Kedudukan Pengadilan Surambi tidak secara langsung berada di bawah raja, namun dipimpin oleh Ulama’. Keputusan persidangan yang dilakukan di serambi masjid ini berfungsi sebagai nasihat bagi raja (Sultan atau Sunan) dalam mengambil keputusan

Pelaksanaan syari’at Islam di Nusantara pada masa lalu adalah sebuah fakta sejarah. Sejumlah lontaran opini yang menyebutkan bahwa hukum Islam tidak sesuai untuk kemajemukan bangsa Indonesia justru merupakan pernyataan yang ahistoris. Sejarah telah membuktikan bahwa bangsa Indonesia di masa lalu pernah diatur oleh hukum syariat dan kalangan non-muslim pun bisa hidup di dalamnya secara damai. Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta awalnya telah menggunakan hukum Islam dalam pengadilan yang dilakukan. Pengadilan ini secara resmi diberi nama al-Mahkamah al-Kabirah. Namun masyarakat Jawa pada masa itu lebih mengenalnya dengan sebutan Pengadilan Surambi sebab pelaksanaannya dilakukan di serambi Masjid Agung.

Pengadilan Surambi dilaksanakan berdasarkan syari’at Islam dengan cakupan meliputi pengadilan untuk perkara hukum terkait perkawinan, talak, warisan, dan juga hukum pidana. Hukum Pidana yang ditangani biasanya berkaitan dengan tindak kejahatan seperti pencurian, pembunuhan, dan lain sebagainya. Sementara penanganan Pidana yang berkaitan dengan administrasi dan persoalan Agraria (pasiten) dilaksanakan oleh Pengadilan Bale Mangu. Di Yogyakarta, pengadilan Surambi dilaksanakan di serambi Masjid Ageng Ngayogyakarta.

Keberadaan Pengadilan Surambi ini hakikatnya merupakan manifestasi perpanjangan tangan dari pelaksanaan tugas dan wewenang raja Jawa sebagai sayidin Panatagama (Yang Dipertuan yang bertugas mengatur urusan agama. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa Kraton Jawa terutama dinasti Mataram pada masa itu merupakan sebuah kerajaan Islam yang menerapkan syariat Allah. (Lihat: Basiq Djalil, Peradilan Islam, Jakarta: Amzah, 2012, p. 193)

 

PEDOMAN DAN PELAKSANAAN

Dalam pengadilan tersebut, Kedua keraton telah menggunakan kitab Undang-Undang yang disebut Kitab Angger-angger. Kitab ini sengaja disusun secara bersama oleh kedua kerajaan untuk memenuhi kebutuhan Kraton akan pelaksanaan hukum Islam di wilayahnya. Kitab Angger-angger ini disusun dari sejumlah kitab antara lain kitab Moharrar (maksudnya: kitab Muharrar fi al-Fiqh al-Syafi’i karya Syaikh al-Islam al-Imam Abu al-Qasim Abdul Karim bin Muhammad bin Abdul Karim al-Rafi-‘iy al-Qazwini (Imam Ar-Rafi’iy)), kitab Mahalli, kitab Topah (maksudnya: kitab Tuhfah al-Muhtaj karya Ibn Hajar al-Haitamiy), kitab Patakulmungin (Maksudnya: kitab Fathul Mu’in karya Zainuddin Abdul Aziz al-Malibariy), dan kitab Patakulwahab (Maksudnya: kitab Fathulwahab karya Syaikh Abu Yahya Zakaria Al-Anshoriy). (Lihat: Ismadi K, Gegambaran Pengadilan ing Kasultanan Ngayogyakarta Taun 1755 Tekan Taun 1947, bagian 1, dalam PS No. 23 / 4 – Juni 2016, p. 38).

Kedudukan Pengadilan Surambi tidak secara langsung berada di bawah raja, namun dipimpin oleh Ulama’. Keputusan persidangan yang dilakukan di serambi masjid ini berfungsi sebagai nasihat bagi raja (Sultan atau Sunan) dalam mengambil keputusan. (Lihat: Prof. Dr. Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011, p. 201). Pengurus pengadilan ini terdiri 10 (sepuluh) orang antara lain Kyai Pengulu sebagai ketua, anggota Pathok Nagari yang terdiri 4 (empat) orang, seorang Pengulu Hakim, dan sisanya terdiri dari para Ketib (katib atau panitera).

Selain itu juga diangkat sejumlah abdi dalem yang bertugas sebagai pelaksana hukuman (eksekutor) antara lain Nirbaya, Martalulut, dan Singanagara. Nirbaya adalah abdi dalem yang bertugas melaksanakan hukuman mati terhadap terdakwa yang dihukum gantung. Martalulut adalah abdi dalem yang bertugas melaksanakan hukuman mati dengan menggunakan keris, tombak, atau pedang. Selanjutnya, Singanagara adalah abdi dalem yang bertugas melaksanakan hukuman penggal, potong tangan, atau dalam kondisi tertentu juga melakukan hukuman secara fisik lainnya. Jenis-jenis hukuman ini tentu saja disesuaikan dengan rasa keadilan dan jenis pelanggaran yang dilakukan.

Pengadilan Surambi biasanya bertempat di Masjid Agung, sebab pada hakekatnya pengadilan ini merupakan pengadilan agama. Persidangan yang biasanya berlangsung pada hari Senin dan Kamis itu, dilaksanakan melalui setidaknya 2 (dua) tahapan. Tahap pertama adalah pemeriksaan terhadap tersangka apabila laporan tindak pelanggaran telah diterima oleh pengadilan. Fase ini secara umum bertujuan untuk mencari bukti-bukti dan mengkonfirmasi para saksi terkait kasus yang diajukan. Tahapan berikutnya adalah penyelesaian masalah dengan penyelenggaraan persidangan. Dalam tahap kedua ini dakwaan akan diberikan sesuai dengan tingkat kesalahan dan bukti-bukti yang mendukungnya. Jenis hukuman yang ditetapkan kepada terdakwa mengacu kepada kitab Angger-angger yang telah dibicarakan sebelumnya.

 

PRAKTIK PENGADILAN SURAMBI

Pengadilan Surambi yang dilaksanakan di Kraton Surakarta dan Yogyakarta, pada dasarnya hanya melanjutkan praktik pengadilan yang telah diterapkan di Mataram pada masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645). Pada masa itu perkara dibagi menjadi dua yaitu (1) Perkara yang menjadi urusan raja yang biasanya disebut sebagai pradata yang cakupannya meliputi perkara yang berhubungan dengan stabilitas negara seperti keamanan, ketertiban umum, penganiayaan, perampokan, pencurian dan lain-lain; dan (2) Perkara yang yang tidak menjadi urusan raja atau disebut padu yang mencakup perkara atau perselisihan yang terjadi diantara rakyat yang tidak bisa didamaikan oleh lingkungannya. Perkara pradata yang pada masa sebelumnya menggunakan Hinduisme sebagai sumber hukumnya, di era Sultan Agung mulai diubah dengan menggunakan hukum Islam. Pengadilan inilah yang menjadi cikal bakal Pengadilan Surambi. (Prof. Dr. Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan …, p.200-201).

Kraton Yogyakarta. Sumber foto: atlasmutualheritage.nl
Kraton Yogyakarta. Sumber foto: atlasmutualheritage.nl

 

Menarik untuk dicermati di Kasunanan Surakarta pada masa pemerintahan Pakubuwono IV (1788-1820), pengadilan Surambi menjadi pengadilan tertinggi negara dan sekaligus menjadi pengadilan tingkat banding bagi pengadilan Pradata dan Balemangu. Di sini nampak bahwa Pengadilan Surambi benar-benar diposisikan cukup tinggi sebagai al-Mahkamah al-Kabirah. Hukuman qishas masih diberlakukan pada masa itu hingga tahun 1812. Akibat semakin menguatnya pengaruh dan tekanan politik dari Belanda yang mencengkeram Keraton, hukuman qishas tersebut ditiadakan. Bahkan pada masa selanjutnya, Pengadilan Surambi di Surakarta hanya digunakan untuk menangani masalah keluarga.

Pasca Perang Diponegoro, Pengadilan Surambi di Kasultanan Ngayogyakarta diberhentikan atas prakarsa penjajah Belanda dengan dikeluarkannya Resolusi No. 29 tertanggal 11 Juni 1831. Penghentian ini tidak dilakukan secara serta-merta tetapi bertahap. Sejak saat itu masalah pidana yang sebelumnya menjadi wewenang Pengadilan Surambi ditangani oleh Rechtsbank voor Criminele Zaken (Pengadilan Hukum Pidana). (Lihat: Ismadi K., Gegambaran Pengadilan …, p. 39). Sementara hukum Islam dikebiri hanya untuk menangani persoalan-persoalan seputar keluarga atau harta benda.

Berikutnya atas kebijakan Pemerintah Belanda diberlakukan Staatsblad Tahun 1882 No. 152. Peraturan ini membahas tentang pengadilan yang dinamakan “priesterraad” (pengadilan agama). Awalnya, dalam aturan ini kekuasaan pengadilan agama ini tidak diatur sama sekali. Oleh karena itu pengadilan agama menetapkan sendiri perkara-perkara yang menjadi wewenangnya yaitu diantaranya perkara pernikahan, perceraian, mahar, nafaqah, perwalian, warisan, dan waqaf.

Di sini pengadilan agama tidak lagi memiliki kekuatan yang besar. Apabila salah satu pihak yang berperkara tidak mau tunduk pada keputusan pengadilan, maka keputusan itu baru dapat dijalankan jika diberi kekuatan terlebih dahulu oleh ketua Landraad (sekarang = pengadilan negeri). Padahal dalam banyak kasus, ketua Landraad seringkali tidak bersedia memberi kekuatan yang diminta. Alasannya selalu sama bahwa pengadilan agama dianggap melampaui batas wewenangnya. Perkara tersebut lantas diperiksa kembali oleh Landraad dan keputusannya kerap berlainan dengan keputusan dari Priesterraad. (Notosusanto, Peradilan Agama Islam di Djawa dan Madura, Yogyakarta: tp, 1953, p. 7-8)

Demikianlah secara perlahan pengadilan surambi semakin suram nasibnya. Tenggelam bersama alur narasi sejarah yang tak selalu memihak kepada khazanah Islam. Pengadilan Agama yang menjadi penggantinya semakin lama semakin berkurang juga wewenangnya. Pada akhirnya hukum Islam dibonsai pemberlakuannya hanya mencakup ke dalam wilayah-wilayah kerja yang terbatas.

Oleh: Susiyanto, M.Ag. – Dosen FAI Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here