Meningkatnya pertumbuhan perekonomian di Jawa dengan cepat pada awal abad ke 20, dan terjadinya krisis di pedesaan, menciptakan kondisi baru yang mendorong urbanisasi di perkotaan. Makin meningkatnya penduduk di pedesaan yang tak memiliki tanah, mendorong petani yang menjadi buruh (tani) upahan.

Di lain sisi, perluasan ekspor hasil panen dari Jawa Tengah dan Timur, serta tumbuhnya pelabuhan,perusahaan dagang,dan  bank, membuka gerbang urbanisasi lebih besar. Khususnya di Surabaya, Semarang dan Batavia, di mana pelabuhan menjadi titik pengangkutan hasil panen dari Jawa ke seluruh dunia. Pelabuhan-pelabuhan tersambung dengan jaringan kereta api untuk mengangkut hasil gula dari Jawa tengah dan Timur untuk di ekspor. Maka tak mengherankan di kedua daerah tersebut tumbuh penduduk-penduduk yang awalnya berasal dari desa untuk mengadu nasib di perkotaan. Sebuah komunitas pekerja yang seringkali disebut kaum buruh.[1]

Buruh perkotaan tidaklah seragam. Ada buruh yang tidak terampil mengisi berbagai pekerjaan dengan bayaran rendah, tanpa jaminan pekerjaan dan kontrak kerja. Contohnya sepert sejumlah besar buruh yang bekerja di galangan kapal di Semarang. Mereka meninggalkan keluargaanya di kampung, dan hidup di pondok kecil diatas perahu, dengan Sembilan buruh lainnya, berhimpit-himpitan tiap malam atau tidur dengan beratapkan langit.[2]  Di perkotaan, buruh-buruh lainnya tinggal di lingkungan yang buruk, pemukiman padat, diantara gang-gang yang tidak dapat masuk sinar matahari, sehingga menjadi sarang tikus. Rumah-rumah itu umumnya beratapkan rumbia dan berdinding bambu.

Selain buruh tidak terampil, ada pula buruh-buruh terampil, yang  mendapat nasib lebih baik. Mereka antara lain pegawai administrasi, juru ketik, montir, operator mesin, masinis, dan lainnya. Mereka dibayar dengan upah yang lebih baik, kadang-kadang disediakan perumahan dan sejumlah dana pensiun. Merekalah yang nantinya menjadi tulang punggung serikat  buruh di Hindia Belanda.

Para buruh pribumi mulai memiliki kesadaran untuk berserikat ketika melihat ketimpangan upah dan perlakuan dengan buruh-buruh Eropa dilingkungan mereka. Ketimpangan ini terlihat dalam keluhan yang dimuat majalah Volharding,

“Mengapa buruh Eropa menerima gaji lebih besar daripada yang diterima koleganya yang Pribumi dan mengapa para buruh Pribumi menduduki posisi yang sangat tidak terpilih dalam menuntut hak pensiunnya? Bahkan jika mereka melakukan pekerjaan yang sama.”[3]

Perubahan sosial yang terjadi di Jawa, perkembangan media cetak berbahasa Melayu dan daerah, serta kesadaran para lulusan dari pendidikan ala Barat yang dijalankan pemerintah colonial, turut mendorong berkembangnya serikat buruh yang mulai bermunculan di tahun 1910-an.

Membuka kembali lembaran penulisan sejarah buruh saat ini, lebih banyak mencatat peranan gerakan kiri dalam awal perjalanan pembelaan buruh dan cenderung meminggirkan peranan gerakan Islam. Padahal gerakan Islam, khususnya Sarekat Islam (SI), memainkan peranan penting  dalam pembelaan nasib buruh di Hindia Belanda (Indonesia),. Bahkan begitu besarnya pengaruh Sarekat Islam, sehingga, pada awal mulanya, gerakan kiri pun menumpang dalam bahtera Sarekat Islam (SI) dalam perjalanan mereka bersama buruh.

Pengaruh Sarekat Islam begitu besar dalam hal sosial, ekonomi dan politik di Indonesia. Hal ini tidak mengherankan mengingat turut sertanya ratusan ribu petani dan buruh di Jawa yang mendukung mereka, hanya dalam beberapa tahun setelah berdirinya SI.

Pembelaan SI pada nasib buruh tidak terbatas di tanah Jawa, di mana banyak terdapat serikat buruh. Tetapi juga di Sumatera, dimana buruh (Kuli Kontrak) perkebunan di Deli, menerima perlakuan buruk dan cenderung tidak manusiawi. Melalui tokoh SI Jawa Barat, Goenawan, yang melakukan perjalanan ke Sumatera, ia menulis tentang nasib buruk kuli kontrak di Deli. Majalah Pantjaran Warta yang dipimpin seorang tokoh SI, Abdul Muis, menamakan sistem kuli kontrak di Deli sebagai ‘Perbudakan Industrial.’ Pada awal tahun 1914, Kaoem Moeda menuliskan serangkaian kecaman tentang keadaan kerja di Deli; terutama soal kemerosotan moral. Hal ini mereka anggap sebagai akibat dari politik pengusaha perkebunan yang mendorong perjudian dan menolak dilakukannya perkawinan yang sah di perkebunan. Kecaman juga dilontarkan sehubungan denga rendahnya upah serta pegawai perkebunan yang ringan tangan memberi pukulan.[4] Begitu rendahnya upah mereka, sehingga Buya Hamka menyindirnya dengan; “…pukul lima diterimanya uang, pukul tujuh musnah semuanya. “[5]

Kongres SI di Bandung, tahun 1916 juga membahas nasib buruh di Deli. Mereka menyoroti soal kerja kontrak dan mengecam calo-calo yang bermain dalam merekrut kuli kontrak tersebut. Calo-calo itu, yang dalam prakteknya sering memberikan janji palsu dan banyak dibela oleh polisi. Buya Hamka dalam roman Merantau Ke Deli, menyingkap adanya praktek penipuan para calo ini,

“Kuli-kuli itu terdiri dari laki-laki dan perempuan, ada yang bersuami isteri dan ada yang datangnya tidak beristeri, tidak bersuami, datang oleh karena ditipu oleh tengkulak-tengkulak pencari kuli, yang dinamai wervers. Mereka ditipu, dikatakan bahwa pekerjaan di tanah Deli itu amat senang, berteduh tidak kena panas, memang tidak kena panas di dalam rimba karet. Lampunya tidak lampu minyak tanah, melainkan listrik; memang listrik lampu di pondok panjang itu.”[6]

Melihat kenyataan tersebut, SI dalam kongresnya di Bandung memutuskan untuk memohon kepada pemerintah agar mengizinkan wakil-wakil SI untuk meneliti terlaksananya kontrak tersebut secara sukarela dan melarang dikurungnya kuli kontrak ini dalam gudang penerimaan tenaga kerja, sehingga tidak bisa berhubungan dengan dunia luar.

Nasib tragis kuli kontrak ini disorot tajam oleh Haji Agus Salim. Melalui media massa yang dipimpinnya kerap memberitakan penderitaan para kuli kontrak ini. Ia keluar masuk perkebunan di Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Melaporkan keadaan buruh-buruh perkebunan yang amat tragis. Salah satunya ketika ia memuat kisah sepasang suami istri yang hidup teramat sederhana di Sumatera, hingga mereka makan pun tanpa lauk, bahkan untuk lauk ikan asin sekalipun. Dengan makan seperti itu, sebulan mereka membutuhkan biaya f 12,10. Padahal gaji mereka hanya 40 sen atau f12,30. Dengan hanya sisa 20 sen, Haji Agus salim mempertanyakan cukupkah sisa ini untuk membeli pakaian, lauk pauk dan obat-obatan dikala sakit? Dilukiskannya, suami isteri tersebut hidup hanya agar tidak kelaparan saja, padahal mereka bekerja berat dari pagi buta hingga matahari terbenam, tanpa istirahat, dan diawasi oleh mandor-mandor yang kejam. Hal itu dimuat oleh Haji Agus Salim di surat kabar Fadjar Asia yang dipimpinnya. [7]

Di lain waktu, tatkala terjadi kasus pengeroyokan administrateur perkebunan di Langsa hingga tewas, muncul usul untuk mempersenjatai para administrateur dengan senjata api. Usul ini di kecam oleh H. Agus Salim. Menurutnya kejadian itu, terjadi karena para kuli terus ditimpa perlakuan tidak manusiawi dan kejam. Ia setuju, pelaku harus dihukum. Tetapi bukan dengan cara mempersenjatai administrateur. Menurutnya, “Ini sangat berbahaya! Soalnya tabiat penjajah selalu hendak memusnahkan kaum terjajah.” Praktek mempekerjkan kuli kontrak secara tidak manusiawi yang mengikat dengan hukuman kejam ini, saat itu kerap dikenal dengan istilah poenalie sanctie.[8]

Ketika kebijakan poenalie sanctie itu akhirnya akan dihapus, H. Agus salim menulis di Harian Mustika (Poenalie Sanctie dihapuskan, 1 Desember 1931),

“Selama ini kontrak ber-poenalie sanctie itu hanyalah menjadi keuntungan kaum majikan. Kuli yang terjerat dalam kontrak ber-poenalie sanctie itu, tidak dapat melepaskan diri, apabila dikehendakinya lepas itu. Berlainan dengan kontrak perjanjian sipil umumnya; si pekerja yang terikat itu tidak dapat menembus dirinya.

“…Sebab itu penghapusan kontrak ber-poenalie sanctie dalam perusahaan tembakau itu haruslah kita sambut dengan syukur, karena menghapuskan sebagian penghinaan yang dipikulkan atas rakyat sebangsa kita. Dan tak lain harapan kita, melainkan supaya lekaslah berikut pula penghapusan kontrak ber-poenalie sanctie itu daripada segala perusahaan ondermining dalam seluruh Indonesia, di mana masih ada kontrak itu berlaku.”[9]

Di hapuskannya poenalie sanctie itu, tidak bisa dipungkiri, salah satunya dampak dari kerja panjang H. Agus Salim melakukan pembelaan terhadap kaum buruh. Tulisan-tulisan beliau yang mengecam kebijakan kolonial terhadap kaum buruh, utamanya buruh perkebunan, tidak hanya menjangkau Hindia Belanda saja. Tapi tulisannya juga di muat oleh Majalah De Strijd. Sebuah Majalah organ dari NVV (Nederland Verbond van Vakverenigingen). Sebuah perhimpunan serikat buruh di Belanda yang memiliki anggota setidaknya 240 ribu orang. Tulisan beliau di majalah De Strijd itu membukakan mata kaum buruh di Belanda, betapa menderitanya buruh di Hindia Belanda Saat itu. Hingga H. Agus Salim kemudian diundang ke Belanda untuk bertemu dengan pergerakan buruh di sana. Jejaring H. Agus Salim dengan kaum buruh internasional kembali meluas tatkala NVV mengangkat beliau sebagai penasehat penuh mereka di konferensi buruh internasional  (ILO) di Jenewa. Di sana H. Agus Salim berpidato membeberkan penderitaan buruh Hindia Belanda (Indonesia) yang diperlakukan dengan kejam oleh pemerintah kolonial. Pidato beliau yang diucapkan dengan bahasa Inggris, Perancis dan Jerman itu membukakan mata bangsa-bangsa lain akan nasib buruh di Hindia. Hal ini menyebabkan tekanan-tekanan internasional atas pemerintah kolonial, salah satunya tekanan yang dilakukan oleh Amerika Serikat, yang tak mau lagi membeli hasil perkebunan di Hindia Belanda, karena prakteknya yang kejam. [10]

Kiprah internasional H. Agus Salim ini, membuat orang Eropa yang berbisnis di Hindia Belanda kebakaran jenggot. Harian Soerabaias Handelsblad sampai menyebut beliau ‘berbahaya’, ‘orang yang sukar diketahui kemauannnya’. Namun H. Agus Salim, menjawab tuduhan tersebut dengan mengatakan,

“Kepada penulis Soerabaiaas Handelsblad dan kaumnya, kita ucapkan : Selamat tinggal dalam kekunoanmu!” (Haji Agus Salim Berbahaya?, Harian Fadjar Asia, 20 Februari 1930).

Kiprah H. Agus Salim dalam membela buruh , tidak sendirian. Dalam lingkup Sarekat Islam, tersebutlah nama Surjopranoto, Si Raja Mogok. Sebagai anak bangsawan, Surjopranoto merupakan pribadi pemberontak dan anti dengan feodalisme. Sarekat Islam yang vokal dan menekankan emansipasi sosial memikat banyak aktivis kala itu, termasuk Surjopranoto. Meskipun awalnya ia menjabat sebagai Kepala Dinas Pertanian dan Kepala Sekolah Pertanian di Wonosobo, ia juga menjadi anggota komisaris CSI (Centraal Sarekat Islam). Sikap anti penjajahannya ia tunjukkan tatkala ia mengetahui salah seorang anak buahnya dipecat karena menjadi anggota SI. Ia begitu marah kepada atasannya, seorang Belanda, yang melakukan pemecatan itu. Kemarahannya, ia demonstrasikan dengan merobek-robek ijazah di depan pejabat tersebut. Dan Saat itu juga ia berhenti dari pekerjaannya. Kiprahnya kemudian ia lanjutkan dengan membentuk Barisan Kerja Adhi Darma, yang bergerak di bidang sosial-pendidikan dan sosial-ekonomi. Salah satu divisi Adhi Dharma adalah Biro Hukum yang mengadvokasi para buruh yang mendapat perlakuan tak adil. Sejak itulah ia sering menjadi pembela para buruh.[11]

Adhi Dharma, pada tahun 1919 kemudian berubah menjadi organisasi buruh modern, yang mewakili kepentingan perusahaan perkebunan dan pabrik gula. Serikat buruh itu dikenal dengan nama Personeel Fabrieks Bond (PFB). Kiprah Surjopranoto bersama PFB-nya begitu melesat dan menempatkannya menjadi organisator buruh ulung, di luar kaum sosialis-revolusioner. Berdirinya Surjopranoto di dua kaki, yaitu PFB dan SI membuatnya mampu menggerakan potensinya. Posisinya di SI membantu pergerakan buruh yang tak bisa lepas dari politik. Ia menjadi pemimpin buruh yang tak hanya berjiwa pemimpin, tetapi juga radikal. Dalam Kongres Sarekat Islam di Surabaya, tahun 1919, ia menegaskan, perjuangan buruh kalau perlu dilakukan dengan aksi mogok sekalipun. Di tahun itu ia sudah masuk bersama barisan pemimpin SI lainnya semacam Tjokroaminoto, Goenawan dan Abdul Muis.

Surjopranoto melihat kesenjangan antara pengusaha dan buruh (perusahaan gula) begitu lebar saat itu. Menurutnya,

“…yah, apa akan dikata jika seorang pegawai Belanda dalam pabrik gula dengan duduk ongkang-ongkang mendapat persenan tahunan 50.000 gulden berhadapan dengan kuli, yang bikin lobang dalam tanah yang panjangnya 24 kaki, lebar dan dalam masing-masing 1 kaki dengan upah 1,50 sen.”[12]

Berkaca  pada lebarnya jurang kesenjangan tersebut, maka tak heran usul Surjopranoto untuk melakukan pemogokan disambut antusias. Demi memperkuat pembelaan-pembelaan pada buruh, pada Desember 1919, Centraal Sarekat Islam di Jogjakarta membentuk federasi buruh yang bernama Persatuan Pergerakan Kaum Buruh (PPKB). Meskipun awalnya pendirian PPKB mendapat tentangan dari Semaun dan  golongan kiri lain yang ada di CSI, namun akhirnya PPKB tetap terbentuk dan memulai aksi-aksinya.

Aksi-aksi pemogokan yang saat itu kerap terjadi di Industri gula, tentu saja tak lepas dari peranan Surjopranoto dan PFB-nya. Dengan anggotnya yang berkembang pesat hingga 31 ribu orang pada tahun 1920, PFB mampu menekan para pengusaha gula. Bahkan ia mampu mempengaruhi pemogokan yang dilakukan oleh buruh kereta api.

Nama lain yang berperan bersama Surjopranoto adalah Haji Fachrodin. Ia adalah seorang mubaligh Muhammadiyah yang juga menjadi wartawan di berbagai surat kabar. Bersama Surjopranoto, H. Fachrodin, yang juga komisaris CSI, melakukan pembelaan terhadap buruh di industri gula. Seringkali H. Fahcrodin mengkritik pemerintah yang membuatnya berhadapan dengan tangan besi pemerintah kolonial. Berkali-kali dirinya terjerat pers delicht (delik pers) dan membuatnya masuk penjara. Dalam salah satu aksinya, ketika tahun 1920 Surjopranoto menggerakan buruh di Madukismo untuk melakukan pemogokan, H. Fachrodin memprovokasi buruh di Madukismo, dengan menulis di Srie Diponegoro, untuk menebarkan ‘semut api’ ke dalam perkebunan tebu. Ditenggarai, maksud dari H. Fachrodin adalah untuk melakukan pembakaran di perkebunan tebu tersebut. Akibat tulisan ini ia kembali terkena pers delicht dan didenda 300 gulden. [13]

Tahun-tahun berikutnya, pergerakan membela buruh menemui nasib buruk. Persaingan antara gerakan kiri dan Islam makin tajam di PPKB dan Sarekat Islam. Saling serang antara pihak kiri, yang dimotori Semaoen, dan Islam yang digerakkan oleh H. Agus Salim semakin tajam. Tak bisa dipungkiri, perebutan pengaruh dan ideologi makin memisahkan jalan diantara keduanya.

Dalam hal ini, Surjopranoto pun menjelaskan pendiriannya,

“Kita tidak berniat merintangi atau mencegah kaum komunis, atau menggugat, mendakwa kaum pemimpinnya. Akan tetapi, sebaliknya, kita menuntut supaya kebebasan kita akan melakukan pergerakan kita dengan cara yang bersetujuan dengan keyakinan dan pendapatan kita janganlah di ganggu, dirintangi atau dicegatnya pula.”[14]

H. Agus Salim juga mencela kaum kiri, yang bergerak berlandaskan pertentangan kelas. Ia menyebut mereka sebagai, “kaum yang hendak membagi bangsa kita atas kaum pekerja dan kaum modal. Kaum itu adalah kaum yang membatalkan hak milik, yang memakai nama sosialis…”[15]

Bagi H. Agus Salim, teori pertentangan kelas itu tak lain hanya meniru buta kaum komunis di Eropa. Menurutnya, “Kaum sosialis itu membuta tuli saja hendak memindahkan sengketa dan perselisihan rumah tangganya (Eropa) ke tanah air kita.”[16]

Pergerakan membela buruh bagi para tokoh Islam, tak lain adalah membela manusia dari penindasan, dan melandaskan perjuangannya dengan dasar Islam. Seperti yang diungkapkan H. Agus Salim,

“Qur’an…tidak kurang mengandung nasehat menyuruh berserikat bertolong-tolongan dalam suatu kebajikan…(yaitu) menyokong dan memajukan segala yang baik dan menyangkal segala yang tidak baik…”[17]

Pergerakan buruh ini akhirnya mengalami kemerosotan yang tajam setelah pecahnya kaum kiri di SI, yang kemudian membentuk PKI. Gagalnya beberapa pemogokan berskala besar juga turut melemahkan pergerakan ini. Pemberontakan PKI kemudian akhirnya membuatnya semakin sulit. PKI menjadi gerakan yang terlarang. Gerakan buruh, yang banyak terkait dengan PKI pun terkena imbasnya. Pemerintah pun bersikap semakin keras terhadap segala usaha-usaha untuk membela buruh.[18]

Penelusuran jejak-jejak tokoh Islam dalam membela peluh buruh adalah usaha untuk menunjukkan bahwa para tokoh Islam bangsa ini telah memulainya sejak dini. Membela buruh kala itu bukanlah monopoli gerakan kiri. Tidak pula atas gumaman pertentangan kelas. Tetapi membela nasib buruh adalah membela manusia-manusia yang tertindas, dan bukankah Islam mengajarkan untuk menunaikan hak pekerja sebelum peluhnya mengering?

Oleh: Beggy Rizkiyansyah (Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa)

 


[1] Ingleson, John. 2013. Perkotaan, Masalah Sosial & Perburuhan di Jawa Masa Kolonial. Depok : Komunitas Bambu.

[2] Ibid

[3] Ibid

[4] Korver, A.P.E. 1985. Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil?. Jakarta: Grafitipers

[5] Hamka. 1977. Merantau Ke Deli. Jakarta: Bulan Bintang

[6] Ibid

[7] 1996. 100 tahun Haji Agus Salim. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

[8] Ibid

[9] Ibid

[10] 100 tahun Haji Agus Salim

[11] Budiawan. 2006. Anak Bangsawan Bertukar Jalan. Yogyakarta: LKiS.

[12] Ibid

[13] Mu’arif. 2010. Benteng Muhammadiyah. Jogjakarta: Suara Muhammadiyah.

[14] Anak Bangsawan Bertukar Jalan

[15] Rambe, Safrizal.2008. Sarekat Islam Pelopor Bangkitnya Nasionalisme Indonesia 1905-1942. Jakarta: Yayasan Kebangkitan Insan Cendikia.

[16] Ibid

[17] Ibid

[18][18] Perkotaan, Masalah Sosial & Perburuhan di Jawa Masa Kolonial.

4 COMMENTS

  1. […] Pelabuhan-pelabuhan tersambung dengan jaringan kereta api untuk mengangkut hasil gula dari Jawa tengah dan Timur untuk di ekspor. Maka tak mengherankan di kedua daerah tersebut tumbuh penduduk-penduduk yang awalnya berasal dari desa untuk mengadu nasib di perkotaan. Sebuah komunitas pekerja yang seringkali disebut kaum buruh.[1] […]

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here