Tulisan ini tidak bermaksud untuk mencari dan mengambil kebenaran untuk masa depan Islam. Sosok ini akan dibahas secara hati-hati, berusaha obyektif, dan dengan semangat mencari kebenaran dan mengambil hikmah dari perjalanan Haji Misbach. Agar sejarah bisa menjadi pelajaran seperti Firman Allah SWT dalam Surat Yusuf ayat 111,
“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran (Ibroh) bagi orang-orang yang mempunyai akal”.K.H. Misbach adalah seorang ulama dan Mubaligh dari SI (Sarekat Islam) Solo yang juga tokoh utama PKI. Dalam bab penutup buku Di Bawah Lentera Merah, Soe Hok Gie bingung untuk mengkategorisasikan K.H. Misbach yang dengan fasih berargumen menurut ayat Al Qur-an dan Hadits sekaligus teori-teori Marxisme. Ia bingung menentukan apakah K.H. Misbach itu berbicara Marxisme dengan baju Islam atau Islam dengan baju Marxisme?
Yusril Ihza juga tidak berani mengkategorisasikan K.H. Misbach dan murid langsungnya K.H. Ahmad Dasuki Siraj yang menjadi juru bicara PKI di Majelis Konstituante.
Yusril mengatakan hal ini di berbagai kesempatan misalnya PEDATI FISIP UI, 1994, Kolokium Pembaharuan Islam PB HMI, 1995, dan buku 70 tahun Munawir Syadzali. Hal yang sama juga dialami oleh George D. Larson dalam Masa Menjelang Revolusi. Takashi Shiraishi dalam Zaman Bergerak berpendapat trikotomi Islam, Nasionalisme, dan Marxisme adalah tidak tepat dan tidak relevan.
Hanya Ahmad Mansyur Suryanegara saja yang berani mengatakan K.H. Misbach salah jalan. Lihat Ahmad Mansyur Suryanegara, Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1995), hal. 210-216.
Sikap Misbach adalah mensintesiskan Islam dan Komunisme, mengambil Komunisme seraya membuang tulisan Karl Marx dan Friedrich Engels yang mengatakan bahwa “Agama Candu Rakyat”, ini mirip dengan yang dilakukan oleh penganut pemikiran Neo Marxis yang mengambil pemikiran Marx tetapi membuang pemikiran “Marx tua”.
Sikap Misbach terhadap Marxisme yang dihasilkan oleh ”orang kafir Karl Marx” –demikian Misbach menyebutnya- adalah menganggapnya sebagai Hikmah yang merupakan milik kaum muslimin yang hilang, maka harus diambil saat muslim menemukannya.
Dalam Surat Kabar Medan Moeslimin ia mengutip hadits yang diambil dari kitab Jami’ush Shagir yang artinya “Tuhan Allah akan meneguhkan Agama Islam lantaran orang yang bukan Islam.” (Ahmad Mansur Suryanegara: 1995 dan Takashi Shiraishi : 1997).
Hal ini mirip dengan yang dilakukan Buya Mohammad Natsir yang mengambil demokrasi tapi membuang sekularismenya seraya menganggapnya hikmah. Juga yang dilakukan oleh Para Filosof Islam dan Teolog Islam Abad Pertengahan yang bersikap sama terhadap pemikiran filosof-filosof Yunani. Bandingkan dengan Tarif Khalidi, seorang sejarawan muslim menyebut Abad Pertengahan dengan kata-kata Golden Age atau Zaman Keemasan berlawanan dengan sejarawan barat-sekuler yang menyebutnya zaman kegelapan). Perbedaanya pada Golden Age ini, Umat Islam sedang mendominasi politik dan ilmu pengetahuan di dunia, namun zaman Haji Misbach dan Buya Natsir ini sebaliknya, umat Islam yang didominasi oleh Barat dalam bidang politik dan ilmu pengetahuan.
Pertama, kelaparan akibat tanah-tanah pertanian rakyat dirampas untuk perkebunan tebu inti rakyat yang hasilnya tidak cukup untuk makan. Kedua, wabah pes yang menyebabkan angka kematian penduduk Semarang hingga 76%. Ketiga, didirikannya Volksraad (Dewan Rakyat) yang merupakan ‘Demokrasi seolah-olah’ atau ‘komedi’ (dalam istilah Semaun ketua SI Semarang) serta didirikannya Indie Weerbaar (Pertahanan Hindia) yang dianggap membuat orang-orang pribumi sebagai perisai hidup anti peluru bagi orang-orang Belanda. Keempat, delik pers Sneevliet. Pengadilan terhadap Hendricus Josephus Fransiscus Marie (H.J.F.M.) Sneevliet yang membuat orang-orang Semarang khususnya dan orang Jawa umumnya menjadi kagum. Karena ada orang Belanda dengan teori-teori Marxisme-nya membela mati-matian orang-orang pribumi dan rela melepaskan pekerjaannya yang bergaji sangat besar.
Adapun Islam dipakai karena, dengan Islam –melalui Sarekat Islam- massa rakyat yang sangat banyak bisa direkrut. Massa tidak mengerti teori-teori Marxisme. Jangankan massa, para aktivis SI Semarang dan K.H. Misbach saja tidak terlalu memahami teori-teori Marxisme. Tidak pernah ada pembahasan teoritis dan mendalam tentang Marxisme dalam surat kabar Sinar Djawa/Sinar Hindia yang mereka kelola.
Merekapun tidak terlalu mengerti Islam. Islam hanya dipakai untuk menggugah emosi massa juga karena simbol Islam berarti Pribumi pada masa itu. K.H. Misbach sebenarnya cukup mengerti Islam karena ia seorang muballigh dan sering menulis tentang Islam di koran tetapi ia masih muda dan jiwanya bergolak melihat penindasan. Misbach tidak sabar untuk memberontak melawan Belanda dan mengangkat senjata, serupa dengan peristiwa di Sumatra Barat tahun 1927.
Soe Hok Gie tidak sepakat dengan pendapat para sejarawan ahli Indonesia yang mengatakan pergerakan nasional bergerak ke kiri karena keberhasilan Revolusi Bolsyewik pada Oktober 1917.
Soe Hok Gie mempunyai alasan kuat yaitu: “Tetapi jika kita menilik pers Indonesia, juga pada surat kabar Sinar Djawa/Sinar Hindia (di bawah asuhan Semaun, Alimin, dan lain-lain), revolusi Rusia tidak mendapat tempat yang besar. Nama-nama Lenin, Trotsky, dan Stalin, hampir tak pernah disebut. Perdamaian Brest-Litowsky hanya sekali menjadi bahan sebuah artikel Kadarisman. Bahkan dalam mengenang tahun 1917 berlalu, revolusi Oktober itu tidak disebut-sebut. Tetapi pengarang lainnya disebut. Hanya melalui Sneevlieet-lah, revolusi Rusia itu pernah menarik perhatian publik di Indonesia dan baru setelah tahun 1920, ketika kaum Marxis Indonesia mulai mengadakan hubungan internasional, hal-hal di seputar revolusi Rusia menarik perhatian Indonesia.” (Soe Hok Gie: 1990)
Jadi Soe Hok Gie lebih berpendapat faktor keadaan sosial-ekonomi-politik di Semaranglah yang menyebabkan SI bergerak ke kiri (4 faktor yang sudah disebutkan di atas). ditambah beralihnya kepemimpinan SI Semarang dari anak-anak kaum borjuis ke anak-anak kaum proletar (petani dan buruh).
Kekaguman kepada Sneevlieet membuat banyak sekali anggota SI Semarang yang merangkap sebagai anggota ISDV (Indische Sociaal Democratische Vereniging). Di ISDV inilah mereka mempelajari Marxisme dan kemudian Marxisme-Leninisme. Tetapi ketika pada tingkat aksi mereka memakai nama Sarekat Islam. Dengan kata lain pula, mereka menyatukan Islam dan Marxisme karena kurang mengetahui hakikat kedua ajaran yang tidak bisa disatukan ini.
Pertama, pemahaman Misbach tentang ajaran-ajaran Marxisme patut dipertanyakan pemahaman ”ilmiahnya”, karena saat itu satu-satunya buku komunis yang ada adalah terjemahan Manifesto Komunis. Buku Das Kapital tidak ada. Buku Manifesto Komunis-pun tidak dibaca luas oleh kalangan pergerakan nasional termasuk Misbach. Jadi Misbach hanya mengumbar slogan dan untuk gagah-gagahan ia memakai terminologi-terminologi komunis yang saat itu dianggap hebat, gagah, dan trendi.
Kedua, Pemahaman Micbach terhadap masyarakat disamaratakan dengan pemahaman dia sebagai orang Jawa dengan masyarakat toto tentrem kertoraharjo yang dibawa oleh Ratu Adil.
Ketiga, Misbach tidak terlalu tahu Komunisme sehingga dia menyamaratakan arti masyarakat tanpa kelas versi Karl Marx dengan baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur di mana kaum mustadh’afin berkuasa, padahal keduanya adalah hal yang berbeda. Misbach tidak tahu inti terdalam ajaran Komunis yang sekular yang dengan pemahaman Historis materialis-nya menolak segala hal yang berbau metafisika termasuk Tuhan (atheis).
Keempat, Misbach tidak menerapkan Islam Kaffah karena menolak Tauhid Uluhiyah sehingga tidak menggunakan ajaran Allah dalam pergerakan atau aksi sosial tetapi memakai komunisme yang berbeda akarnya dengan ajaran Islam dan menolak Tuhan.