“Kalau Muhammadiyah Minangkabau tidak sanggup mengadakan kongres ke-19, pengurus besar akan mengadakan juga kongres di Minangkabau, dan minta bantu kepada saudara-saudara di Minangkabau untuk jadi panitia.”
Memasuki abad ke 20, umat Islam menggeliat di Hindia Belanda. Sarekat Dagang Islam (SDI) menjadi organisasi pertama yang menggerakkan umat Islam melalui ikhtiar ekonominya. Kemudian menjelma menjadi salah satu organisasi terbesar di tanah air saat itu dan menyatukan berbagai lapisan masyarakat. Memberi rasa harga diri bagi masyarakat pribumi saat itu.
Muhammadiyah kemudian menyusul dengan kiprahnya dibidang dakwah dan gerakan sosial. Sejarah lahirnya pergerakan Muhammadiyah tentu sudah terang benderang. Kehadiran Muhammadiyah menjadi salah satu pertanda munculnya gerakan reformasi Islam di Hindia Belanda.
Kehadiran Muhammadiyah di tanah Jawa tak bisa dilepaskan dari pengaruh gagasan dari Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha di Mesir. Angin reformasi Islam dari Kairo berhembus kencang hingga ke Hindia Belanda, termasuk ke Yogyakarta, tempat lahirnya Muhammadiyah.
Satu hal yang menarik adalah hembusan angin reformasi Islam dari Kairo, tidak hanya terasa hembusannya di tanah Jawa, tetapi juga terasa kencang di Sumatera, khususnya Sumatera Barat. Angin reformasi Islam ini yang kemudian menjembatani kehadiran Muhammadiyah di Sumatera Barat.
Buya Hamka menyebutkan kehadiran Muhammadiyah di Sumatera Barat adalah gelombang ketiga reformasi Islam di sana. Gelombang pertama adalah gelombang gerakan Paderi (1803-1837). Semangat puritan kaum Paderi lahir dari pengaruh gerakan Muhammad bin Abdul Wahab di tanah Suci. Meski gerakan Paderi akhirnya ditumpas penjajah, namun semangat meluap gerakan tersebut tetap hidup dalam masyarakat Minangkabau. Mereka menolak menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah Belanda dan memilih menyekolahkan anak-anak mereka ke Mekkah dan Madinah.
Sosok Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi sebagai pengajar mahzab syafi’i di tanah suci tak ayal menjadi salah satu sosok sentral di balik dunia keilmuan ulama nusantara. Murid-muridnya terbentang dari KH Hasyim Asy’ari, KH Ahmad Dahlan, hingga Haji Agus Salim. Para muridnya juga yang menjadi motor pergerakan Islam di Sumatera Barat. Pasca belajar di Haramayn, beberapa orang muridnya kemudian menempuh studi di Kairo dan merasakan geliat dari gerakan Islam di sana. Nama Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha begitu berpengaruh pada saat itu.
Salah satunya adalah Syaikh Tahir Jalaluddin al-Azhari yang kemudian membuat majalah Al-Imam, media massa Islam pertama di Hindia Belanda dan Malaya pada tahun 1906. Al-Imam adalah cerminan pengaruh majalah Al-Manar yang diterbitkan oleh Abduh dan Rasyid Ridha di Kairo. Butir-butir pemikiran mereka kemudian tercermin dalam Al-Imam. Termasuk penerjemahan artikel-artikel di Al–Manar oleh Al-Imam. Al-Imam sendiri menjangkau Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi. Syaikh Thahir Jalaluddin menjadi sosok penting bagi penyebaran pemikiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha di Hindia Belanda dan Malaya, terutama di Minangkabau. (Hafiz Zakariya: 2011)
Namun bukan hanya para murid yang pernah mukim di Kairo saja yang terpengaruh Al- Manar. Penyebaran Al–Manar merambah hingga Kalimantan, Sumatera, Jawa dan wilayah lainnya. Sosok dibalik sirkulasi Al-Manar adalah Syaikh Muhammad Aqil dari Malaya (Singapura). (Hafiz Zakariya: 2011)
Di Tanah air majalah itu dibaca berbagai kalangan terutama para penggerakan gerakan reformasi Islam, termasuk K.H. Ahmad Dahlan. Disebutkan bahwa Syaikh Ahmad Soorkati (Al-Irsyad) berkenalan dengan K.H. Ahmad Dahlan, setelah ia melihat K.H. Ahmad Dahlan membaca Al-Manar dalam perjalanannya di kereta api.
Al-Manar kemudian juga mempengaruhi tiga pemuda yang baru kembali dari Tanah Suci. Tiga pemuda ini membawa semangat reformasi Islam ke Minangkabau. Mereka adalah Syaikh Jamil Jambek, Haji Abdul Karim Amrullah atau Haji Rasul, dan Haji Abdullah Ahmad. Ketiganya kemudian menjadi pelopor semangat reformasi Islam di Minangkabau. (Hamka: 1967)
Bukan hanya semangatnya, namun cara-cara penyebaran gagasan juga dirintis ketiganya. Selain memulai membuka pendidikan Islam dengan cara ‘modern’, perjuangan baru lewat media massa juga dirintisnya. Haji Rasul, terinspirasi dari Al-Manar kemudian menerbitkan majalah Al-Munir pada tahun 1911. Al-Munir menjadi medium penyebaran gagasan yang efektif, bukan hanya di Minangkabau, tetapi juga menyebar ke daerah lain, termasuk ke tanah Jawa, ke tangan K.H. Ahmad Dahlan.
Kesesuaian pemikiran dan ide-ide Al-Munir yang membuat Haji Rasul kemudian bersilaturahmi ke Tanah Jawa pada tahun 1917. Selain bertemu dengan para tokoh pergerakan seperti H.O.S. Tjokroaminoto, ia juga mengunjungi K.H. Ahmad Dahlan. Di situlah Haji Rasul mulai berkenalan dengan Muhammadiyah. Ia menyaksikan KH Ahmad Dahlan mengajar dengan murid-murid memakai bangku dengan sistem kelas. K.H. Ahmad Dahlan sendiri meminta izin pada Haji Rasul untuk menyalin tulisan-tulisan di Al-Munir ke dalam bahasa Jawa.
Perjalanannya di Yogyakarta membuatnya terkesan. Ia pun kembali ke Padang Panjang, Sumatera Barat dan mulai mendirikan sistem pengajaran kelas seperti di Jawa lewat perkumpulan Sumatera Thawalib. Hal ini segera menarik minat banyak pihak pada waktu itu.
Pada tahun 1921, Ahmad Rasyid Sutan Mansur, menantu dari Haji Rasul hijrah ke Jawa. Di sana ia melihat dan amat terkesan dengan pengajaran dari KH Ahmad Dahlan, yang dianggapnya mengamalkan ajaran Islam. A.R. Sutan Mansur pun akhirnya bergabung dengan Muhammadiyah dan segera menjadi salah satu tokoh pentingnya, dan menjadi pemimpin Muhammadiyah Pekalongan.
Haji Rasul kembali ke tanah Jawa pada tahun 1925 untuk mengunjungi menantunya, A.R. Sutan Mansur. Di sana ia melihat perubahan pada menantunya. Menantunya kini telah menjadi tokoh penting di Muhammadiyah. Meski K.H. Ahmad Dahlan telah wafat, namun ia melihat perkembangan yang begitu pesat di Muhammadiyah. Sekembalinya ke Minangkabau, ia pun segera mendirikan cabang Muhammadiyah pertama di Sumatera, yaitu Muhammadiyah Sungai Batang, Tanjung Sani. Adiknya, Haji Yusuf Amrullah menjadi ketua cabang tersebut.
Sebetulnya Haji Rasul merasa tidak semua cara-cara Muhammadiyah yang berkenan dengan dirinya. Namun ia merasa bahwa Muhammadiyah-lah satu-satunya perkumpulan yang dapat menyusun tenaga umat untuk beramal. (Hamka: 1974)
Cabang-cabang Muhammadiyah mulai berdiri. Namun hanya sedikit Muhammadiyah berkembang kala itu. Muhammadiyah hanya bercabang di Padang Panjang, Sungai Batang, Batipuh dan Pitalah. Keempat tempat tersebut Muhammadiyah dapat muncul karena memang menjadi kampung halaman dan tempat tinggal dari Haji Rasul dan Sultan Mangkuto. Penyebab keterbatasan tersebut karena hadirnya rintangan menghadang geliat Muhammadiyah. (Hamka: 1974)
Muhammadiyah dituding sebagai organisasi penyokong pemerintah kolonial belanda. Sebutan PEB lekat pada Muhammadiyah. PEB sendiri berarti Politcsche Economische Bond. Sebuah partai politik pembela pemerintah kolonial. Namun terhadap Muhammadiyah, PEB berarti Penjilat Ekor Belanda. Tuduhan tersebut ditimpakan karena Muhammadiyah menerima dana dari pemerintah kolonial. Sikap Muhammadiyah pun tidak memilih berkonflik frontal dengan pemerintah kolonial. Namun jika kita melihat sepak terjang para tokohnya seperti H. Fahcrodin di Sarekat Islam, maka para tokoh tersebut tetap memiliki sikap kritis pada pemerintah kolonial. Kelak di Kongresnya ke-19 di Minangkabau, Muhammadiyah pun tak ragu mengkritik kebijakan pemerintah kolonial. Tuduhan demikian biasanya dialamatkan pada Muhammadiyah oleh para pemuda yang terpengaruh paham kuminih (komunis). (Hamka: 1974)
Berkembangnya paham kuminih dimulai dari bibit-bibit para pelajar dari Sumatera Thawalib yang terpengaruh komunisme yang dibawa oleh Datuk Batuah. Retorika dan propaganda anti-kolonialisme paham tersebut memang memikat banyak pemuda saat itu. Pengaruh komunis ini menjalar dan kemudian membuat mereka menentang Muhammadiyah yang dianggap sebagai kaki tangan Belanda. Diantara pemuda yang mulai terpengaruh paham komunis adalah M. Zein Jambek, putra dari Syaikh Jamil Jambek. Ada pula Abdullah Kamil yang juga terpengaruh paham yang sama. Rintangan lain bagi Muhammadiyah di Minangkabau adalah adanya penolakan dari kelompok ulama ‘tradisionalis’ atau ‘Kaum Tuo.’ (Hamka: 1974)
Dakwah ‘Kaum Mudo’ yang dibawa oleh Haji Rasul dan kelompoknya memang menimbulkan pertentangan dari ‘Kaum Tuo’ yang masih berpegang teguh pada tradisi. Semangat puritanisme dan sikap frontal dari ‘Kaum Mudo’ membuat mereka diserang balik oleh ‘Kaum Tuo’. Mereka bahkan disebut sesat dan keluar dari paham Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Kedua masalah yang merintangi gerak Muhammadiyah di Sumatera Barat perlahan sirna, salah satunya karena kedatangan A.R. Sutan Mansur. Setelah menjadi Ketua Muhammadiyah Pekalongan, A.R. Sutan Mansur kembali ke Minangkabau pada akhir tahun 1925 dan mengembangkan Muhammadiyah di sana.
Pendekatan A.R. Sutan Mansur berbeda dengan Haji Rasul. A.R. Sutan Mansur secara perlahan mampu memikat banyak orang berkat pendekatannya yang persuasif. Buya Hamka menuturkan bagaimana A.R. Sutan Mansur melakukannya,
“Jiwa beliau sangat besar. Benar-benar tumbuh dari pada hatinya yang tulus ikhlas bahwa dikelilingnya perlu ada pemimpin-pemimpin dan mubaligh-mubaligh yang pintar dan cerdas. Semua dihargainya, semua digalakkannya. Dia tidak bosan berbicara satu jam dua jam dihadapan seorang calon pemimpin yang sudi mendengarkan dan diapun sudi mendengarkan dengan sungguh-sungguh apabila mereka mencakapkan suatu persoalan dihadapannya.”
Kepada para pemuda yang terpengaruh paham kuminih (komunis), A.R. Sutan Mansur menghadapinya dengan tenang. Melakukan dakwah yang menyentuh pikiran dan hati mereka dengan kasih dan cinta. Muhammad Zein Jambek dan Abdullah Kamil akhirnya berpaling dari paham kuminih dan mulai menjadi mubaligh Muhammadiyah yang gigih.
Berkembangnya dakwah Muhammadiyah di Minangkabau berbuah kepercayaan dari para pengurus besar Muhammadiyah pusat. Pada tahun 1929, dalam Kongres ke-18 di Solo, Haji Fahcrodin-lah yang mengusulkan agar Kongres Muhammadiyah berikutnya diadakan di Sumatera Barat. H. Fachrodin telah melihat sendiri geliat Muhammadiyah di Sumatera, khususnya Sumatera Barat pada tahun 1925. Muhammad Yunus Anis kemudian juga melakukan lawatan yang sama pada tahun 1928. H. Fachrodin menegaskan dukungannya untuk kongres di Minangkabau dengan mengatakan,
“Kalau Muhammadiyah Minangkabau tidak sanggup mengadakan kongres ke-19, pengurus besar akan mengadakan juga kongres di Minangkabau, dan minta bantu kepada saudara-saudara di Minangkabau untuk jadi panitia.” (Hamka: 1974)
Penghargaan atas geliat Muhammadiyah tersebut membuat hadirin memutuskan kongres ke-19 akan diadakan di Minangkabau. Kongres itu sendiri akhirnya diadakan di Bukit Tinggi. Kongres ini sendiri memiliki nilai historis dan penting bagi Muhammadiyah. Karena, inilah pertama kalinya Muhammadiyah mengadakan kongres di luar pulau Jawa. Bagi Muhammadiyah, kongres ini sebagai pembuktian bahwa gerakan mereka bukanlah gerakan Jawa-sentris.
Digerakkan oleh para pemuda berusia duapuluh tahunan seperti M. Zein Jambek (Ketua Panitia Penyambutan), Abdullah Kamil (Sekretaris), Abdul Malik Siddiq dan Buya Hamka (22 tahun), Sultan Mangkuto (27 tahun), dan di bawah A.R. Sutan Mansur yang berusia 35 tahun selaku para pemimpin pemuda tersebut tahun, kongres tersebut berjalan meriah. Tiap utusan dari daerah memakai baju adatnya masing-masing. Buya Hamka mengenang jalannya kongres yang berlangsung dari 14-21 Maret 1930 tersebut;
“Pada hari-hari dan minggu kongres, benar-benar ramailah kota Bukit Tinggi. Medan kongres diadakan diatas tanah lapang Atas Ngarai yang indah. Medan Kongres diberi atap pakai gonjong menurut rumah adat Minangkabau. Dindingnya diberi kain warna-warni yang dipinjam dari simpanan pusaka ninik-mamak di Kurai Lima Jorong. Medan kongres dipenuhi suasana Minang.”
Menaiki kapal KPM dari Tanjung Priok ke Teluk Bayur, para utusan dari daerah berdatangan. Kiyai Usman, KH Mas Mansur dari Surabaya, Fakih Usman dari Gresik, KH Abdul Mu’thi dari Madiun, Tuan Haji Yahya Daeng Magasing dari Makassar, hingga para pengurus besar dari Yogyakarta seperti K.H Ibrahim, KH Syuja, hingga Nyai Ahmad Dahlan. Dari seluruh Jawa setidaknya ada lebih dari 50 orang utusan.
Kini, 87 tahun sejak kongres tersebut, atau 105 tahun sejak kelahiran Muhammadiyah, sejarah membuktikan bahwa Muhammadiyah bukanlah organisasi Jawa-sentris, melainkan organisasi Islam yang merangkul dan mempersatukan berbagai daerah di Indonesia bahkan sejak Indonesia belum merdeka.
Oleh: Beggy Rizkiyansyah – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)
Tulisan ini dimuat di Majalah Tabligh edisi Desember 2017