mereka kelak dapat dimanfaatkan dalam perang revolusi perjuangan bangsa.
- Ikut mengayomi laskar-laskar barisan Islam yang dibentuk oleh sejumlah organisasi Islam pada waktu itu seperti Laskar Sabilillah dan Laskar Hizbulwathan. Oleh karena itulah para pemuda pada masa itu menjuluki Rahmah El-Yunusiah sebagai “ibu kandung perjuangan”.
- Semasa perang asia-pasifik, gedung sekolah Diniyah Putri dua kali dijadikan rumah sakit darurat untuk menampung korban kecelakaan kereta api. Atas peristiwa ini Diniyah School Putri mendapat Piagam Penghargaan dari Pemerintah Jepang.[11]
Rahmah juga tercatat sebagai salah seorang pendiri partai Masyumi di Minangkabau. Rahmah cukup aktif dalam mengembangkan Masyumi. Sampai pada pemilu tahun 1955, Rahmah dicalonkan oleh partainya dan terpilih menjadi anggota Parlemen (DPR) mewakili Sumatra Tengah (1955-1958).
Upaya pengembangan pendidikan yang dilakukan Rahmah selanjutnya adalah merintis program pendidikan tingkat perguruan tinggi. Sejak 1964, Rahmah telah merintis pendirian Fakultas Tarbiyah dan Fakultas Dakwah. Tiga tahun kemudian, tepatnya pada 22 November 1967, kedua fakultas tersebut diresmikan oleh Gubernur Sumatera Barat waktu itu, Prof. Drs. Harun Zein.
Upaya-upaya Rahmah dalam mendirikan dan mengembangkan Diniyah School Puteri, yang bertujuan untuk mencerdaskan kaum perempuan mendapatkan perhatian secara khusus dari dunia Islam. Keberhasilan Rahmah ini menarik perhatian Syaikh Abdurrahman Taj, Rektor Universitas al-Azhar Cairo Mesir. Bahkan pada tahun 1955, Syaikh Abdurrahman mengadakan kunjungan ke sekolah yang terletak di Padang Panjang ini. Beliau tertarik dengan sistem pembelajaran khusus yang diterapkan kepada putri-putri Islam di Indonesia. Ia banyak menimba pengalaman dari sekolah yang didirikan Rahmah. Pada waktu itu, al-Azhar belum memiliki lembaga pendidikan khusus bagi kaum perempuan. Tak lama setelah kunjungan, Universitas Al Azhar membuka pendidikan khusus perempuan yang bernama kulliyyât al-banât.
Sebagai rasa terima kasih, Syaikh Abdurrahman mengundang Rahmah ke Universitas al-Azhar. Tahun 1957 Rahmah menunaikan haji, dan pulangnya mampir ke Kairo untuk menghadiri undangan Sang Rektor. Tak diduga sebelumnya, Rahmah ternyata mendapat anugrah berupa gelar Syaikhah oleh Universitas itu. Pemberian gelar ini belum pernah diberikan kepada siapa pun sebelumnya. Gelar yang baru disandangnya itu setara dengan gelar Syeikh Mahmoud Syalthout, salah seorang mantan rektor al-Azhar.
Keterpautannya dengan pendidikan kaum perempuan nampak telah mengurat dalam nadinya. Ia yakin hal ini merupakan bagian dari dakwah yang menjadi tanggung jawabnya untuk menjadikan kaum perempuan setara dengan kaum lelaki dalam mengakses berbagai bidang keilmuan. Bahkan sehari menjelang akhir hayatnya yaitu tanggal 25 Februari 1969 ia masih sempat meminta perhatian kepada Harun Zein, Gubernur Sumatra Barat, dalam suatu pembicaraan yang ia sampaikan: “Nafas saya sudah hampir habis dan kepada bapak Gubernur saya mintakan perhatian atas sekolah saya”. Hal ini ditanggapi oleh Gubernur sebagai sebuah wasiat.[12]
Aktivitas Rahmah El-Yunusiah dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia telah mendapatkan pengakuan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebelumnya usulan untuk memasukkan sosok Rahmah El-Yunusiah ke dalam deretan nama Pahlawan Indonesia telah mengalami kegagalan. Atas usulan dan usaha Kongres Wanita Indonesia (KOWANI) yang merupakan federasi 55 organisasi wanita di Indonesia, akhirnya Rahmah El Yunusiah resmi menjadi salah satu Pahlawan Indonesia.[13]
Corak dan Konsep Pendidikan
Usaha-usaha Rahmah El Yunusiah dalam memperjuangkan pendidikan untuk kaum perempuan, tidak diragukan lagi, bercorak agamis. Ia menggunakan ajaran Islam sebagai landasan perjuangannya. Al Qur’an dan Ash Shunnah ia tampilkan sebagai madah perjuangan yang harus diaplikasikan dalam gagasan dan aktivitasnya terkait bidang pendidikan. Dengan dasar agama ini pula ia ingin agar kaum perempuan bisa menjadi mitra yang sejajar bagi kaum lelaki dalam menjalani kehidupan berdasarkan ajaran Islam.
Corak agamis yang dimiliki Rahmah El-Yunusiah ini terbentuk melalui interaksi secara intensif dengan kebudayaan dimana ia hidup. Keluarga secara khusus dan alam Minangkabau secara umum telah memberi banyak dasar bagi Rahmah untuk menjadi sosok yang agamis dan menggunakan agama sebagai tuntunan hidup.
Dari sisi keluarga, ia menyerap sebuah semangat baru yang digambarkan sebagai bentuk “pembaharuan” Islam di Sumatra Barat. Kakaknya – Zainuddin Labay El-Yunusiy, sebagai sosok pengganti orang tua dan sekaligus guru baginya, merupakan pendiri Sekolah Adab dimana gagasan-gagasan pembaharuan pendidikan Islam banyak ia kembangkan untuk mengatasi berbagai persoalan yang ada dalam sistem pendidikan lama yang berkutat di sekitar surau. Dari sang kakak inilah Rahmah El-Yunusiah menyerap pemikiran baru yang kemudian ia kembangkan lebih lanjut menjadi ide dan aktivitas pendidikan yang berupa mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan.
Rahmah El Yunusiah sendiri juga banyak berguru pada sejumlah ulama yang mengampu kajiannya berbasis surau. Dengan demikian, Rahmah boleh dikatakan merupakan sosok yang mengalami dua model pendidikan sekaligus yaitu pendidikan surau yang bersifat tradisional dan melalui madrasah yang dianggap lebih “modern”. Berada pada dua model pendidikan itu sendiri membuat Rahmah bisa menyelami kelebihan dan kekurangan masing-masing entitas. Oleh karena itu meskipun pada akhirnya Rahmah El-Yunusiah mengambil sistem pendidikan Madrasah, ia tetap mengembangkan gagasan-gagasan dan aktivitas-aktivitas posistif yang ia dapatkan dari sistem surau. Dengan demikian surau sebagai lingkungan pendidikan tidak ditinggalkan dalam gagasan pendidikan Rahmah.
Kata “surau” sendiri diduga berasal bahasa sansekerta swarwa yang artinya segala, semua, macam-macam. Hal ini berarti surau yang telah ada sejah era Indianisasi merupakan sebuah pusat pendidikan dan pelatihan. Jelas awalnya surau memiliki latar belakang Hindu-Budha. Awalnya Surau menjadi tempat peribadatan, pertemuan warga, dan untuk belajar pengetahuan agama maupun ketrampilan tertentu.[14]
Setelah mengalami proses Islamisasi, satu-satunya fungsi surau yang berubah adalah hal yang terkait dengan pengaruh keagamaannya. Surau di Mingangkabau berada di dalam struktur kepemimpinan adat yang terdiri dari: imam, khatib, bilal, amil (zakat), dan jamaah, yang dalam bahasa Minang dikatakan “Urang nan ampek jinih (penghulu, manti, malin, dubalang) berada di malin.”[15] Dari sini dapat diketahui bahwa surau memiliki fungsi sebagai lembaga pengembangan dakwah Islam dan menjadi salah satu lembaga kemasyarakatan yang penting peranannya bagi rakyat Minangkabau.
Penduduk Minang, dimana Rahmah El-Yunusiah tumbuh juga dikenal sebagai masyarakat yang agamis. Masyarakat ini memang pernah terbelah dalam era Perang Padri (1821-1837), dimana terjadi konflik antara kelompok pemangku adat yang ingin melestarikan tradisi lama – berlawanan dengan kaum padri yang ingin mengembangkan kehidupan keagamaan secara totalitas. Rekonsiliasi terjadi pada tahun 1840 setelah kedua belah pihak menyadari kekeliruannya. Kesepakatan kedua belah pihak dikukuhkan dalam bai’at yang dikenal dengan nama Piagam Bukit Marapalam yang isinya mengaskan bahwa adeik basandi syara’- syara’ basandi kitabullah (Adat bersendi syara’ – Syara’ bersendi kitabullah). Syara’ yang dimaksud adalah ajaran Islam dan kitabullah menunjuk pada Al Qur’an. Ungkapan yang dihasilkan dalam kesepakatan ini, lagi-lagi ini menunjukkan bahwa pada dasarnya masyarakat Minang adalah religius.[16]
Meskipun Rahmah El-Yunusiah sempat mengenyam pendidikan agama dari model Surau, namun tetap saja perempuan memiliki keterbatasan dalam lingkungan pendidikan yang terakhir ini. Perempuan tidak bisa sebebas kaum laki-laki dalam menuntut ilmu di Surau. Kaum lelaki Minang memang dikenal sangat santun terhadap kaum wanita. Bahkan menjadi aib apabila ada seorang pria tidur di rumah, sementara di rumah yang sama saudara wanitanya juga tidur. Wanita juga mendapat kekhususan yang lebih utama dari laki-laki dalam hal harta pusaka (warisan). Alam Minang sendiri mengenal tradisi matrilineal, dimana kaum perempuan dianggap memiliki keutamaan dalam hal tertentu.[17] Meskipun demikian akses perempuan untuk mendapat ilmu agama tetap terbatas.
Keterbatasan dalam hal akses keilmuan inilah yang nampaknya mendorong Rahmah ikut terlibat dalam arus “pembaharuan” bagi kaum perempuan. Meskipun demikian Rahmah nampaknya tidak memiliki gagasan bahwa kondisi keterbelakangan kaumnya ini terjadi sebagai akibat kondisi sosial yang cenderung patriarkhis atau bahkan buah penindasan yang terjadi karena kaum lelaki. Pijakan awal pembaharuan yang dibawa oleh Rahmah dalam konsepnya tentang pendidikan kaum perempuan jelas berbeda dengan asumsi dasar kaum feminis yang menganggap bahwa kaum perempuan mengalami diskriminasi.[18]
Apalagi dengan melihat kembali budaya alam Minangkabau yang dari beberapa sisi cenderung memuliakan kaum perempuan, maka perbedaan antara kesadaran awal Rahmah El-Yunusiah dengan asumsi feminisme semakin kentara. Wacana yang diusung Rahmah El-Yunusiah bukanlah upaya “membebaskan” atau bahkan “memerdekakan” sebagaimana yang ada dalam konsep emansipasi Barat, sebab hakikatnya wanita di ranah Minang memang tidak dalam kondisi diperbudak atau terjajah oleh pria. Ia hanya menginginkan agar wanita mendapatkan posisinya sebagaimana ajaran Islam menempatkan kaum perempuan.
Pandangan Rahmah El-Yunusiah terhadap perempuan terlihat jelas bertolak dari ajaran Islam. Fakta sosial tentang adanya ketimpangan atau penindasan yang kadang terjadi di kalangan masyarakat Islam lebih banyak terjadi disebabkan oleh praktik dan tradisi masyarakat yang bersangkutan, ketimbang oleh ajaran Islam. Pandangan demikian tentu berbeda dengan konsep kesetaraan gender yang dipahami oleh kalangan feminis radikal yang menganggap bahwa ajaran Islam adalah sumber budaya patriarkhis, oleh karena itu ajaran Islam itu sendiri adalah salah karena menampakkan misogyny (bias gender) dan harus dikoreksi.[19]
Rahmah menilai bahwa posisi kaum perempuan dalam Islam cukup sentral, dalam hal ini tidak ada perbedaan dengan kaum laki-laki. Perbedaan peran memungkinkan terjadi, namun hal ini bukan merupakan wilayah yang kemudian dijadikan pembenaran sebagai bukti adanya suatu diskriminasi. Ia hanya berupaya memperbaiki kondisi kaumnya melalui bidang pendidikan, sebab menurutnya wanita pada akhirnya akan berperan sebagai seorang ibu. Ibu merupakan madrasah awal bagi anak-anaknya sebelum terhubung dengan alam pandang (worldview) yang lebih luas di lingkungan sekitarnya. Melalui ibu inilah corak pandang dan kepribadian awal seorang anak akan terbentuk. Oleh karena itu menjadi penting bagi Rahmah untuk memberikan bekal bagi kaum perempuan ilmu-ilmu agama dan ilmu terkait lainnya sehingga bisa memiliki pengetahuan yang sama dengan mitra sejajarnya, kaum lelaki. Di sini pula akan terbentuk pandangan bahwa wanita merupakan tiang negara.
Kajian ilmiah modern dan data-data akurat telah mengungkapkan bahwa ibu memegang peranan sangat penting dalam perkembangan anak-anak. Perkembangan ini mencakup badan, kesehatan, kemampuan intelektualitas, serta perkembangan kejiwaan dan perilakunya, hingga hal-hal yang lainnya.[20] Intinya ibu memiliki peran tertentu dalam mendidik anak-anak, termasuk dalam pemahaman keagamaan. Pada wilayah inilah nampaknya Rahmah El-Yunusiah bergerak, tentu saja terlepas dari fakta hasil kajian ilmiah modern dan data-data terkait yang baru ada setelah masa sesudahnya.
Dilihat dari aktivitas yang dilakukannya, nampaknya Rahmah El-Yunusiah ingin menerapkan “pembelajaran sepanjang hayat” dalam konsep pendidikan yang digagasnya. Hal ini tercermin dalam model pendidikan yang dimulai dari masa anak-anak dengan mendirikan Freubel School (semacam Taman Kanak-kanak). Ia kemudian juga menggagas pendidikan lanjutannya berupa Junior School (setingkat HIS), Madrasah Diniyah Putri yang mencakup Ibtidaiyah danTsanawiyah, dan program untuk calon guru Kulliyat al Mu’alimat al-Islamiyah.
Pada masa selanjutnya, Rahmah pun mengagas pendirian perguruan tinggi untuk kaum perempuan. Perguruan tinggi ini hanya terdiri dari satu fakultas yakni Fakultas Dirasah Islamiyah. Bagi ibu-ibu yang tidak terjaring dalam pendidikan formal dan belum bisa membaca atau menulis, Rahmah pernah mendirikan Menyesal School. Ia juga sempat menggagas semacam sekolah kejuruan yakni, sekolah tenun. Nampak bahwa ia menyediakan lapangan yang luas bagi kaum perempuan yang ingin mengamalkan ajaran Rasulullah bahwa menuntut ilmu itu tidak sekedar “kewajiban bagi kaum muslimin dan muslimat”, namun juga “menuntut ilmu itu dari buaian sampai liang lahat”.
Corak agamis konsep pendidikan Rahmah El-Yunusiah teruji ketika institusi pendidikannya agak terseret dalam puasaran arus politik. Rasuna Said, seorang politikus perempuan yang populer di Minangkabau, pernah tergabung dalam institusi pendidikan Rahmah El-Yunusiah. Disebabkan kepopuleran Rasuna Said ini, sebagian dari murid-murid Rahmah ada yang tertarik dalam kegiatan politik. Akibat arus politik tersebut, Rahmah mengamati bahwa sejumlah peraturan yang dikeluarkan terkait pelaksanaan kewajiban agama di sekolahnya, seperti pelaksanaan shalat, sering diabaikan. Rahmah kemudian mengadakan pertemuan dengan Rasuna untuk membicarakan permasalahan namun tanpa hasil yang berarti. Sebuah panitia yang diketuai Inyik Basa Bandaro kemudian dibentuk sebagai perantara. Mereka juga menyadari bahwa institusi pendidikan Rahmah pada masa itu mengalami kemunduran dalam aktivitas agama akibat terbawa urusan politik. Panitia yang terbentuk akhirnya menyetujui Rahmah. Kebijakan dalam mengemudikan sekolah haruslah terletak pada pendiri atau direktur sekolah. Oleh karena itu Rasuna Said menarik diri dan pindah dari Padang.[21]
Dari peristiwa ini dapat dipahami bahwa Rahmah El-Yunusiah sangat memperhatikan dan menekankan penanaman nilai-nilai agama dalam konsep pendidikan yang ia gagas. Hal ini bukan berarti ia menganggap aktivitas politik tidak penting. Ia sendiri merupakan praktisi politik dimasanya. Ia mengamati bahwa pemimpin-pemimpin politik di Minangkabau terdiri daro orang-orang yang dimasa mudanya tidak mendapat pendidikan politik, tetapi telah mengenyam pendidikan agama di lembaga-lembaga yang mereka masuki. Dari sini Rahmah menyimpulkan bahwa para murid tidak perlu secara khusus diberikan pelajaran yang menekankan pada teori atau praktik politik.[22]
Penutup
Dari pembahasan di atas dapat di ambil berbagai kesimpulan terkait pribadi wanita pejuang Rahmah El-Yunusiah sebagai berikut:
Pertama, Rahmah El-Yunusiah merupakan tipologi wanita yang pantang menyerah. Dalam kasusnya terkait akses kaum perempuan yang terbatas untuk menikmati dunia pendidikan, ia merupakan salah satu pendobrak tradisi yang berhasil. Ia sendiri hanya berhasil mendapat pendidikan dasar, namun kemauannya belajar dan keinginannya untuk memajukan kaumnya telah mengantarkan dirinya mampu menciptakan kesempatan bagi kaumnya untuk mendapat akses yang sama dengan kaum lelaki dalam mereguk ilmu.
Kedua, Rahmah El-Yunusiah adalah wanita pertama yang mendirikan sekolah khusus untuk kaum perempuan. Berkat prestasinya ini bahkan Universitas Al-Azhar tidak bisa tidak harus mengakui kepeloporannya dan mengikuti jejaknya dengan membuka program kulliyyât al-banât di Mesir. Ia juga merupakan orang yang pertama mendirikan layanan kesehatan (Rumah Sakit) khusus untuk kalangan perempuan.
Ketiga, Sebagai seorang pejuang ia memiliki jiwa dan semangat perjuangan yang kuat. Hal ini terbukti dari keikutsertaannya dalam barisan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ia juga turut hadir dan menyumbang peran dalam berbagai aktivitas yang bermanfaat bagi perjuangan dan hajat kaum muslimin.
Keempat, Atas kiprah dalam lapangan keilmuan dan lapangan lainnya ia telah mendapat penghargaan yang selayaknya diperoleh. Ia mendapat gelar (honoris causa) “Syaikhah” dari Universitas Al-Azhar, Mesir atas perhatiannya dalam memajukan pendidikan kaumnya. Pemberian gelar ini belum pernah diberikan kepada siapa pun sebelumnya.
Kelima, corak perjuangan Rahmah El-Yunusiah bersifat agamis dimana ia menggunakan ajaran Islam sebagai dasar dan penegakannya menjadi cita-cita perjuangan. Dengan perjuangan ini ia mengharapkan kaum wanita akan bisa mengembangkan peran yang lebih baik sebagai mitra sejajar kaum pria. Peran perempuan bahkan cukup sentral dalam pembentukan awal sikap mental dan kepribadian generasi baru di lingkungan keluarga karena ia bergerak dalam wilayah domestik tersebut. Dalam kancah aktivitas yang lebih luas kaum perempuan pun tak kurang perannya. Penyiapan kaum perempuan secara kontinu akan membentuk mereka dalam menyiapkan kaum ibu sebagai tiang negara dan pendidik bangsa.
Dari kisah kehidupannya dapat diketahui bahwa Rahmah El-Yunusiah merupakan pejuang perempuan dengan motivasi yang tinggi dan pantang menyerah dalam memperjuangkan pendidikan kaum perempuan. Ia berjuang berdasarkan ide-ide yang ia yakini yang bersumber dari ajaran Islam yang berlandaskan Al Quran dan As-Shunnah. Pejuang tangguh selalu mewariskan nilai dan semangat yang bisa diteladani oleh generasi sesudahnya. Rahmah El-Yunusiah sendiri telah memberikan sebagian bukti bahwa harkat dan martabat manusia bisa terangkat ketika mereka menyadari tentang pentingnya ajaran agama diamalkan secara konsekuen.[]
Tulisan diambil dari www.susiyanto.com dengan seizin penulis
[1] Jajat Burhanudin dan Oman Fathurrahman (ed.), Tentang Perempuan Islam: Wacana dan Gerakan, Gramedia, Jakarta, 2004, hlm. 19; Dalam catatan A.A. Navis, pembaharuan Islam di Minangkabau terjadi dalam 3 gelombang. Gelombang pertama, datang dari kalangan padri, yang diarsiteki oleh 3 serangkai haji yakni Haji Miskin, Haji Piobang, dan Haji Sumanik. Gelombang kedua, datang setelah gerakan kaum padri ini kandas dalam perjuangan melawan senjata modern selama 34 tahun. Gelombang pembaharuan kedua yang berasal dari Makkah ini ditandai dengan penyebaran Tarekat Naqsyabandiyah secara massif di bawah pimpinan Tuanku Ismail dari Simabur, yang kemudian bergelar Syaikh Ismail Simabur. Lima puluh tahun kemudian, muncul gelombang ketiga yang lagi-lagi digagas oleh 3 serangkai haji yang terdiri dari H. Abdullah Ahmad, H. Abdul Karim Amrullah, dan H. Muhammad Jamil Jambek. Golongan ini menamakan diri sebagai “kalangan muda” yang ingin memebrsihkan Islam dari pengaruh mistik dan tarikat. Lihat A.A. Navis, Alur Kebudayaan dalam Tingkah Laku Gerakan Politik di Minangkabau, dalam Jurnal Analisis Kebudayaan No. 1 Tahun III/ 1982-1983, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, hlm. 76
[2] Jajat Burhanudin dan Oman Fathurrahman (ed.), Tentang Perempuan Islam …, hlm, 19-20
[3] Aminuddin Rasyad, et. all, H.Rahmah El Yunusiyyah dan Zainuddin Labay El-Yunusy: Dua Tokoh Bersaudara Tokoh Pembaharu Sistem Pendidikan di Indonesia Riwayat Hidup, Cita-Cita, dan Perjuangannya, Jakarta: Pengurus Perguruan Diniyyah Puteri Perwakilan Jakarta,1991, hlm. 35-37
[4] Lihat Junaidatul Munawaroh, Rahmah El – Yunusiyah: Pelopor Pendidikan Perempuan, hlm. 1 dalam Jajat Burhanudin dan Oman Fathurrahman (ed.), Tentang Perempuan Islam …, hlm. 19
[5] Moenawar Kholil, Nilai Wanita, Cetakan IX, Surakarta: CV. Ramadhani, 1989, hlm. 115
[6] Jajat Burhanudin (ed.), Ulama Perempuan Indonesia, Jakarta: Gramedia, 2002, hlm. 10
[7] Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 2005, hlm. 29; Jajat Burhanudin dan Oman Fathurrahman (ed.), Tentang Perempuan Islam …, hlm, 18-19
[8] Aminuddin Rasyad, et. all, H.Rahmah El Yunusiyyah …, hlm. 59
[9] Hasril Chaniago, 101 Orang Minang di Pentas Sejarah, Padang: Citra Budaya Indonesia,2010, hlm. 427
[10] Jajat Burhanudin (ed.), Ulama Perempuan …, hlm. 26
[11] Jajat Burhanudin (ed.), Ulama Perempuan …, hlm. 26
[12] Jajat Burhanudin (ed.), Ulama Perempuan …, hlm. 30
[13] Jajat Burhanudin (ed.), Ulama Perempuan …, hlm. 30
[14]Tuanku Kayo Khadimullah, Menuju Tegaknya Syariat Islam di Minangkabau: Peranan Ulama Sufi dalam Pembaharuan Adat, Bandung: Marja, 2007, hlm. 170
[15] Tuanku Kayo Khadimullah, Menuju Tegaknya Syariat …, hlm. 172
[16] Febri Yulika, Epistemologi Minangkabau: Makna Pengetahuan dalam Filsafat Adat Minangkabau, Yogyakarta: Gre Publishing, 2012, hlm. 3
[17] Tuanku Kayo Khadimullah, Menuju Tegaknya Syariat …, hlm. 171-172; Hal-hal terkait masalah adat seperti misalnya tentang harta pusaka yang pembagiannya lebih mengutamakan kaum perempuan juga mendapat sejumlah kritikan. Hal ini dianggap tidak sesuai dengan hukum Islam tentang pembagian harta warisan (fara’id). Diantara kritik yang paling keras terhadap masalah ini berasal dari Syaikh Akhmad Khatib Al-Minangkabawi. Ia menganggap bahwa hukum warisan berdasarkan adat semacam itu bersifat haram dan pelakunya bisa dianggap melakukan perbuatan haram. Lama-kelamaan sistem fara’id Islam mulai diterima. Meskipun demikian hal ini juga melalui proses yang panjang. Perubahan dimulai dengan mengadopsi sistem hibah. Selengkapnya baca A.A. Navis, Alur Kebudayaan dalam …, hlm. 78-80
[18] Dilihat dari latar belakangnya, feminisme merupakan suatu gerakan yang diawali dengan kesadaran yang berangkat dari asumsi bahwa kaum perempuan mengalami diskriminasi. Gerakan ini merupakan upaya untuk mengatasi diskriminasi tersebut. Lihat: Gillian Howie, Between Feminism and Materialism: A Question of Method, New York: Palgrave Macmillan, 2010, hlm. 27-28; Mansour Fakih, et.all., Membincang Feminisme: Diskursus Gender Perspektif Islam, Surabaya: Risalah Gusti, 2000, hlm. 38; A. Nunuk P. Murniati, Getar Gender: Perempuan Indonesia dalam Perspektif Sosial, Politik, Ekonomi, Hukum, dan HAM, Jilid 1, Magelang: IndonesiaTera, 2004, hlm. xxviii. Gerakan feminisme yang lahir di Barat sebenarnya merupakan bentuk respons dan reaksi terhadap situasi dan kondisi kehidupan masyarakat di sana, terutama menyangkut nasib dan peran kaum wanita. Gerakan ini lahir karena adanya anggapan bahwa di Barat kaum perempuan memang dipandang ‘sebelah mata’ (misogini). Pandangan ini telah diawali oleh tokoh-tokoh seperti Plato dan Aristoteles serta diikuti Gereja yang memposisikan wanita tidak setara dengan kaum lelaki. Lihat: Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, Jakarta: Gema Insani, 2008, hlm. 103-107
[19] Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme …, hlm. 113
[20] Studi yang dimaksud dilakukan oleh Dr. Rene Sebitern, Dr. Widdowson, dan Dr. Weidz Haitez-rolf. Lihat: Nuruddin ‘Itr, Hak dan Kewajiban Perempuan: Mempertanyakan Ada Apa Dengan Wanita?, Yogyakarta: Bina Media, 2005, hlm. 156-157
[21] Abudin Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan …, hlm. 32-33
[22] Abudin Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan …, hlm. 33
#YangTerlupakan