Mantra bernama kristenisasi memang luar biasa. Halus atau kasar bukan soalnya. Tapi kegigihan mereka yang menjadi muara. Corak kristenisasi di Indonesia memang beragam wajahnya. Adakalanya menumpang kapal bernama penjajahan. Misionaris menjadi kompasnya, tentara mengekor dibelakangnya. Seperti yang terjadi dalam pengabaran kepada orang-orang ditanah Batak[i]. Kadang kala pula nekad berkelana sendirian ke pedalaman. Ada pula yang hinggap menikmati dampak kebijakan “modernisasi” pemerintah kolonial. Seumpama di Toraja[ii]. Atau Kristenisasi ala kristen pribumi masa silam, yang tidak bergandengan dengan penjajah. Ia serupa dengan angin, berkelana kemana saja. Menantang akidah si Muslim. Mengajak berdebat, yang kalah, imannya mangkat. Bertukar dengan iman si pendebat.
Kiyai Sadrach umpamanya. Ia tak sudi berada dibawah kolong sang Belanda. Cara ia ‘berdakwah’ dianggap bid’ah oleh Si Kulit Putih. Tapi ini tak menghentikan langkahnya mencari pengikut. Bukan satu dua oran bertukar iman. Puluhan hingga ribuan. Metodenya mudah, debat dan taklukkan perisai iman si kiyai, ulama atau ustad, maka jemaahnya akan menyusul. Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui.[iii]
Peredebatan soal akidah antara Islam dan Kristen sudah dapat kita temukan sejak masa silam. Salah satunya terekam dalam Buku Kawan Lawan Kawan. Buku Kawan Lawan Kawan adalah rekaman sebuah perdebatan di masa silam. Pelakunya antara H.Fachrodin dengan dua orang nasrani, yang pernah memeluk Islam. Diterbitkan notulensinya dalam Bintang Islam . Sebuah majalah dua mingguan yang beliau gawangi. Di muat nomor 20 – 23, tahun 1926. Verslag (laporan debat) ini kemudian dibukukan atas permintaan pembaca. Seperti yang dituturkan oleh H. Fachrodin dalam pengantar bukunya tersebut,
“Maka pada pendapatan kita, oleh karena samboengannja itoe masih amat pandjang, terpaksalah kita menoeroeti voorstel (usul-pen) saudara-saudara jang minta ditjitak didjadikan boekoe sekarang soedah rampoeng dan djadi. Harganja boekoe ini kita bikin jang sangat moerahnja, agar soepaya lekas dibatja oleh kebanjakan saudara.”[iv]
Buku itu bahkan mengalami naik cetak hingga berkali-kali dan telah terbit hingga ribuan eksemplar. Setidaknya, buku yang penulis miliki, adalah buku cetakan kelima sejak pertama kali terbit pada tahun 1926.[v]
H. Fachrodin merupakan seorang Muhammadiyah tulen. Keluarganya murid-murid langsung KH Ahmad Dahlan. Kakaknya, H. Syuja adalah ketua PKO Muhammadiyah pertama. Adiknya Ki bagus Hadikusumo kelak menjadi pemimpin Muhammadiyah pula. Ia sendiri? Pendakwah, pembela buruh, jurnalis dan ‘Djempolan’ Muhammadiyah.[vi]
Perdebatan yang berjalan dalam beberapa kali pertemuan. Di awali dengan perkenalan dengan dua orang Christen di dalam spoor (kereta api). Tantangan perdebatan yang dilempar dua orang tadi disambut hangat H. Fachrodin. Taruhannya? Berpindah keyakinan. Yang kalah mengikuti agama yang menang. Dicatat dalam surat perjanjian. Tetapi bagi H. Fachrodin perdebatan agama bukan soal bertukar iman. tetapi mengikuti kebenaran dan keyakinan. Jika memang benar, tanpa perlu dijanjikan pun akan mengikutinya.
“Djikalau kita soenggoeh merasa mendjadi hamba Allah dengan sesoetji-soetjinja, tentoe tida akan ajal lagi berboeat dan mendjalankan kebenaran dan menoeroeti akal dan fikiranja…Saudara-saudara mesti ingat sendiri. Apakah pada waktoenja saudara beladjar agama Christen memakai perdjandjian? Ataoekah mendjalankan agama Christen itoe menoeroet sepandjang penerimaan fikiran saudara sendiri?”[vii]
Akhirnya tercapai kesepakatan bahwa perdebatan ini akan dimuat dalam surat kabar masing-masing. Dan bagi H. Fachrodin perdebatan agama bukan untuk permusuhan. tapi mengungkap kebenaran. Dengan kesantunan.
“Kita bertiga itu memang bersoengoeh-soengoeh bermaksoed mentjari kebenaran belaka. Sedikitpun kita sekalian didalam hati tida ada isi dengki dan panas, melainkan dengan kesoetjian hati belaka.”[viii]
H. Fachrodin memang seorang kristolog ‘Djempolan.’ Meskipun beliau tidak pernah khusus berguru mengenai agama Kristen, melainkan hanya membaca-baca Alkitab saja, namun ia mampu membuat duo Christen tersebut tersudut.
“Beladjar tida, tetapi membatja Bijbel dan sering-sering membitjarakan perkara-perkara ajat-ajat didalam Bijbel dengan saudara-saudara Christen, itoe soedah kerap kali,…”[ix]
Diserangnya keyakinan duo Christen tadi dari perkara ayat-ayat Alkitab yang berselisihan. Umpamanya perselisihan Kitab Radja-Radja ke II pasal delapan ayat 26 dengan Kitab Tawarich III Pasal 22 ayat 2.
“Ini perkara boekan perkara jang ketjil sadja, tetapi ada satoe perkara kebenaran dengan kebatalan dan kesoetjian dengan kekotoran…Dari itoe kita tanjakan, manakah ajat doea itoe jang benar dan jang salah?”[x]
Begitu pula malam berikutnya ketika membicarakan kepercayaan Christen yang menjadikan Yesus Tuhan karena mampu menghidupkan orang yang telah wafat.
“Sebab ada orang jang menghidoepkan orang jang telah mati, tetapi orang Christen tida soeka anggap atau angkat mendjadi Toehan….Iljasa ada menghideopkan anak laki-laki dari Djanda jang ditoempangi roemahnja itoe. …Tetapi betapa Iljasa tida diangkat mendjadi Toehan seperti Jezus?”[xi]
Beragam topik yang semakin dibahas semakin membuat duo Christen tadi terkurung dalam kerancuan Bijbel itu sendiri. Hingga akhirnya membuat dua orang tadi justru kembali memeluk Islam.[xii]
“Verslag kita soal – djawab tentang agama Christen, kita berhentikan sampai disini, karena soedah tjoekoep semoeanja dan soedah dihabisi dengan oetjapan Sjahadat oleh LAWAN kita bekas KAWAN sekarang soedah menjdadi KAWAN poela.”[xiii]
Yang menarik dari perdebatan ini juga pemakaian kata-kata yang dekat dengan Islam pada masa itu. Seperti kenaikan Yesus disebut oleh dua orang Christen tadi dengan ‘Mi’raj’. Atau kata beribadat dengan ‘Sembahjang.’ Kita jadi teringat akan Kiyai Sadrach yang akrab ‘dakwahnya’ dengan istilah dalam Islam.
Apa yang telah H. Fachrodin torehkan dalam perdebatan dengan kesantunan ini meninggalkan hikmah bagi kita untuk menanggapi gerakan misionaris dengan kepala dingin. Bila Seorang mubaligh besar seperti H. Fachrodin saja tak luput dari sasaran para misionaris ini, apalagi rakyat jelata. Namun reaksi H. Fachrodin justru mampu mengembalikan mereka kembali kepada akidahnya. Namun perdebatan ini menyisakan pertanyaan bagi kita saat ini. Jika beliau sejak lampau menegaskan garis antara Islam dengan Christen, justru sebagian generasi Muhammadiyah saat ini malah mengaburkan garis perbedaan itu dengan mantra pluralisme agama. Kemana teladan H. Fachrodin itu mereka campakkan? Semoga Allah menunjukkan jalan kepada kita semua.
Judul : Kawan Lawan Kawan
Penulis : H. Fachrodin
Tahun Terbit : Tanpa tahun.
Cetakan : 5
Jumlah Halaman : 55
Penerbit : H. M. Soedja (saudara toea dari pengarang) – Mataram
[i] Kozok, Uli (2010). Utusan Damai di Kemelut Perang, Peran Zending dalam Perang Toba. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
[ii] Kroef, Justus Ven Der (1984). Gerakan-gerakan messianik di Sulawesi, Sumatera dan Kalimantan dalam Sylvia L. Thrupp. Gebrakan Kaum Mahd. Bandung: Penerbit Pustaka.
[iii] Guillot, Claude (1985) Kiai Sadrach; Riwayat Kristenisasi di Jawa. Jakarta: Grafiti Pers.
[iv] H.Fachrodin. Kawan Lawan Kawan. Djokdjakarta: H.M. Soedja.
[v] Ibid
[vi] Ibid
[vii] Ibid
[viii] Ibid
[ix] Ibid
[x] Ibid
[xi] Ibid
[xii] Ibid
[xiii] Ibid
Dapatkah buku-buku lawas ini didapat versi e-book/pdf-nya?
sejauh ini belum ada, karena kami belum sempat scan dan uploadnya