YOGYAKARTA- “NGOBRAS” JIB di bulan Ramadhan Mubarak 1438 H kali ini istimewa. Bersama STEI HAMFARA dalam serangkaian acara “Ramadhan di Hamfara” mengangkat sebuah tema penting sejarah Kristenisasi Tanah Jawa. Mendatangkan Ustadz Arif Wibowo dari Pusat Studi Peradaban Islam (PSPI) sebagai pembicara kajian sejarah di Masjid Kampus STEI HAMFARA, (09/06/17)
“Mengapa Jawa ini kita ambil sebagai contoh Kristenisasi? Padahal dalam sebuah buku yang berjudul Pertemuan Islam dan Krsiten di Jawa , dulu di Jawa itu kalau ada orang yang masuk Kristen mereka akan disebut sebagai “Orang Jawa yang kehilangan Jawanya”. Atau sebutan lainnya yang tersebar di masyarakat yakni “Jowo Wurung, Londo Durung”. Artinya, Secara keislaman orang tersebut belum tetapi Kristenpun belum. Hal ini menunjukkan bahwa pada masa dahulu etnis di Jawa itu identik dengan Islam”. Ungkap Ustzad Arif memulai acara tersebut.
Hal demikain berlaku juga ketika kita menyebut masyarakat yang berada di Aceh, Padang, dan Sunda. Islam sudah melekat dan identik dengan mereka. Namun, bagi Jawa tidak lagi melekat. Jika ditarik sejarah di Jawa pada masa silam, kesemuanya itu berangkat dari peristiwa di masa Amangkurat I.
“Ketika masa Sultan Agung, ia sudah membentuk struktur masyarakat yang dimana terdapat kiai yang mengajarakn Islam dan biasa mengajarkan kitab fiqh di Masyarakat. Namun ketika dakwah Islam belum usai, Belanda datang. Sehingga dilanjutkan penggantinya Sultan Agung yaitu Amangkurat I dan II, dan keduanya ini suka bergaul dan dekat dengan Belanda dari pada ulama. Ada seorang prajurit yakni Trunojoyo, seorang prajurit yang tidak senang melihat itu dan akhirnya menyerbu Kraton Surakarta dan mengalahkan Amangkurat I. Ia (Amangkurat I) sempat menyatakan taubat. Tetapi apa yang dilakukan Amangkurat? Ia melakukan tipu daya. Kala itu ulama se-Jawa diundang ke Alun-Alun Utara Kraton Surakarta untuk Muktamar. Tetapi begitu datang, gerbang alun-alun ditutup dan ulama-ulama itu dibantai oleh Amangkurat I. Dan sejak saat itu “Deislamisasi Jawa” terjadi, ungkapnya
Meskipun demikian proses deislamisai itu sempat berubah ketika muncul sosok Diponegoro yang terlahir dari keluarga santri, dan mendapat pendidikan Islam yang kuat. Akan tetapi di masa Amangkurat I itu juga upaya deislamisai tersebut berlanjut pasca kekalahan Perang Diponegoro. Walhasil, kekalahan umat Islam di Perang Diponegoro membuat umat Islam tidak yakin bahkan untuk mencapai kejayaan Islam di tanah Jawa itu seolah berakhir. Sehingga, situasi ini dimanfaatkan Belanda dengan kebijakan-kebijakan yang diterapkan untuk masyarakat Jawa
Diantara kebijakan tersebut yang disampaikan Ustazd Arif yakni “Belanda membuat strukutur baru (Pamong Praja) yang terdiri dari Bupati dan jabatan ini ditetapkan secara turun menurun dari keluarga. Makanya kemudian di tahun 1850 Belanda mendirikan sekolah untuk Pamong Praja”. Proses inilah yang kemudian terjadi keterputusan birokrasi dan masyarakat Jawa ke Kraton itu terputus. Selain kebijakan membentuk struktur, Belanda juga mencetuskan Politik Etnis yang semakin memudahkankan Belanda itu melakukan proses masuknya pendidikan modern yang berasaskan sekulerisme.
“Yang pada awal mulanya, di masyarakat Jawa itu pendidikan orientasinya adalah membentuk jati diri seorang Muslim yang taat, tetapi pendidikan Belanda merubah orientasinya untuk bekerja” ucapnya
Ia menambahkan bahwa “cara membuat orang Jawa menjadi Katolik (mengkatolikkan masyarakat Jawa) adalah mendidik para guru yang akan mengajari orang awa. Sehingga kepemimpinan intelektual akan dipimpin oleh orang Katolik. Sehingga mereka akan secara suka rela masuk Katolik, atau minimal pikiran mereka tersekulerkan. Selain”. Selain pendidikan cara lain yang digunakan untuk menarik perhatian serta mengubah maindset masyarakat jawa sehingga tidak lagi takut dengan orang Belanda adalah membentuk layanan kesehatan. Sehingga orang-orang Katolik sejak dulu juga masif mendirikan rumah sakit. Inilah yang akhirnya membuat masyarakat jawa berpikiran dan tidak lagi melihat jahatnya Belanda seperti saat pertama kali ketika mereka masuk dengan membawa serdadu, tuturnya.