Rekonsiliasi belakangan menjadi salah satu kata yang sering dibincangkan.Terlebih jika membahas sejarah bangsa ini, khususnya dalam soal sejarah pergulatan bangsa Indonesia dengan komunisme.Sebagian pihak meminta agar dilakukan rekonsiliasi antar anak bangsa, antara korban dengan pelaku.Bagi yang meminta rekonsiliasi, korban berarti orang-orang yang dirugikan (baik materil maupun non materi) pasca peristiwa 65.Pelaku, tentu saja sebaliknya.Tentu saja wacana rekonsiliasi menjadi perdebatan hangat.

Bagi yang hidup pada zaman itu, tak mudah untuk melihat segala sesuatu dengan menjaga jarak. Bagi yang hidup pada masa kini, tentu tak mudah untuk melihat dari dekat apa yang terjadi saat itu. Karena itu kami berusaha (semampunya) untuk menjembatani kedua hal tadi.Kami berbicara dengan yang hidup pada masa itu.Kami juga berusaha untuk ‘berjarak’ dan melihat masa-masa kelam itu dari berbagai sisi.

Untuk itu kami bertemu dengan para saksi, orang-orang yang hidup pada masa itu, untuk mendengar cerita mereka.Tulisan ini bukanlah akhir dari penulisan kami tentang sejarah komunisme dan umat Islam di Indonesia.Tulisan ini lebih adalah renungan Rizki Lesus, pegiat Jejak Islam untuk Bangsa yang turut serta dalam perjalanan menemui para saksi-saksi. Dari Tanah Suci, Mekkah al Mukaramah, ia merenungkan dan menulis pergulatan pahit yang harus dilalui bangsa ini. Selamat membaca.

***

Seakan mimpi. Rasa rindu yang sudah bertumpuk-tumpuk di dalam dada membuncah tak tertahankan. Hari ini semua perasaan beraduk tak jelas: antara haru dan biru. Air mata yang terus berderai, membasahi tanah yang disucikan hingga Hari Kiamat.Makkah Al Mukarramah, kota yang begitu dinanti-nanti.

Dengan kerinduan dan keharuan memuncak, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berkata lirih,”Sesungguhnya kau adalah bumi Allah yang terbaik, bumi Allah yangpaling kucintai. Demi Allah, seandainya aku tidak dipaksa keluar, niscaya aku tidak akan keluar.”

Kota ini penuh kenangan bagi sang Nabi dan sahabat. Kota kelahiran manusia paling mulia.Kota dengan berjuta kisah cinta dan pengorbanan.Kota yang berpendar, penuh dengan cerita. Seakan fana, seakan khayalan : menatap Ka’bah yang begitu dirindu.

Tak pernah terbayangkan hari ini begitu mengharukan.Dulu, di negeri ini, semua terusir, semua merana, semua mengiba.Dengan batin teriris, mata menangis semua harus angkat kaki meninggalkan Mekkah tiga belas tahun silam. Terpisah dari sanak saudara, melangkah melewati sahara, menembus terik padang yang menggarang.

Berat memang, dengan duka yang mendalam harus meninggalkan tanah kelahiran, ayah, bunda hingga sang buah hati. Kefakiran, kelaparan hingga kepayahan.Bayangkan sang Nabi yang mulia ketika diboikot hanya menggigit dedaunan dengan susah payah. Derita tak bertepi, cercaan, umpatan, fitnah bahkan hingga tertumpah darah syuhada kita, Sumayyah hingga Yasir.

Menepi sejenak, intimidasi itu tak kunjung berkurang. Dengan kesabaran, akhirnya Allah berikan kemenangan demi kemenangan di kota seribu cahaya, Madinah al Munawwarah.  Dan hari ini, kita kembali sebagai pemenang, bukan sebagai pecundang. Dengan penuh kalimat syukur, YaRabb, kami kembali ke  kampung halaman.

Dari segara penjuru kalimat tahmid terlafal.Hati yang begitu bergetar hebat, rasa girang kepalang yang meluap tak terbendung. Sambil membawa bendera, Saad bin Ubadah berteriak, “Hari ini adalah hari pembantaian. Hari dihalalkannya tanah al haram. Hari ini Allah menghinakan Quraisy.”

Sang Nabi dengan lembut menegur Saad, “Sa’ad keliru, justru hari ini adalah hari diagungkannya Ka’bah dan dimuliakannya Quraisy oleh Allah.” Begitu lembutnya sang Nabi, bahwa hari ini, Fathu Makkah bukanlah hari pembantaian, bukan pula hari pembalasan, tetapi, “Ini adalah hari kasih sayang,” kata sang Nabi di hadapan kaum Quraisy kelak.

Dengan mata berkaca-kaca, akhirnya tibalah kaum muslimin di depan Ka’bah yang begitu memikat hingga tak bisa berkata-kata, seraya menundukkan kepala. Sang Nabi dengan lirih membaca firmanNya yang mulia,

 “Sesungguhnya kami memberikan kepadamu kemenangan yang nyata.” (Qs. Al Fath: 1)

Kemenangan? Ya, inilah kemenangan yang begitu nyata. Beliau mengumumkan kepada penduduk Makkah,”Siapa yang masuk masjid maka dia aman, siapa yang masuk rumah Abu Sufyan maka dia aman, siapa yang masuk rumahnya dan menutup pintunya maka dia aman.”

Pusaran manusia itu menyemut, berputar mengelilingi rumahNya yang mulia, sementara orang-orang Quraisy sebagian berkerumun di Ka’bah dengan tertunduk lesu dengan tatapan kuyu, ketakutan, menanti keputusan sang Nabi.

Sorot matanya benar-benar pasrah, bahkan mereka menyangka para petinggi mereka akan dieksekusi, para pentolan akan dibantai, hingga warga akan dikenakan hukuman.

Sang Nabi maju sambil memegang Ka’bah, beliau menatap lautan manusia. “Wahai orang Quraisy, sesungguhnya Allah telah menghilangkan kesombongan jahiliyah dan pengagungan terhadap nenek moyang. Manusia dari Adam dan Adam dari tanah.”

Sang Nabi melanjutkan

“Wahai orang Quraisy, apa yang kalian bayangankan tentang apa yang akan aku lakukan terhadap kalian?”

Terbayang perlakuan Quraisy terhadap kaum muslimin di masa silam: melempar kotoran kepada wajah Rasul nan mulia, meludahinya, mengusirnya, hingga hendak membunuhnya. Tak terhitung celaan hingga umpatan dan fitnah. Benturan fisik tak diragukan, bahkan di Uhud hingga sang Nabi terluka.

Mendengar pertanyaan sang Nabi, kaum Quraisy sadar bahwa nasib mereka sudah di ujung tanduk.  Merekapun menjawab, “Yang baik-baik, sebagai saudara yang mulia, anak dari saudara yang mulia,” memelas.

Memandang lembut sang Nabi bersabda, “Aku sampaikan kepada kalian sebagaimana perkataan Yusuf kepada saudaranya: ‘Pada hari ini tidak ada cercaan atas kalian. Allah mengampuni kalian. Dia Maha penyayang.’ Pergilah kalian! Sesungguhnya kalian telah bebas!”

Subhanallah!Beningnya air mata menetes menemani beningnya hati Baginda kita, Muhammad Shalallahu Alaihi Wasalam.Suasana yang begitu mencengangkan, tak hanya bagi Quraisy, tetapi juga para sahabat. Begitu luas samudera maaf sang Nabi, hingga amnesti masal terlafal.

Inilah rekonsiliasi hakiki, kemenangan yang nyata! Kemenangan yang membekas hingga kini.Lihatlah ya Rabb, di hadapan hambamu ini, RumahMu tak henti-hentinya disucikan.Jutaan manusia memuji Engkau di RumahMu, di kaki Ka’bah semua merintih haru.Pusaran yang terus berdetak hingga hari Kiamat.

***

Haji Abdul Malik Karim Amrullah, karib disapa Buya Hamka masih mendekam di balik jeruji. Kalam suci Ilahi, dengan tekun, ia ulang hafalannya. Mengeja ayat demi ayat.Merenungkan satu per satu maknanya, hingga khatam, seluruhnya tergenapi.Ada haru membiru. Ada tangis berlapis senyum bahagia, di sana. Allah terasa begitu dekat.

Sungguh, tak ada yang terpenjara di sana. Jiwanya merdeka. Tak ada yang terkekang di sana. Tangannya lincah menulis pesan penuh makna.Alam pikirnya mengembara, merenungi KemahaanNya.

Tak hanya Hamka sendiri yang dijebloskan oleh rezim Nasakom. Di balik jeruji besi lainnya, tokoh-tokoh Islam saat itu:Natsir, Roem, Isa Anshari, Prawoto Mangkusasmito, dll mendekam tanpa proses pengadilan. Tak ada yang mengeluh satu pun atau setelah keluar mereka merengek mengais maaf dari rezim berkuasa.Bahkan, mereka memaafkan dengan tulus.

“Mereka sadar bahwa itu adalah risiko perjuangan,” kata Ketua Partai Masyumi Magelang (1959-1960) yang merangkap sebagai Sekretaris Partai Masyumi Jawa Tengah, KH Khalil Badawi (85) kepada Tim Liputan JIB – JITU sepenggal Agustus silam di kediamannya di Magelang.

Kiyai Khalil Badawi. Foto: Tim Liputan JIB - JITU
KH Khalil Badawi. Foto: Tim Liputan JIB – JITU

Saat Partai Masyumi dibubarkan rezim Nasakom, dan pemimpin-pemimpinnya dimasukkan ke penjara, KH Cholil Badawi saat itu menjadi penyambung lidah para pemimpin yang dipenjara dengan umat Islam.“Saya berkeliling memberikan pesan perjuangan, agar umat terus berjuang dengan kesabaran,” katanya.

Usai bebas dari penjara pun, tokoh Masyumi tak ada yang menuntut rezim agar meminta maaf. “Mereka sadar bahwa ada kalah dan menang dalam perjuangan, yang mereka lakukan adalah terus berjuang,” kata Ibrahim Rais (76) yang saat tahun 1965 menjadi aktivis Pelajar Islam Indonesia (PII) Kediri.

Pun dengan Buya Hamka setelah bebasnya, ia telah memaafkan seluruh kelakukan zalim rezim. “Saya tidak pernah dendam kepada orang yang pernah menyakiti saya. Dendam itu termasuk dosa.,” kata Hamka. Lebih dari itu, jenazah Soekarno, orang yang memenjarakannya, Buya-lah yang menjadi imamshalatnya.

Bukan kali pertama Hamka dizalimi, tahun-tahun sebelumnya sebelum ia meringkuk dalam penjara, tokoh  Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), underbouw PKI  terus menyerang dan memfitnah para seniman yang berbeda pandangan dengan mereka.

Awal tahun 1963, jagad sastra Indonesia digemparkan oleh dua surat kabar di Jakarta, yakni  Bintang Timur dan Harian Rakyat yang berafiliasi pada Partai Komunis Indonesia (PKI) di masa itu.

Keduanya memberitakan karya Hamka yang berjudul Tenggelamnya Kapal Van der Wijck merupakan hasil plagiat. Rubrik Lentera dalam koran Harian Bintang Timur yang diasuh Pramoedya Ananta Toer yang karib disapa Pram, secara detil mengulas cara Hamka mencuri karangan itu. Karya tersebut diduga milik sastrawan asing, Alvonso Care.

“Berbulan-bulan lamanya kedua koran tersebut terus menerus memojokan Hamka. Bahkan, kedua koran itu tak hanya mengkritik karya Hamka. Mereka juga menyerang Hamka secara pribadi,”kata Irfan Hamka dalam Ayah.

Serangan terhadap Hamka ini mendapat pembelaan dari sastrawan lainnya termasuk ST Alisjahbana hingga HB Jassin yang kelak diserang juga oleh Pram.“Saat itu Pram menyerang siapa yang berseberangan dengan dia,” kata sastrawan Ajip Rosidi (78) kepada Tim Liputan JIB – JITU di kediamannya di Magelang.

Polemik panjang antara Pram dengan sastrawan yang berbeda pandangan dengannya terus terjadi.Teror, fitnah terus terlontar, bahkan sampai membuat keluarga Hamka terpojok.

Irfan Hamka, putra Hamka yang menuliskan memoar tentang ayahnya, dalam buku yang berjudul Ayah, mengaku sering dipojokan oleh guru sastra Indonesianya semasa SMA. Gurunya saat itu memang dekat dengan tokoh Lekra seperti Pram.

“Guru sastra Indonesiaku, begitu pula dengan guru Civic-ku (Kewarganegaraan), keduanya dengan gaya mengejek selalu menanyakan kesehatan ayah, dan tak lupa berkirim salam kepada Ayah, kupingku selalu panas mendengarnya,?” kenang Irfan dalam bukunya.

Bandul pun berbalik.“Saat tahun menjelang 1965, PKI sedang menang secara politik. Semua yang berseberangan dengan mereka dihabisi, namun pasca 65, keadaan berbalik,” kata Ajip Rosidi.

Ajip Rosidi. Foto: Tim Liputan JIB - JITU
Ajip Rosidi. Foto: Tim Liputan JIB – JITU

Peristiwa G 30 S PKI, mengharuskan mereka masuk ke dalam daftar pencarian orang untuk ditangkap. Pram termasuk pihak yang ditangkap dan diasingkan di Pulau Buru.Menjelang 1980, Pram pun bebas.

Namun, Hamka bukanlah lelaki cengeng yang menuntut agar Pram meminta maaf kepada dirinya. Tak kan kuasa Hamka berteriak ke sana ke mari agar semua orang meliriknya, mendukung agar Pram minta maaf kepadanya. Hamka tau, dalam Islam, fitnah hingga kezaliman itu adalah risiko perjuangan.

“Ayah sama sekali tak pernah terusik dan beraktivitas seperti biasanya saja,” kata Irfan Hamka. Hamka hanyalah secuplik kisah.Belasan tahun sebelumnya para ulama tak luput dari kebengisan para kaum haus darah.“Setelah Aidit mengumumkan siapa musuh, siapa harus bersama siapa, semua seakan terbelah,” kenang Ajip Rosidi.

Di bidang seni dan budaya,Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang merupakan underbouw PKI melakukan ‘serangan’ terhadap yang mereka anggap lawan. “Tahun –tahun 60’an, mereka menjadikan politik menjadi panglima. Seni yang tidak sesuai dengan paham mereka akan dimusuhi,” kenang Ajip. Saat itu, dalam bidang budaya, PKI melalui Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) menebarkan propagandanya.

“Lekra merupakan bagian dari PKI. Ada pihak-pihak belakangan yang ingin memisahkan Lekra dari PKI. Semua orang saat itu tahu bahwa Lekra merupakan bagian dari PKI, baru setelah tahun 70an, Joebar Ayub membuat wacana seolah Lekra bukan bagian dari PKI,” kata Ajip Rosidi.

Djoko Pekik (79), seorang pelukis yang bergabung Lekra pada tahun 1960 pun menguatkan pernyataan Ajip bahwa Lekra bagian dari PKI. “Ya memang Lekra merupakan bagian dari PKI,” katanya di Yogyakarta medio Agustus lalu.

“Lekra memang menjalankan agenda PKI, seperti aksi-aksi massa. Bahkan Lekra di daerah-daerah diresmikan oleh PKI,” kata Ajip. “Saat itu memang ada pelarangan buku. Bahkan buku yang saya sunting yang ada tulisan sastrawan yang tergabung dalam Manifes Kebudayaan, tak luput dari pelarangan. Akhirnya buku tersebut tidak bisa terbit,” katanya.

Penyair Taufiq Ismail, yang saat itu tergabung dalam Manifes Kebudayaan mengaku mendapat intimidasi dari para mahasiswa pendukung PKI. “Saat itu saya mengajar bahasa Inggris di sekolah RP di Bogor, saya didemo agar dipecat,” kata Taufiq.

Tak hanya itu, tak lama sebelum berangkat ke Amerika melanjutkan studinya, ada tekanan kepada pihak Rektorat IPB agar ia tak jadi berangkat. “Padahal semua sudah siap, tinggal berangkat, namun karena tekanan mereka, saya tidak jadi melanjutkan studi,” kata Alumnus Jurusan kedokteran Hewan IPB ini.

Selain mendukung PKI, Lekra pun menampilkan hiburan berupa Ludruk dan Ketoprak yang dinilai menghina agama.“Ada pertunjukkan berjudul ‘Matine Gusti Allah’,” kata Ajip. Beberapa saksi menuturkan bahwa pertunjukkan tersebut benar-benar ada.

Warga Nganjuk, Sunaryo (67), saat itu masih kelas akhir SMP di awal 1965 kerap mendengar seruan kentongan menonton bersama Ludruk. ‘Tok..tok..tok..Ayo kita semua ke lapangan, menonton Ludruk ‘Matine Gusti Allah’,” kata Sunaryo menirukan.

Hal serupa dialami Sudrajat (70) di Kampungnya di Tegal Sari Ponorogo yang melihat hiburan-hiburan yang menyebutkan Tuhan telah mati.Masdukin (70), warga Blitar pun pernah ikut menyaksikan pertunjukkan tersebut pada tahun 1965 – 1966.“Ya isinya begitu, dibilang Allah ngunduh mantu, Allah mati,” kenangnya.

Saat kalender menunjuk tahun 1965, suasana semakin muram.Atmosfer menegangkan menyeruak di segala penjuru. Di Solo, wabilkhusus di Ngruki yang merupakan basis PKI suasana semakin mencekam.

Baru beberapa tahun, Amir (25 saat itu) berdakwah di kampung itu, bersama dua temannya.Mengeja ayat bersama anak-anak kampung Cemani, itu yang dikerjakan Amir setiap harinya.

Sudah biasa bagi Amir dalam dakwah diteror oleh orang-orang PKI seperti ban kendaraanya dikempesi.Pengajiannya dilempari batu hingga kotoran manusia yang ditaruh di atas kendaraanya. Tensi semakin memanas  saat memasuki bulan September 1965.

Nyaris tengah malam, sambil menikmati malam yang dingin, tiba-tiba terdengar ketukan dari pintu depan. Siapa gerangan malam-malam begini mengetik pintu, dalam benak Amir. Diintiplah jendela depan, ternyata seorang wanita paruh baya dengan wajah kikuk sambil terus melirik kanan –kiri.

“Pak Amir harus segera pergi,” kata wanita tersebut. “Pak Amir akan dibunuh malam ini oleh suami saya sendiri,” tambahnya terengah-engah.

Amir mengernyitkan dahi melihat istri pak Atmo, tokoh PKI wilayah Cemani.“Jam satu malam ini Bapak akan dieksekusi, bapak harus segera bergegas,” katanya. Amir hanya terbelalak, melihat jam dinding yang sudah mendekati pukul 01.00.  Segera bu Atmo meninggalkan tempat Amir.

Tak sempat bersiap, Amir membuka jendela belakang, melompat ke Sungai tepat di belakang rumahnya. Dalam gelap, ia meraba-raba, mengikuti derasnya arus dan dingin yang menggigit kulit.

“Saat itu, saya kabur dan mengungsi sampai dua pekan ke rumah saudara di Solo. Saya selamat, tapi dua kawan saya, sama-sama dai meninggal dunia,” kenang Amir (76) kepadaTim Liputan JIB – JITU.

Di lain tempat, sepenggal 1967, Masdukin yang saat itu berusia 22 tahun sedang membaca al Quran setelah shalat tarawih. Tiba-tiba, baru sampai 9 ayat, pintu sudah digedor dan ditendang hingga terbuka.“ Gerombolan PKI ini mencari ayah saya yang merupakan Ketua Ranting NU  dan adik saya yang sedang sekolah di Surabaya yang merupakan aktivis Ikatan Pelajar NU (IPNU),” kata Masdukin (71) kepada Tim Liputan JIB – JITU.

Masdukin dibanting untuk tiarap, kedua tangannya diikat. Sang Ayah, Kiai Zuhdi diciduk keluar. Tiba-tiba terdengar dua letusan pistol.“Saya berontak gimana  caranya supaya tali lepas, saya susul ayah saya rupanya perutnya sudah bersimbah darah,” kenangnya. Di saat bersamaan, tak nampak orang-orang PKI yang berbaju hitam tersebut.

“Saya bopong ayah dan letakkan di meja, saya cari bantuan teriak sana-sini. Pas saya masuk lagi, darah sudah meleber di mana-mana, semua meja dan lantai penuh darah, lalu dengan sepeda ontel, saya antar ayah ke Rumah Sakit, tapi ajal menjemput,” Masdukin berkaca-kaca.

Peristiwa semacam ini tak hanya melanda Amir dan Masdukin. Di Jakarta, para jenderal dan perwira tentara dibunuh. Di daerah-daerah, para tokoh agama, tentara hingga pejabat pemerintahan yang anti PKI tak luput dari incaran pembunuhan dan kudeta.

“Sejak saat itu, semua menjadi waspada dan berjaga-jaga, terjadi bentrok sana –sini, karena kita harus membela diri kalau tidak ingin mati,” kata Masdukin.  Salah satu pertentangan paling hebat antara PKI dan masyarakat pasca pemberontakan PKI tahun 1965 adalah daerah Solo.

Ketua Umum HMI Solo saat itu, Miftah Faridl mengisahkan suasana saat itu begitu tegang dan panas.“Setelah kudeta digagalkan, para tokoh-tokoh mahasiswa berkumpul. Terjadi perang di mana-mana, sebagian kami dikawal tentara,” kenang Prof. Dr. KH Miftah Faridl (74) yang kini menjadi  Ketua Umum MUI Bandung.

Saat itu, menurut Miftah banyak para tokoh Islam yang menjadi target pembunuhan. “Yang namanya perang, kalau kita tidak melawan, kita yang mati. Banyak ulama hingga tentara yang dibunuh,” kata Miftah. Bahkan dirnya mengaku ditawari senjata oleh tentara, namun tak ia gunakan. “Itu kebanyakan untuk tokoh Islam, ketua Presidium,”katanya.

Wasekjen NU yang juga penulis putih NU ‘Benturan NU-PKI 1948-1965’, Dr. Abdul Mun’im mengatakan bahwa yang terjadi saat itu ialah perang antara masyarakat melawan teror yang dilakukan PKI yang sebenarnya sudah dilakukan sejak tahun 1948.

Ia menilai, ada pihak yang mempropagandakan bahwa penangkapan dan pembunuhan terhadap orang PKI pasca 1965 adalah genosida. Namun, Nahdatul Ulama (NU) dalam buku putihnya Benturan NU-PKI 1948-1965 mengatakan bahwa propaganda tersebut dibuat untuk mengaburkan fakta sejarah bahwa PKI akar masalah peristiwa 1965 yang dimulai sejak tahun 1948.

“Untuk membentuk harmoni, terorisme harus dibasmi. Itu pula psikologi yang dipakai semua pihak pada tahun 1965. PKI adalah musuh bersama, karena jauh sebelum itu, PKI banyak melakukan penculikan, teror, makar, dan pembantaian,” katanya.

Pasca 1965, orang –orang PKI, simpatisan dan yang dituding PKI mendapatkan penentangan dari masyarakat. Sebagian dihukum mati karena terlibat pemberontakan, sebagian diasingkan ke Pulau Buru Maluku, sebagian wajib lapor setiap hari karena menjadi tahanan kota, sebagian menghilang entah di mana.

Bersambung ke bagian 2 – Rekonsiliasi dan Renungan : Rekonsiliasi Hakiki

Oleh: Rizki Lesus – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here