Lelaki tua, berpeci dan berkacamata dengan jenggot panjang menjuntai itu bukanlah pria sembarangan. Beliau salah satu founding fathers republik ini. Pria dengan seribu satu keunikan, kejeniusan tiada tanding dan jalan hidup penuh liku. Soekarno menggelarinya dengan sebutan The Grand Old Man of The Republic karena kehebatan dan jasa besarnya terhadap berdirinya negara Indonesia. Nama lahir yang diberikan oleh ayahnya adalah Masyhudul Haq, yang artinya pembela kebenaran. Namun, di kemudian hari beliau lebih dikenal dengan sebutan Agus Salim. Meskipun beliau sudah berganti nama, tapi semangat untuk membela kebenaran tidak padam dalam sanubarinya.
Pada tahun 1889, Prof. Dr. Christiaan Snouck Hurgronje datang ke Hindia Belanda sepulang melakukan penelitian di Mekkah (Suminto, 1985 : 11). Di Hindia Belanda ia bekerja sebagai penasehat di Kantoor voor Inlandsche Zaken (Kantor Urusan Orang Pribumi dan Arab). Kedatangan Snouck Hurgronje inilah yang kelak akan mengubah berbagai kebijakan politik pemerintah Hindia Belanda terhadap Islam di Nusantara. Pada awalnya pemerintah Hindia Belanda belum berani mencampuri masalah Islam dan belum memiliki kebijakan yang jelas mengenai masalah ini. Hal tersebut disebabkan karena pihak Belanda belum memiliki pengetahuan mengenai Islam dan bahasa Arab, sekaligus belum mengetahui sistem sosial Islam.
Keengganan mencampuri masalah Islam ini tercermin dalam undang-undang Hindia Belanda, sehingga pada tahun 1865 pemerintah Belanda tidak sudi memberikan bantuan bagi pembangunan masjid, kecuali jika ada alasan istimewa (Suminto, 1985 : 10). Akan tetapi di sisi yang lain, kebijakan untuk tidak mencampuri urusan agama ini bersifat tidak konsisten. Dalam urusan haji misalnya, pemerintah Belanda menerapkan berbagai regulasi yang sangat ketat. Tujuan utama Belanda mengeluarkan berbagai regulasi tersebut adalah untuk membatasi jumlah muslim pribumi yang akan menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Belanda berasumsi para haji yang pulang dari Mekkah akan bersentuhan dengan gerakan Pan Islamisme dan membawa semangat agitasi anti-pemerintah kolonial Hindia Belanda (Djamil, 2001 : 7).
Kedatangan Snouck Hurgronje di Hindia Belanda membawa angin segar bagi pemerintah kolonial untuk merumuskan berbagai kebijakan barunya terhadap ajaran Islam sebagai agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat pribumi. Di mana sebelumnya pihak kolonial Belanda mengalami trauma yang sangat mendalam terhadap Islam karena berbagai perlawanan yang disebabkan olehnya. Timbulnya aneka perlawanan seperti Perang Paderi (1821 – 1827), Perang Diponegoro (1825 – 1830), Perang Aceh (1873 – 1903) hingga Pemberontakan Petani Banten (1888) disebabkan oleh dorongan agama. Snouck Hurgronje merumuskan berbagai pendekatan baru untuk menjinakkan gerakan umat Islam di Nusantara.
Jika sebelumnya pihak Belanda menggunakan cara-cara kekerasan dan pemaksaan, maka Snouck mengajak pemerintah untuk menggunakan cara yang lebih halus lagi. Salah satu cara yang ditempuh Snouck adalah menggunakan politik asosiasi lewat jalur pendidikan. Politik asosiasi pendidikan tersebut dijalankan dengan memberikan kesempatan kepada anak para elit pribumi untuk mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah Belanda. Tujuan utama dari politik asosiasi ini adalah untuk mem-Belanda-kan anak-anak elit pribumi, sehingga ketika mereka sudah ter-Belanda-kan secara otomatis rakyat akan mengikuti pemimpin tradisionalnya, dengan begitu Belanda akan lebih mudah mengendalikan kaum pribumi untuk melanggengkan kekuasaan di daerah jajahannya.
Tahun 1890 murid petama dari elit pribumi adalah Pangeran Aria Ahmad Djajadiningrat, anak Bupati Serang yang berganti nama menjadi Willem van Banten agar dapat masuk di sekolah Belanda (Suminto, 1985 : 41-43). Adapun tujuan lain dari politik asosiasi pendidikan ini sebenarnya adalah untuk menjinakkan Islam sebagai agama perlawanan terhadap pihak Belanda dan juga mewariskan agama Kristen kepada masyarakat pribumi (Suminto, 1985 : 43). Pendidikan Barat yang (dalam citra orang Barat) maju dan lebih berkebudayaan, menurut Snouck akan menjadi magnet yang mampu menarik masyarakat pribumi melepaskan agamanya.
Pada tahun 1901 di negeri Belanda, partai agama berhasil menjadi pemenang pemilu. Hal ini menyebabkan perubahan wajah politik Belanda. Partai Liberal yang telah menguasai politik selama lima puluh tahun kehilangan kekuasaannya. Ratu Wilhelmina dalam pesan tahunannya yang disampaikan dari tahtanya di hadapan dewan Parlemen pada 1901 mengemukakan tentang “hutang budi” dan tanggung jawab etis negeri Belanda kepada rakyat jajahan di Hindia sebagai bentuk pertanggungjawaban moral (Latif, 2012 : 90).
Pada perkembangan selanjutnya, kebijakan baru parlemen Belanda tersebut dikenal dengan istilah Politik Etis. Munculnya kebijakan politik etis ini sangat serasi dengan nasehat-nasehat Snouck Hurgronje kepada pemerintah Belanda yang telah berjalan sebelumnya, terutama dalam politik asosiasi pendidikan. Sekali lagi, politik etis yang dijalankan oleh penjajah Belanda bukan semata-semata untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan kehidupan rakyat pribumi, melainkan tujuan sesungguhnya adalah sama dengan apa yang dirumuskan oleh Snouck Hurgronje, yaitu untuk melanggenggkan kekuasaan kolonial di Nusantara dan memberangus “fanatisme” Islam, dan salah satu cara yang paling efektif adalah melalui jalur pendidikan (Latif, 2012 : 102).
Sekitar tahun 1898, salah satu anak elit pribumi yang berhasil menjadi siswa di Hoogere Burgerschool (HBS) Jakarta adalah Agus Salim. Beliau mampu melanjutkan pendidikan di sekolah Belanda karena ayahnya seorang hoofdjaksa pada Landraad en Onderhorigheden di Riau atau jaksa tinggi pada Pengadilan Negeri Riau. Jabatan sang ayah yang cukup mentereng tersebut membuat Agus Salim bisa bersekolah di ELS (Europeesche Lagere School) dan HBS. Tentu saja faktor utamanya bukan semata-mata karena jabatan ayahnya, namun memang pada masa itulah periode pemerintah Belanda menjalankan politik asosiasi pendidikan atas nasehat dari Snouck Hurgronje. Pada saat Agus Salim bersekolah di HBS Belanda, salah satu anak elit pribumi yang juga bersekolah di tempat tersebut adalah Husein Djajadinigrat.
Ketika awal mula Snouck Hurgonje ingin menjalankan politik asosiasi lewat jalur pendidikan, muncul rasa pesimis dari pihak Belanda. Apakah mungkin otak orang pribumi mampu untuk mempelajari pengetahun modern, begitulah dugaan awal pihak Belanda. Namun, ketika Husein Djajadiningrat berhasil mendapatkan gelar doktor dengan predikat cumlaude di Leiden (Suminto, 1985 : 42) dan juga Agus Salim berhasil menjadi lulusan terbaik HBS se-Hindia Belanda mengalahkan anak-anak kulit putih (Mochtar, 1984 : 38), Snouck Hurgronje berhasil membuktikan bahwa anak-anak pribumi juga mampu mencapai prestasi yang tinggi dan mematahkan tuduhan miring tersebut.
Selama lima tahun menempuh pendidikan di HBS Jakarta terjadi perubahan yang sangat drastis dalam diri Agus Salim. Keyakinannya terhadap ajaran agama Islam yang selama ini diyakini olehnya terasa tercerabut. Ia hampir menjadi agnostik, ragu terhadap Tuhan (Ma’arif, 2004 : 5). Agus Salim sendiri menuturkan kisah ini sewaktu menyampaikan kuliah di Cornell University, Ithaca. Faktor utama yang melatarbelakanginya adalah karena kedigdayaan sains Barat yang diajarkan di HBS. Akhir Abad ke-19 adalah masa dimana sains Barat mengalami masa kegemilangannya dengan melakukan berbagai penemuan canggih. Sains Barat bersifat empirik dan bisa dibuktikan kebenarannya secara materialistis. Sedangkan ajaran agama seringkali bersifat dogmatik yang susah dibuktikan secara empirik melalui eksperimen-eksperimen layaknya sains.
Perubahan sikap Agus Salim yang sudah tidak lagi tekun menjalankan ajaran agama dirasakan oleh ibundanya, Siti Zainab. Beliau sangat cemas dengan perubahan yang terjadi dalam diri anaknya setamat dari HBS Jakarta. Beliau berharap sang anak dapat kembali menjalankan ajaran Islam dengan baik (Mochtar, 1984 : 42-44).
Agus Salim menjadi kelinci percobaan Snouck Hurgronje sebanyak dua kali. Pertama kalinya ketika ia menjadi pelajar di HBS Jakarta, hasilnya adalah ia hampir menjadi seorang agnostik. Dan kali kedua setamat beliau dari HBS Jakarta. Snouck Hurgronje waktu itu sedang melakukan eksperimen penempatan tenaga pribumi pada perwakilan Belanda di luar negeri. Agus Salim mendapatkan tawaran langsung dari Snouck untuk bekerja sebagai dragoman atau ahli penerjemah di Konsulat Belanda di Jeddah. Jika ekperimen pertama menjadikan Agus Salim ragu terhadap Tuhan dan tidak memercayai agama apa pun, maka eksperimen yang kedua ini berakibat sebaliknya.
Awalnya Agus Salim tidak bersedia menerima tawaran tersebut. Karena ia sudah bertekad tidak akan bekerja menjadi pegawai pemerintah Hindia Belanda. Ayah dan Ibunya terus membujuknya agar mau bekerja di Jeddah. Sang ayah beralasan bahwa pada hakikatnya jika dirinya bekerja di Konsulat Belanda di Jeddah bukanlah menjadi pegawai pemerintah Hindia Belanda, namun langsung di bawah Kerajaan Belanda. Adapun alasan sang ibu berharap anaknya bekerja di Jeddah agar bisa bertemu dengan pamannya, yaitu Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, pembaharu Islam dan pemuka madzhab Syafi’i di Mekkah (Tempo, 2013 : 69). Ibunda Agus Salim berharap sang paman mampu membawa anaknya kembali meyakini ajaran Islam. Lima tahun lamanya Agus Salim berguru dengan sang paman. Sedikit demi sedikit syubhat agnostis yang melekat di kepalanya berhasil dicabut. Agus Salim menuliskan pengakuan tentang kemantapan keyakinannya terhadap Islam di surat kabar Bendera Islam, tanggal 2 Mei 1927 (Mochtar, 1984 : 45) :
“… semasa itu keislamanku seolah-olah bawaan kebangsaan saja dan bukanlah menjadi agama keyakinan yang bersungguh-sungguh. Tetapi selama lima tahun di Saudi Arabia saya lima kali naik haji dan bertambah dalam sikap saya terhadap agama, daripada tidak percaya menjadi syak (ragu) dan daripada syak menjadi yakin mengakui keadaan Allah dan agama Allah…”
Andaikan waktu itu Agus Salim menolak tawaran Snouck Hurgronje untuk bekerja di Jeddah, tentulah beliau tidak akan menjadi godfather Jong Islamieten Bond (JIB), tidak akan menjadi pemimpin perjuangan Syarikat Islam dan tokoh Masyumi, tidak akan menjadi pemikir dan cendekiawan Islam di nusantara dan tidak akan menjadi tokoh yang membidani lahirnya Republik Indonesia-tentu semua itu adalah takdir dari Allah agar ia mau menerima tawaran Snouck. Dia akan menjadi vrije denker yang akan dikutuk oleh lingkungan Kota Gadang dan umat Islam Indonesia (Ma’arif, 2004 : 122). Haji Agus Salim berhasil menjadi tokoh Islam yang hebat berkat doa sang ibu dan “barokah” Snouck Hurgronje.
Masyhudul Haq, tetap menjadi Masyhudul Haq hingga akhir hayatnya.
Oleh: Muhammad Fikri Hidayatullah – Dosen Politeknik Harapan Bersama Tegal
Referensi :
Djamil, Abdul. 2001. Perlawanan Kiai Desa. Yogyakarta : LKiS.
Latif, Yudi. 2012. Inteligensia Muslim dan Kuasa : Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad ke – 20. Jakarta : Yayasan Abad Demokerasi.
Ma’arif, Ahmad Syafi’i. 2004. H. Agus Salim (1884 – 1954) Tentang Perang, Jihad dan Pluralisme. Jakarta : Gramedia.
Mochtar, Kustiniyati. 1984. Agus Salim Manusia Bebas dalam kumpulan tulisan Seratus Tahun Haji Agus Salim. Jakarta : Sinar Harapan.
Suminto, Aqib. 1985. Politik Islam Hindia Belanda. Jakarta : LP3ES.
Tempo Edisi Khusus Kemerdekaan, Agus Salim : Diplomat Jenaka Penopang Republik. Terbit tanggal 18 Agustus 2013.