Gagasan besar maupun misi strategis yang dimiliki seseorang tidak akan dapat diwujudkan jikalau tidak ada sahabat yang senafas sepikiran, seide sehati, tak goyah dikala susah, tak jumawa tatkala jaya.
Persahabatan seperti itu tidak akan dapat muncul di atas basis kesementaraan, sasaran jangka pendek, berorientasi pada capaian-capaian materi, pada kontestasi raihan kuasa dan wibawa.
Ketika Nabi membentuk lingkaran persahabatan, yang terdiri dari orang-orang dengan strata sosial paling rendah di tanah Mekah hingga kelas sosial tertinggi, tak pernah dijanjikan kepada mereka akan meraih posisi apa, dan akan mendapatkan apa. Nabi “hanya” mengatakan bahwa mereka telah mendapatkan legitimasi tertinggi dari yang Maha Memiliki. Tuhan telah “mengakui” mereka melalui Kalam-Nya:
“….Radlhiyallaahu ‘anhum wa radlhuu ‘anhu…”
(Allah meredhai mereka dan mereka redha dengan (segala Janji dan Keputusan) Tuhan-nya).
Dikemudian hari, para sahabat itu mendapatkan sebutan yang teramat mulia, dan tak kan terhapuskan, yaitu “Radhiyallaahu ‘anhu”, dalam abjad latin sering disingkat menjadi “R.A”, yang dipahatkan di ujung namanya.
Memang begitu, hanya simpul ideologi, dataran spiritual dan pahit derita perjuangan yang dapat menciptakan persahabatan yang tak kan teruraikan oleh kekuatan apapun, bahkan “tirani” waktu pun tak dapat menghapusnya.
Begitulah Nabi dengan para sahabatnya, demikian juga orang-orang besar lainnya, hal yang sama pun dipraktekkan oleh sosok termasyhur, HAMKA.
Hamka mempunyai begitu banyak sahabat dalam berjuang, di mana-mana medan perjuangan ia gumuli, di sana muncul sahabat ideologis yang selalu mendampingi.
Demikianlah sejatinya, sejak dikampung halamannya, hingga merantau ke Deli, merambah ke Sulawesi, meretas ke Kalimantan, mengharu biru di tanah Jawa hingga “meneruka” benteng perjuangan di Jakarta, Al-Azhar namanya di Kebayoran Baru tempatnya, Hamka dikelilingi para sahabat yang selalu setia bersamanya. Bukan mengharap benda, kuasa dan wibawa, tapi karena diikat seutas tali yang sama, Ideologi, misi dan strategi.
Tidak banyak yang tahu bahwa salah seorang Sahabat Hamka itu adalah seorang anak muda yang berasal dari Kuraitaji, sebuah nagari yang terletak dalam gugus kawasan pantai barat pada titik Rantau Pariaman, nama anak muda itu Haji Sidi Muhammad Ilyas (Hasmi).
Terpaut usia dua tahun, (Hamka lahir 1908, Hasmi 1910), keduanya menjalani masa penting dan genting dalam perjuangan. Hamka seolah menjadikan rumah Hasmi (terletak dekat simpang Basoka Kuraitaji, kini kantor BPR La Mangau) seperti rumahnya sendiri, demikian juga anak-anak Hasmi dia perlakukan seperti anaknya sendiri, dia bertetiduran, bercanda dan bergurau di rumah itu, dengan Hasmi dan anak-anaknya.
Banyak hal yang membuat persahabatan indah itu tercipta, ada aspek ikatan ideologis yang disebutkan di atas tentunya, aspek perjuangan Hasmi sendiri yang telah menjadikan Kuraitaji sebagai mitra sejajar Padang Panjang dalam meluaskan paham modernisme Muhammadiyah di ranah Minang. Tapi mungkin ada hal yang tidak kalah pentingnya, yaitu Hamka ingin merasakan bagaimana hembusan angin, tawarnya air yang diminum, pecah di lidahnya nasi yang dimakan, sungai-sungai yang mengalir jernih, deburan ombak yang tak pernah henti bergerak yang menjadi inspirasi bagi anak-anak yang tumbuh di sepanjang ombak yang berdebur itu. Hamka ingin berketerusan mencecahkan kakinya di wilayah hebat dan penuh cerita itu.
Setiap berada di Kuraitaji, dia merasa seperti pulang ke rumah sendiri, bukan hanya karena merasa telah menyatunya hati dengan Hasmi, tapi juga tentang imajinasinya yang tak pernah mati, tentang kakeknya yang berasal dari Pauh Pariaman (Sebagai yang ia ceriterakan dalam “Ayahku” itu), tentang dinamika dan gejolak keagamaan yang menjadi salah satu faktor moyangnya pergi “larat” ke wilayah Luhak dan menepat di salah satu titiknya, Maninjau ia bernama.
Begitulah, Hamka telah menjadikan Kuraitaji menjadi rumah keduanya, keluarga Hasmi tepatnya. Sama dengan posisi Kuraitaji sendiri, yang telah menjadi episentrum kedua bagi berkecambahnya Muhammadiyah di titik Rantau pantai Barat Pariaman dan sekitarnya.
Lalu, tentang persahabatan itu ?
Dia telah meningkat maqamnya menjadi bagian dari keluarga, tak lagi pada ranah persahabatan belaka. Hamka menjadi saksi bagi perkawinan anak Hasmi di rumah Kuraitaji itu, bahkan memberi nama pada cucu Hasmi yang lahir berkepiritan.
Anak-anak Hasmi juga menjadi orang-orang pandai dan cerdas, berperan dalam berbagai ranah kehidupan. Salah seorang putri kinasih Hasmi, kelak menjadi istri satu-satunya Tarmidzi Taher, salah satu mata rantai Menteri Agama RI.
Persahabatan monumental itu, memang tak kan tersirnakan oleh waktu. Kini kedua nama itu (Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Hamka. Haji Sidi Muhammad Ilyas, Hasmi) diabadikan menjadi nama Jalan.
Jalan Prof.Dr. Hamka, adalah salah satu jalan protokol di kota Padang, ada kebanggaan bagi individu dan lembaga yang berdomisili di jalan ini. Salah satunya adalah Universitas Negeri Padang (UNP), setiap menyebut nama itu ada inspirasi yang muncul dan spirit yang hidup, ada semangat untuk menjaga nama itu agar digunakan utk hal-hal yang tepat dan pantas, semangat itu muncul begitu saja.
Suatu waktu seorang tua, usianya sudah 70-an, menyampaikan protes, keluh dan kesalnya pada saya. Pasalnya, ada sebuah “kedai kopi” yang terletak di kawasan Jalan itu bernama “Kedai Kopi Hamka”. Begitu cara orang tua itu menghormati nama “Hamka”, sehingga menurut pendapatnya nama itu tak layak untuk sekedar dijadikan sebagai nama kedai kopi. Lain pula mentaginya bapak itu.
Tapi orang tua itu mungkin ada benarnya juga, bagaimana kalau seandainya nanti, dengan perkembangan kota yang begitu pesat, kemunculan berbagai bangunan di Jalan utama ini tentu tak terelakkan. Mungkin nanti akan ada “Hamka Supermall”, atau “Hamka Showroom” atau mungkin “Hamka Fitness Center””. Nama2 seperti itu tentu tidak akan menimbulkan masalah. Namun tidak mustahil nanti investor membuat tempat hiburan terpadu, lalu diberi nama “Hamka Discotique”. Baru mantap!
Berbeda dengan Jalan Haji Sidi Muhammad Ilyas (Hasmi). Jalan ini begitu damai permai dan alami, seolah menyiratkan karakter Hasmi yang Lurus, hanif namun cenderung pendiam. Jalan ini terletak di lingkar pinggir kota kecil Pariaman, di sebuah desa bernama Padang Cakua. Tidak ramai, tapi memang terkesan permai. Suasananya bersih, sepanjang jalan sawah luas terbentang kiri dan kanan. Jalan ini menjadi penting karena di salah satu sisinya berdiri pabrik pupuk yang memproduksi 100 ton per hari pupuk berbagai jenis. Pabrik pupuk ini bernama “Suwarni Agro Utama”. Suwarni adalah salah seorang Putri Hasmi, dia berinvestasi dalam ranah Agro Industri. Beliau juga sudah Almarhumah, kini pabrik ini terus berkembang digerakkan oleh anak cucu Hasmi.
Maka abadilah persahabatan itu, keduanya telah kembali menghadap Tuhannya. Tapi namanya telah dipahatkan dengan penuh kehormatan. Sesungguhnya kita tak pernah benar-benar merasa kehilangan. Pada jejak yang mereka tinggalkan ada semangat yang tak kan terhapuskan, mereka seperti menatap penuh suka, karena peninggalan mereka tak terhapuskan Sang Kala.
Saya sandingkan nama kedua jalan ini, seolah di sisi tiang nama itu keduanya tegak berdiri. Tersenyum, tersenyum lagi, wibawanya menyinari, memantik inspirasi yang tak kan pernah mati…..
Wallaahu A’lam
Oleh: Abdul Salam – Pengajar di Universitas Negeri Padang (UNP), Ketua Majelis Tabligh PW Muhammadiyah Sumatera Barat.
[…] Telah juga diterbitkan oleh Website Jejak Islam untuk Bangsa […]