Kemadjoean perempoean pada achir2 ini soedah melebihi dari kodratnya, ta’akan tertemoe dengan sifat keperempoeannja, sebagian dari kemadjoeannja itoe maka merika lantas bekerdja ada di fabriek, mendjalankan spoor, motor terbang d.l.l. malah ada jang mendjadi kampioen geloet, gontokan hingga menjeberang laoetan akan mentjari tandingnja. Dengan begitoe maka soedah barang tentoe badannja kentara keras-keras dan ototnja poen melotot dengan sendirinja. Dalam pada ia mentjari tanding itoe maksoednja mentjari oeang semata-mata.
Mata muslimah itu begitu menyala-nyala, ia kritisi feminisme dengan orasi semangat membara, tidak peduli jika pandangannya tersebut akan berbeda dengan perempuan dari organisasi-organisasi lainnya.
Ia serukan jika Barat lah yang selama ini mendiskriminasi perempuan, sehingga mereka tidak mendapatkan hak-hak perkawinan. Muslimah kritis itu bernama Siti Munjiyah, yang menjadi Ketua Aisyiyah setelah Siti Bariyah.
Ayah kandungnya, yang juga Lurah Keraton Yogyakarta, Haji Hasyim Ismail, mencatat kelahiran Siti Munjiyyah bersamaan dengan hari Senin Legi tanggal 14 bulan Dzulhijjah tahun Jim awal 1317 atau 1896 Masehi.
Mu’arif dan Hajar Nur Setyowati dalam Srikandi-Srikandi Aisyiyah menuliskan, ia bersaudara dengan Jasimah, Syuja’, Fachrodin, Hadikusuma, Zaini, Siti Bariyah dan Siti Walidah.
Sehingga tidak heran jika, Siti Munjiyah dan saudara-saudaranya adalah penggerak Muhammadiyah, dari sejak pertama kali didirikan oleh Kiai Ahmad Dahlan. Karena sedari awal Kiai Ahmad Dahlan memang telah mempersiapkan Siti Munjiyah menjadi seorang Ulama perempuan Aisyiyah, maka Siti Munjiyah melanjutkan pendidikannya di sekolah agama (Madrasah Diniyah).
Di Madrasah Diniyah inilah, Siti Munjiyah mendapat pendidikan agama langsung dari Kiai Ahmad Dahlan, melalui kursus dan pengajian yang diadakan. Setelah menyelesaikan pendidikannya di Madrasah Diniyah, Siti Munjiyah masuk kelas Qismul Arqa yang diadakan di emperan rumah Kyai Dahlan, letaknya di dekat Dapur, sambil duduk di lantai dengan memakai meja dari bekas kotak minyak tanah.
Qismul Arqa kemudian diganti namanya menjadi Pondok Muhammadiyah setelah menempati gedung baru dan menggunakan sistem klasikal. Setelahnya berganti lagi menjadi kweekschool Islam, lalu Kweekschool Muhammadiyah.
Paska terbitnya Orodonansi Sekolah Liar, Kweekschool Muhammadiyah berganti lagi menjadi Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah. Pada tahun 1929, Madrasah Mu’allimin memisahkan santriwati-santriwati di gedung tersendiri dan akhirnya dinamai dengan Madrasah Mu’allimat.
Siti Munjiyah dikenal berkemauan keras dan cara berpikirnya cukup logis, perempuan yang punya kepemimpinan kuat ini juga murah senyum, pandai bergaul dan selalu bicara terus terang.
Kemudian perempuan aktivis Aisyiyah ini juga berpostur agak tinggi, berperawakan gemuk, wajahnya bulat dan kulitnya hitam manis. Penampilannya yang sederhana, tidak menunjukkan bahwa ia adalah salah satu putri Lurah Keraton.[1]
Orator Ulung
Masing-masing dari perempuan yang pernah memimpin Aisyiyah punya ciri khasnya, dan ciri khas Siti Munjiyah ialah pandai berorasi. Ia sosok orator perempuan yang mampu menguasai khalayak umum. Siti Munjiyah mampu tampil sebagai perwakilan Aisyiyah dalam forum-forum perkumpulan kaum perempuan di luar Muhammadiyah, dengan keahlian yang ia miliki.
Melihat karakter Siti Munjiyah yang tegas, berkemauan kuat dan tidak kenal takut membuat Kiai Dahlan memberikan kepercayaan lebih padanya, dengan diizinkan mengikuti kegiatan Kiai Dahlan setiap kali mendapatkan undangan.
Salah satunya saat Hoofdbestuur Muhammadiyah (HB) mendapat undangan dari Sarekat Islam (SI) Cabang Kediri, Jawa Timur. Siti Munjiyah dan saudaranya, Haji Fachrodin diajak serta Kiai Dahlan untuk memenuhi undangan tersebut pada 20 November 1921.
Dalam acara tersebut, Siti Munjiyah mendapat kesempatan istimewa untuk menyampaikan ceramah keagamaan, dan ia merupakan satu-satunya utusan HB Muhammadiyah perempuan yang naik di atas voordracht (mimbar) kala itu.
“Saya ini bukan orang haji, tetapi saya memakai pakaian cara haji perempuan. Saya juga tidak malu berpakaian seperti orang haji, karena ini merupakan perintah agama Islam”, terang Siti Munjiyah dengan pembawaannya yang tenang.
Ia menunjukkan pada hadirin saat itu pakaiannya yang ia kenakan dengan tertutup rapat dan kerudung khas songket Kauman. Tidak hanya itu, Siti Munjiyah juga menerangkan kedudukan kaum perempuan dalam agama Islam. Menurutnya perintah dalam agama Islam bukan hanya untuk laki-laki saja, namun perempuan pun wajib menjalankannya.
“Bukan hanya kaum lelaki yang wajib memajukan agama Islam, tetapi kaum perempuan juga memiliki hak yang sama untuk memajukan agama Islam”, terangnya dengan penuh gelora. Karakter Siti Munjiyah yang bersemangat, mampu menyihir para hadirin saat itu.[2]
Susan Blackburn dalam bukunya Kongres Perempuan Pertama: Suatu Tinjauan Ulang, menyebut gaya pidato Siti Munjiyah menyerupai suatu khutbah Islam. Namun hal ini tidak lah mengherankan, mengingat pekerjaan sehari-harinya memang seorang juru khutbah yang sangat berpengalaman di kalangan Aisyiyah.[3]
Blackburn juga melanjutkan, pidato yang diucapkan Siti Munjiyah dengan kata-kata yang berlebihan, namun sholeh bahkan diulang-ulang, retoris, didaktis, bagaikan sebuah obrolan dan penuh humor, terutama jika menyinggung keterbelakangan sikap orang Barat terhadap perempuan di masa lalu.
Siti Munjiyah juga mengutip retorika Islam (yang berujung pada kata-kata indah dalam Bahasa Arab), namun karena ia sendiri telah belajar di sekolah modern (Hollandsch Inlandsche School), maka ia mengerti bagaimana berbicara di hadapan para hadirin campuran.
Ia pun menahan diri dari membacakan kutipan-kutipan Arab yang begitu sering menyelingi tulisan atau pidato tentang Islam di masa itu, dan mengakui bahwa ada perbedaan pandangan di kalangan para peserta kongres perempuan saat itu.[4]
Mengkritisi Barat dan Feminisme
Pada 22-25 Desember 1928, Aisyiyah mempercayakan Siti Munjiyah untuk mewakili mereka dalam acara Kongres Perempuan Indonesia pertama di Mataram, Yogyakarta. Pidato Munjiyah di Kongres Perempuan Indonesia pertama berjudul “Derajat Perempuan”.
Para organisasi perempuan mengadakan Kongres bersamaan dengan muncul dan menggeliatnya pergerakan-pergerakan perempuan di Tanah Air. Mereka yang tergabung dalam organisasi-organisasi perempuan menuntut hak-hak kaum perempuan setara dengan laki-laki.
Bahkan, penulis buku Srikandi-Srikandi Asyiyah, Muarif dan Hajar Nur Setyowati juga menyebut, dalam takaran tertentu, gerakan-gerakan perempuan hampir meninggalkan watak ketimuran karena terpengaruh feminisme.
”merika kaoem perempoean itoe berpikir, bahwa jang menjebabkan haknja hina dina itoe lantaran dari bodoh. Baiklah sekarang kami bergerak madjoe mentjahari pengetahoean dengan bersekolah dan bahwasanja perempoean itoe sama sadja dengan haknja lelaki. Dengan keadaan jang demikian itoe maka tertjapailah maksoednja menoentoet pengetahoean itoe dan soenggoeh benar perempoean zaman sekarang banjak jang pandai-pandai lantaran dari beladjar di sekolah-sekolah. Hanja sajang sekali bahwa mereika ini tak dapat menggoenakan kepandaiannja itoe dengan sepertinja, malah kelebihan dari batasnja. Boleh djadi hal ini tersebab dari kepajahan-kepajahan hidoepnja, lantas dapat sendjata oentoek mendjadi penawar.
Kemadjoean perempoean pada achir2 ini soedah melebihi dari kodratnya, ta’akan tertemoe dengan sifat keperempoeannja, sebagian dari kemadjoeannja itoe maka merika lantas bekerdja ada di fabriek, mendjalankan spoor, motor terbang d.l.l. malah ada jang mendjadi kampioen geloet, gontokan hingga menjeberang laoetan akan mentjari tandingnja. Dengan begitoe maka soedah barang tentoe badannja kentara keras-keras dan ototnja poen melotot dengan sendirinja. Dalam pada ia mentjari tanding itoe maksoednja mentjari oeang semata-mata.
Tidak sadja demikian kemadjoeannja tapi sekarang ada jang model baroe ja’ni potong ramboet precies seperti orang lelaki, djoega pakaiannja soedah merata banjak jang memakai tjara pakaian orang lelaki, dengan singkat maka kemadjoean perempoean pada galibnja tidak soekalah dengan lelaki, baik sebarang apa sadja sehingga sifat ke-perempoean-nja tidak lagi tertampak!”.[5]
Siti Munjiyah juga mengkritisi Barat dan Feminisme, ia menerangkan betapa perempuan dari kalangan non Islam terlihat tertekan karena tidak memiliki hak-hak dalam perkawinan. Secara halus, ia kemukakan bahwa berdasarkan sejarah, pandangan Barat dan juga tradisi Kristen memang diskriminatif terhadap perempuan.[6]
Tidak lupa ia ingatkan rekan-rekannya untuk memilah-milah apa yang baik dan apa yang buruk dalam melihat kemajuan perempuan Barat. Menurut Blackburn, pidato Siti Munjiyah merupakan contoh yang menarik dalam melakukan apa yang dia bela, dengan memadukan hal-hal terbaik dalam tradisi Barat maupun Islam.[7]
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Tabligh
Oleh: Sarah L. Mantovani, M.P.I – (Peneliti the Center for Gender Studies)
[1] Mu’arif, Hajar Nur Setyowati, Srikandi-srikandi Aisyiyah, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2014), hlm. 77-85.
[2] Ibid, hlm. 86-88.
[3] Susan Blackburn, Kongres Perempuan Pertama: TInjauan Ulang, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan KITLV, 2007) hlm. xi
[4] Ibid, hlm. xi
[5] Siti Mundjijah, Deradjat Perempoean, Soeara Muhammadijah Agustus 1929 edisi XI, hlm. 84.
[6] Susan Blackburn, Kongres…, hlm. xxxvii
[7] Ibid, hlm. xi
bagus postingan nya
good..