Upaya memecah-belah, segregasi, politik belah-bambu, atau divide et impera dalam berbagai bentuknya telah dan masih digunakan oleh pihak-pihak yang takut akan persatuan umat Islam, karena mereka khawatir bahwa persatuan Islam itu akan membahayakan kepentingan mereka untuk menguasai Indonesia dan segala kekayaan sumber dayanya. Salah satu bentuk usaha mereka itu yang dapat kita rasakan adalah meningkatnya sentimen anti-Arab dan upaya membenturkan hal-hal yang dianggap sebagai “pribumi” atau “budaya asli” dengan hal-hal yang dilabeli sebagai “kearab-araban”. Olok-olok seperti “kadal gurun” (kadrun) dan “imigran Yaman” merebak di media sosial menjelang tahun politik (2024 mendatang-peny.) seperti sekarang ini, terutama ketika ada salah satu kandidat yang merupakan “keturunan” Arab. Mirisnya, sedikit yang tahu bahwa orang Arab Indonesia sudah tidak tepat disebut sebagai warga “keturunan” sebab mereka sudah mendeklarasikan diri sebagai bagian dari bumiputra sejak peristiwa Sumpah Pemuda Indonesia Keturunan Arab 1934, yang di dalamnya berperan besar seorang pemuda Arab Indonesia yang tak kalah cintanya kepada bumi persada, Abdur Rahman Baswedan.
Kesadaran Baru dan Perjuangan Menuju Persatuan
Perjuangan hidup A.R. Baswedan sendiri menjejakkan lahirnya sinar kesadaran baru yang melunturkan gelapnya tipuan Belanda yang dulu menyelimuti kaumnya, yaitu suatu mitos yang ditanam-sebarkan oleh Pemerintah Kolonial bahwa “kaum peranakan” Arab itu adalah orang asing yang berbeda daripada bumiputra. Surat HAMKA kepada Baswedan mengesankan hal itu:
“Saya teringat bagaimana Saudara membuat suatu garis baru yang mesti ditempuh oleh bangsa Indonesia peranakan atau keturunan Arab. Saya lihat, saya dengar Saudara menyeruak rimba belukar dari isolasi pikiran sehingga bertahun-tahun lamanya peranakan Arab [yang] terombang-ambing dalam khayal yang bukan-bukan [dapat menuju kenyataan]. Saya teringat bahwa mulanya orang Arab ‘wulati’ dan ‘muwallad’ termakan racun yang dimasukkan Belanda, sehingga mereka pun mengaku bahwa mereka pun memang orang “asing” di negeri ini.”[1]
Sebagai pemuda yang dilahirkan pada 11 September 1908 di Surabaya dan tumbuh besar di sana – bersekolah di Madrasah Al-Khairiyah dekat Masjid Ampel Surabaya (1913-1915), lalu sempat pindah ke Jakarta dan bersekolah di Madrasah Al-Irsyad (pimpinan Syaikh Ahmad Soorkati), sebelum kembali dan bersekolah di Hadramaut School Surabaya (pimpinan M. bin Hasyim Al-Alawi) dan mengambil kursus bahasa Belanda di usia 12 tahun[2] – sampai-sampai disebut berlogat Surabaya saat berbahasa Indonesia oleh HAMKA[3], Baswedan berupaya keras menyatukan dan menyadarkan kaumnya bahwa mereka adalah bagian dari pribumi. Persatuan Arab dan bumiputra itu dalam pemikiran Baswedan didasarkan semata pada ikatan Din Islam. Hal itu dicerminkan oleh keaktifannya dalam berbagai organisasi Islam: Muhammadiyah, Jong Islamieten Bond (JIB), hingga Partai Masyumi.[4]
Permasalahan Kaum Arab Indonesia
Perjuangan Baswedan untuk menyatukan pemuda Arab dengan bumiputra itu tidak mudah, sebab dalam perundangan kerakyatan Hindia Belanda, orang Arab – bersama keturunan Tionghoa – di Hindia Belanda ditempatkan sebagai kelas di atas “inlander”, walaupun masih di bawah bangsa Eropa. Sebagian dari mereka sudah terlanjur nyaman dengan status itu atau merasa takut akan kehilangan privilege dan ditekan oleh Belanda jika ikut berjuang bersama pribumi. Mereka hidup di pemukiman, kampung Arab dan Pecinan, yang terpisah, walau dalam kehidupan sehari-hari, seperti aktivitas pasar, bercampur juga dengan bumiputra. Segregasi pemukiman itu sendiri merupakan akibat dari peraturan kolonial yang bernama “wijkenstelsel”.[5]
Keadaan itu diperparah oleh perpecahan internal kaum Arab Indonesia antara golongan Sayyid (masih bersambung silsilah ke Rasulullah SAW) dengan non-Sayyid dan antara golongan wulati (Arab murni/totok yang lahir di tanah asal, kebanyakan golongan tua) dengan muwallad (Arab peranakan yang lahir di Hindia Belanda, kebanyakan golongan muda). Kelompok non-sayyid membentuk Al-Irsyad pada 1914, sementara kalangan sayyid membentuk Ar-Rabithah al-Alawiyyah pada 1928. Sebelumnya, Jamiat Khair yang lebih bersifat sosial dan terbuka untuk semua Muslim telah didirikan di Batavia pada 1905, tapi pada praktisnya masih didominasi oleh kalangan Arab Hadrami (totok). Golongan muwallad juga mendirikan organisasi Mura`atul Ikhwan di Surabaya pada 1913. Sebenarnya, organisasi lintas golongan yang lebih berfokus pada pendidikan (Jam`iyyah at-Tahdibiyyah yang membangun perpustakaan dan menerbitkan majalah Zaman Baroe) dan kepemudaan (Shubban al-`Arab) telah didirikan masing-masing pada 1924 di Surabaya dan pada 1926 di Batavia, tapi secara praktis juga masih didominasi kaum muwallad.[6] Akibatnya, “kalangan Arab jadi berantakan dan terpisah dari hal-ihwal politik rakyat, sehingga menurun derajatnya. Pikirannya terpusat pada persoalan-persoalan di antara mereka saja dan sekitar permusuhannya”.[7]
Organisasi Islam dan Pers sebagai Wadah Perjuangan
Menyadari masalah itu, Baswedan pun mencari pendorong persatuan dengan bergabung dalam gerakan-gerakan kepemudaan dan kebangsaan yang berbasiskan keislaman, terutama JIB yang pada 1920-an itu terkenal di Surabaya. Anggota-anggota JIB terdiri dari macam-macam suku bangsa Indonesia, sehingga perasaan keindonesiaan berkembang di sana. Padahal ketika itu, dalam masyarakat terdapat macam-macam perkumpulan yang berdasarkan kesukuan, sedangkan JIB sudah punya badan kepanduan (semacam pramuka) yang secara tegas diberi nama NATIPY (National Indonesische Padvindery / Kepanduan Nasional Indonesia) sejak tahun 1925.[8] Sekitar tahun 1933, Baswedan juga mondok di rumah milik keluarga tokoh Partai Syarikat Islam, Soerowijono, yang waktu itu jadi pondokan banyak pelajar dan mahasiswa anggota JIB, di mana sering datang ke sana tokoh-tokoh seperti H.O.S. Tjokroaminoto, Haji Agus Salim, Sangaji, dan lainnya, untuk mengadakan pertemuan dan ceramah-ceramah yang memperkokoh rasa persatuan dan kebangsaannya.[9]
Selain berorganisasi, Baswedan juga aktif menyebarluaskan semangat kebangsaan dan persatuan Arab-bumiputra itu dengan berkiprah di berbagai surat kabar. Ia tercatat pernah menjadi Redaktur Harian Sin Tit Po di Surabaya pada 1932; Redaktur Harian Soeara Oemoem di Surabaya yang dipimpin dr. Soetomo dan terkenal dengan predikat “Dagblad Nasional” pada 1933; Redaktur Harian Matahari di Semarang pada 1934; Penerbit dan Pemimpin Majalah Sadar; Pemimpin Redaksi Majalah internal PAI, Aliran Baroe pada 1935-1939; Penerbit dan Pemimpin Majalah Nusaputra di Yogyakarta pada 1950-an; Pemimpin Redaksi Majalah Hikmah (Moh. Natsir sebagai Direktur); Pembantu Harian Mercusuar, Yogyakarta pada 1973; dan Penasihat Redaksi Harian Masa Kini, Yogyakarta pada 1970-an.[10]
Sumpah Pemuda Indonesia Keturunan Arab
Sesudah pindah ke Semarang di menjelang akhir 1933, Baswedan mulai aktif menulis anjuran-anjuran agar diadakan suatu kongres oleh para pemuda Arab Indonesia sebagai kelanjutan dari kongres Sumpah Pemuda 1928 dan agar dibentuk suatu partai yang menaungi kaum Arab Indonesia.[11] Pada saat itu, gelombang kebangsaan telah menyebar di kalangan Arab Indonesia sehingga anjuran Baswedan itu mendapat sambutan luas. Dukungan datang dari Salim Maskati (editor utama Zaman Baroe) dan Sayid Nuh Alkaf (editor mingguan Pewarta Arab).[12] Puncaknya, dicetuskanlah Sumpah Pemuda Indonesia Keturunan Arab dalam suatu konferensi di rumah Said Behiloel, Kampung Melayu, Semarang pada tanggal 4 Oktober 1934.[13] Sumpah tersebut mendeklarasikan bahwa: (1) Tanah air peranakan Arab adalah Indonesia; (2) Karenanya, mereka harus meninggalkan kehidupan menyendiri (isolasi); dan (3) Memenuhi kewajibannya terhadap tanah air dan bangsa Indonesia.[14]
Esoknya, 5 Oktober, langsung didirikan Partai Arab Indonesia (PAI) berdasarkan sumpah tersebut dengan A.R. Baswedan (Al-Irsyad) sebagai Ketua, Nuh Alkaf (Rabitah) sebagai Sekretaris I, Salim Maskati (Al-Irsyad) sebagai Sekretaris II, Segaf Assegaf (Rabitah) sebagai Bendahara, dan Abdurrahim Argubi (Al-Irsyad) sebagai Komisaris[15], dibantu oleh Ahmad Bahaswan (Solo), H.A. Djaelani (Pekalongan), Mohammad bin Aboebakar Alatas dan A.R. Alaydroes (Jakarta)[16]. Selain membentuk PAI, sidang kongres itu juga berhasil memilih perwakilan kaum Arab Indonesia dalam Volksraad, yaitu Mohammad bin Aboebakar Alatas, A.R. Alaydroes, Abdullah bin Salim Alatas, dan Ahmad Bachmid.[17] Para pemuda yang menghadiri kongres itu datang dari Jakarta, Pekalongan, Solo, Semarang, dan Surakarta.[18] Jumlah mereka sekitar 40 orang.[19] Hoesein Bafagieh, jurnalis Zaman Baroe dan anggota Jam`iyyah At-Tahdibiyyah, juga turut menjadi motor kongres itu.[20]
Sebelum dicapainya tiga butir sumpah tersebut, persoalan tujuan konferensi dan tanah air sempat menjadi perdebatan hangat. Untuk mengatasinya, Baswedan pun dalam pidatonya mengajukan enam pokok pikiran berikut: (1) Tanah air peranakan Arab adalah Indonesia; (2) Kultur peranakan Arab adalah kultur Indonesia; (3) Berdasarkan yang di atas peranakan akan wajib bekerja untuk tanah air dan masyarakat Indonesia; (4) Untuk memenuhi kewajiban perlu didirikan organisasi politik khusus untuk peranakan Arab; (5) Menghindarkan dari hal-hal yang menjadi sebab perselisihan dalam masyarakat Arab; dan 6) Menjauhkan diri dari kehidupan yang menyendiri dan menyesuaikannya dengan keadaan zaman dan masyarakat Indonesia.[21] Tampak bahwa usulan-usulan Baswedan itu diadopsi sebagai keputusan sidang.
PAI dan Siaran Berita Kemerdekaan
Kaum Arab Indonesia yang semula berpecah-belah dan terisolasi itu kini telah bersatu dan ikut menjadi bagian bumiputra. Dalam waktu singkat, PAI jadi amat populer. Berbagai surat kabar ikut mempropagandakannya. Para pemimpin dan partai politik, baik nasionalis-sekuler maupun nasionalis-Islam, ramai-ramai memberikan bantuan. PAI pun menjadi anggota GAPI (Gabungan Politik Indonesia) dan terlibat dalam gerakan “Indonesia Berparlemen”. PAI juga menjadi anggota MIAI (Majelis Islam A`la Indonesia). Ketika Republik diproklamasikan, PAI telah memiliki 60 cabang di berbagai kota. Para kader dan anggotanya juga ikut menyiarkan berita proklamasi kemerdekaan ke dalam dan luar negeri, khususnya ke Timur Tengah demi menarik dukungan internasional. Namun, tak lama sesudahnya, PAI dibubarkan oleh Jepang. Setelah itu, anggotanya menyebar, mayoritas masuk Partai Masyumi, termasuk Baswedan sendiri.
Masyumi dan Kiprah Pasca-Kemerdekaan
Di akhir zaman Jepang itu, Baswedan sempat menjadi anggota Chuo Sangi In (Dewan Penasihat Pusat). Ia lalu terlibat dalam berbagai lembaga, di antaranya menjadi anggota BPUPKI, Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada 1945, Menteri Muda Penerangan Kabinet Sjahrir pada 1946, anggota misi diplomatik ke Kairo pada 1947 di bawah pimpinan H. Agus Salim untuk memperjuangkan pengakuan kedaulatan RI yang berhasil menggaet Mesir sebagai negara pertama yang resmi mengakui kemerdekaan Indonesia, anggota Badan Pekerja KNIP dan anggota parlemen pada 1950, anggota Konstituante pada 1955, anggota Pengurus Pusat Masyumi pada 1960, dan Ketua Dewan Dakwah Islamiyah D.I. Yogyakarta.[22] Selain itu, Baswedan masih aktif dalam dunia jurnalistik dan kepenulisan hingga wafat pada 16 Maret 1986 di Jakarta.
Jangan Dilupakan!
Gagasan dan perjuangan A. R. Baswedan untuk menyatukan kaum Arab Indonesia dan meleburkan mereka menjadi bagian bumiputra melalui Sumpah Pemuda Indonesia Keturunan Arab dan pembentukan PAI itu merupakan sumbangan pemikiran dan jasa yang besar yang sayangnya kini banyak dilupakan, bahkan oleh orang Arab Indonesia itu sendiri. Diangkatnya sentimen anti-Arab dan dimunculkannya olok-olokan seperti “kadrun” dan “imigran Yaman” menunjukkan adanya amnesia sejarah yang parah dalam alam pandangan bangsa ini yang ironisnya sengaja dipelihara dan dimanfaatkan untuk kepentingan kekuasaan pihak-pihak tertentu.
Ditambah lagi, ada pihak-pihak yang menyejajarkan WNI keturunan Arab dengan WNI keturunan Tionghoa dalam sebutan “non-pribumi”, bahkan meninggikan WNI keturunan Tionghoa itu di atas kaum Arab Indonesia. Padahal sebutan itu sebetulnya oleh masyarakat ditujukan kepada WNI keturunan Tionghoa gara-gara soal “cukong” (oligarki), itu bukan untuk menuntut jasa.[25] Padahal, sebagaimana sejarah telah menunjukkan kepada kita secara objektif, Sumpah Pemuda Indonesia Keturunan Arab itu telah menyatakan bahwa kaum peranakan Arab itu adalah bagian yang tak terpisahkan daripada bumiputra. Orang Arab Indonesia dibesarkan dengan gado-gado, bukan dengan mulukhia. Dengan durian, bukan dengan kurma. Dengan sejuknya hawa gunung, bukan dengan panasnya padang pasir! Mereka dihidupkan bukan di pinggir Dajlah dan Eufrat, tapi di pinggir Musi, Kapuas, Bengawan, dan Brantas.[26]
Kesan HAMKA atas Baswedan
Memang benar kesan yang ditangkap oleh HAMKA akan tantangan yang dihadapi oleh Baswedan dan para penerusnya dalam perjuangannya itu. Bahwa mereka – dan juga kita – mesti berontak melawan, bukan saja kepada perasaan “tinggi setingkat” lalu isolasi, tetapi berontak juga kepada rasa kebangsaan atau nasionalisme Indonesia [yang chauvinistis] yang baru saja tumbuh, baru saja dikobar-kobarkan, yang orang Belanda turut menanamkannya. Yaitu perasaan bahwa orang Arab ialah orang asing. Malahan sampai ada yang menyebut kepada agama Islam itu sebagai agama asing, sebab dia agama orang Arab yang asing itu! Sedang ditanamkan didikan kepada anak negeri untuk membenci orang Arab.[27]
Dengan demikian, kita mesti melawan dua penghambat. Penghambat pertama ialah “chauvinisme” kebangsaan Indonesia yang telah dididik bertahun-tahun mengasingkan orang Arab. Penghambat kedua ialah kebekuan peranakan Arab sendiri yang melupakan sejarah sendiri dan terlena dengan isolasi yang eksklusif. Padahal sejarah Islam dan perkembangannya di Indonesia ini, sebelum datang penjajahan Barat, telah kaya dengan peranakan-peranakan Arab. Kebangsaan ketika itu ditentukan oleh dan didasarkan kepada Islam.[28]
Oleh: M. Miftahul Firdaus – Peneliti Shuffah Institute
[1] Surat HAMKA, dilampirkan dalam: A. R. Baswedan, Beberapa Catatan Tentang Sumpah Pemuda Indonesia Keturunan Arab 1934, (Jakarta: Penerbit Pers Nasional, 1974), hal. 23-24
[2] Suratmin dan Didi Kwartanada, Biografi A.R. Baswedan: Membangun Bangsa, Merajut Keindonesiaan, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2014), hal. 31-33
[3] Akmal Sjafril, “Sumpah Pemuda Keturunan Arab 1934 – Ust. Akmal Sjafril”, Channel Gerakan Pemuda Peduli Dakwah, (29 Januari 2022), menit 4:47 – 5:10, diakses tanggal 5 Oktober 2023, https://www.youtube.com/watch?v=_mlhCqTDZWo
[4] A. R. Baswedan, Beberapa Catatan Tentang Sumpah Pemuda Indonesia Keturunan Arab 1934, … hal. 5-6
[5] A. R. Baswedan, Beberapa Catatan Tentang Sumpah Pemuda Indonesia Keturunan Arab 1934, … hal. 17
[6] Taslim Batubara & Ahmad Muhajir, “Persatoean Arab Indonesia (PAI): Arab-Hadrami Community Integration Movement in the Dutch East Indies, 1934-1942”, AIJOSH, Vol. 4 No. 2 (2022), hal. 69-71 https://doi.org/10.25077/aijosh.v4i2.39
[7] A. R. Baswedan, Beberapa Catatan Tentang Sumpah Pemuda Indonesia Keturunan Arab 1934, … hal. 13
[8] A. R. Baswedan, Beberapa Catatan Tentang Sumpah Pemuda Indonesia Keturunan Arab 1934, … hal. 17
[9] A. R. Baswedan, Beberapa Catatan Tentang Sumpah Pemuda Indonesia Keturunan Arab 1934, … hal. 17-18
[10] Suratmin dan Didi Kwartanada, Biografi A.R. Baswedan …, hal. 251
[11] A. R. Baswedan, Beberapa Catatan Tentang Sumpah Pemuda Indonesia Keturunan Arab 1934, … hal. 18
[12] Taslim Batubara & Ahmad Muhajir, “Persatoean Arab Indonesia (PAI): Arab-Hadrami Community …, hal. 73
[13] R.J. Amaruli, N. N. Maulany & S. T. Sulistiyono, “Sumpah Pemuda Arab, 1934: Pergulatan Identitas Orang Arab-Hadrami di Indonesia”, Jurnal Sejarah Citra Lekha, 3(2), 2018, hal. 129 https://doi.org/10.14710/jscl.v3i2.19748
[14] A. R. Baswedan, Beberapa Catatan Tentang Sumpah Pemuda Indonesia Keturunan Arab 1934, … hal. 11
[15] A. R. Baswedan, Beberapa Catatan Tentang Sumpah Pemuda Indonesia Keturunan Arab 1934, … hal. 11
[16] R.J. Amaruli, N. N. Maulany & S. T. Sulistiyono, “Sumpah Pemuda Arab, 1934 …, hal. 129
[17] R.J. Amaruli, N. N. Maulany & S. T. Sulistiyono, “Sumpah Pemuda Arab, 1934 …, hal. 129
[18] A. R. Baswedan, Beberapa Catatan Tentang Sumpah Pemuda Indonesia Keturunan Arab 1934, … hal. 11
[19] Suratmin dan Didi Kwartanada, Biografi A.R. Baswedan …, hal. 83-84
[20] R.J. Amaruli, N. N. Maulany & S. T. Sulistiyono, “Sumpah Pemuda Arab, 1934 …, hal. 128
[21] R.J. Amaruli, N. N. Maulany & S. T. Sulistiyono, “Sumpah Pemuda Arab, 1934 …, hal. 129
[22] A. R. Baswedan, Beberapa Catatan Tentang Sumpah Pemuda Indonesia Keturunan Arab 1934, … hal. 5-6
[23] Erik Purnama Putra, “Viral Video Habib Kribo Sebut Haji ke Arab Hanya Buang-Buang Duit”, Republika, News, Umum, (Senin, 09 Jan 2023 11:38 WIB), diakses pada 6 Oktober 2023, https://news.republika.co.id/berita/ro7bkw484/viral-video-habib-kribo-sebut-haji-ke-arab-hanya-buangbuang-duit
[25] A. R. Baswedan, Beberapa Catatan Tentang Sumpah Pemuda Indonesia Keturunan Arab 1934, … hal. 20
[26] Surat HAMKA dalam A. R. Baswedan, Beberapa Catatan Tentang Sumpah Pemuda Indonesia … hal. 25
[27] Surat HAMKA dalam A. R. Baswedan, Beberapa Catatan Tentang Sumpah Pemuda Indonesia … hal. 25-26
[28] Surat HAMKA dalam A. R. Baswedan, Beberapa Catatan Tentang Sumpah Pemuda Indonesia … hal. 27