Senja. Matahari tinggal sepenggalah. Menikmati laut di pesisir Thailand Selatan desirnya begitu syahdu. Kemuningnya bercampur jingga. Sepanjang jalan, pasir berkilau. Di sepanjang kiri, ombaknya begitu memukau. Di ujung jalan sana ada negeri impian masa silam, namanya Patani. Orang-orang sini mengenalnya Patani Darussalam.
“Kita semua muslim Nusantra,” kata Hasan, kawan saya asal Narathiwat Patani di penghujung 2014. Narathiwat, Yala, Songkhla, Pattani: dulu kala ialah sebuah negeri, yang dalam Hikayat Patani, disebutnya Patani Darussalam. Kolonialisme menceraikan Patani dari Tanah Melayu Nusantara, diberikannya kepada Kerajaan Siam, yang bermetamorfosa kini menjadi Thailand.
Di penghujung 2014, qadarullah saya berkesempatan (kembali) menginjakkan kaki di bumi Patani Darussalam. Ia tak berubah banyak, masih ada saja cerita dari suara minor akan para muslimah yang kini menjanda. Para bocah yang kini meyatim. Kisah nyata dari kampung-kampung Patani yang begitu sederhana.
Bekas-bekas peluru itu masih terpampang jelas. Darah kering itu masih membekas. Sesatu dua, hingga berbelas, kisah-kisah penjemputan maut dengan selongsong timah itu tercatat jelas. Entah di warung, saat makan, saat di santai di rumah, saat di pasar, atau saat hendak bergegas, begitu kata Syamsiyah, Murni, Najah, Abdus Syakur, Wildan, dan sebagainya yang kini tak berjumpa lagi dengan orang yang sangat dicintainya.
Begitu diri ini tiba, tetiba saja air mata mereka tertumpah, bercampur akan haru dan bangga. Ungkapan hatinya meruah, lidahnya tak lagi berkelu. “Kami tak lagi sendiri. Ada saudara kami yang datang dari Indonesia. Kami bangga dengan Indonesia, umat Islam terbesar di dunia, kakak tertua kami,” ucap mereka bekali-kali.
Suara-suara minor itu terus menggema, kebanggaan akan Indonesia, kakak tertuanya di Nusantara. yang di masa silam memiliki hubungan begitu dekat. Patani Darussalam, konon salah satu namanya berasal dari Fathoni (cerdas – cendikia), di sinilah dulu berkumpul para al hakim, cerdik, cendikia, alias para Ulama Nusantara.
Dan itu bukan isapan jempol. Di Narathiwat, Patani saya bersua dengan ustadz Luthfi, Mudir pondok Lokan Ayam yang menyimpan ribuan manuskrip para cerdik-cendikia di Nusantara. “Pusat manuskrip Nusantara terbesar di dunia,” katanya. Kitab-kitab Hamzah Fanshuri, Nuruddin al Raniri, al Palimbani, al Makassari, al Mulki, al Jawi, al Minangkabawi, dan lain-lain dapat ditemui di sini.
Ada juga manuskrip ihwal kedokteran, ekonomi, politik, tata-kota, dll yang ditulis para cerdik-cendikia muslim yang bertuliskan arab jawi ( bahasa Melayu menggunakan huruf Arab). Di pondok ini, kita akan melihat juga manuskrip koleksi al Quran Ulama dari Andalusia, Yaman, Irak, Persia, India, Nusantara, mulai abad 1 Hijriyah hingga masa Kerajaan Islam Nusantara. Semuanya tulisan tangan.
Dapat dibayangkan di negeri ini silam, para cerdik-cendikia berkumpul di sini, berbincang, berdebat, bercengkrama, menulis, membahas permasalahan, dengan bahasa Melayu – yang dikukuhkan menjadi bahasa persatuan tahun 1928, hingga berkembang menjadi bahasa Indonesia kini – .
Nusantara masa silam begitu hidup, mulai dari Aceh hingga Maluku, menembus hutan-hutan Papua. Dari Bima hingga Mindanau. Dari Jawa hingga Patani. Dari Banjar hingga Makasar. Dari Palembang hingga Perlis. Dari Serawak hingga Champa di Kamboja – Vietnam (sekarang).
Mungkin ini yang dikatakan oleh Tiar Anwar Bachtiar M,Hum dalam kajian kami (Jejak Islam untuk Bangsa) di Bandung, Mengungkap Sejarah Islam di Nusantara, bahwa dengan Islam dan bahasa Melayulah kesatuan Nusantara masa silam begitu erat, menguatkan pendapat Pakar Kebudayaan Melayu, Prof. SMN Al Attas dalam History Fact and Fiction.
Jejak-jejaknya saya rasakan dan lihat sendiri di Patani. Bahkan, ia seakan kembali ke Nusantara silam, hingga ke Myanmar, Kamboja, Vietnam, Mindanau Filipina kini. “Bahasa Melayu ialah bahasa umat Islam. Di sinilah dulu berawal Melayu kuno, awal sekali, kerajaan Champa,” kata H. Mousa, Tokoh Islam yang saya temui di Ho Chi Min City (Saigon) Vietnam.
Vietnam, dari utara hingga selatan sepanjang pesisir hingga Kamboja Selatan, dulunya ialah Kerajaan Champa – kerajaan Islam pertama di Nusantara menurut cerita orang-orang Vietam- yang sudah ada sejak abad 10. Hingga Vietnam pun, bahasa Melayu masih terus diwariskan oleh umat Islam.
Hal yang sama saya temukan di Kampung Cham Kamboja. Setelah perang Vietnam – Champa, banyak umat Islam Champa yang mengungsi ke Kamboja, dan kini mayoritas tinggal di Provinsi Kampung Cham. Di sana pun, umat Islam mewariskan bahasa Melayu dan arab jawi dalam kurikulum pendidikannya.
Saat perang pun, umat Islam Champa banyak yang berdatangan ke Demak, hingga Pasai. (di Aceh dikenal nama Jeumpa yang diyakini berasal dari Champa). “Putri Campa yang muslimah pun menikah dengan Raja Majapahit yang akhrinya memeluk Islam dan setelah itu berdiri kerajaan Demak,” kata tokoh Islam Vietnam, menjelaskan eratnya hubungan muslim Nusantara masa silam.
Makam yang diyakini Putri Champa kini ada di wilayah Trowulan Mojokerto. Bahasa Melayu, seperti ungkapan Budayawan Prof. Abdul Hadi WM dalam Islam di Nusantara dan Transformasi Kebudayaan Melayu, ialah tak terpisahkan dengan Islam. Budaya Melayu ialah budaya Islam Nusantara. Bahkan, Islam mengislamkan worldview (pandangan alam) rakyat Nusantara terlihat dari kata kunci bahasa Melayu.
“Wilayah, adil, adab, ilmu, akal, musyawarah, hikmah, dewan, waki, dll,” kata-kata yang kita gunakan sehari-hari. Dan ini jejak islam yang begitu jelas hingga kini. Dari Patani, Hat Yai, Bangkok, Phnom Penh, Kampung Cham, Ho Chi Minh, kalam khas Nusantara ini terucap. Bahasa Melayu diwariskan oleh umat Islam.
Di sepadang Myanmar- Thailand, ketika warga Rohingya tinggal di sana, bahasa Melayu pun menjadi suara-suara yang mengingatkan akan saudara kita. Di Bangkok, saya bersua dengan orang Myanmar, dan kami berbincang bahasa Melayu. Di Malaysia, Abdur Rauf pun sempat berbincang. Jejak yang begitu membekas, Islam dan bahasa Melayu.
Karenanya, Pakar Sejarah Melayu, Prof. SMN Al Attas menyebutkan bahwa kedatangan Islam dalam sejarah perjalanan Melayu Nusantara merupakan peristiwa penting dan bersejarah, yang mengangkat peradaban Nusantara.
“Bersamaan dengan faktor sejarah, agama, dan bahasa, mulailah gerakan dan proses menuju kesadaran nasional. Itu adalah konsekuensi logis dari proses panjang yang membentuk bagian lebih besar dalam Kepulauan Indonesia –Melayu modern. Kedatangan Islam menjadi tanda periode baru Nusantara,” (Islam dan Sekularisme)
Disimpulkannya, jejak-jejak ini bukan hanya fisik, tapi ia ialah kita sendiri: Manusia. Yang diwariskan Islam di bumi Nusantara bukanlah bangunan, tapi ia suatu yang meresap dalam relung-relung hati yang begitu dalam. Ia merubah cara pandang, hingga bagian substansial dari manusia, ialah bahasa. Dari sabang hingga Merauke, pulau Rote hingga Champa, semua dipertautkan.
Maka, ketika Kolonialisme merangsek Negeri ini bercampur dengan misi dibaliknya, ia harus berlawanan dengan peninggalan peradaban terbesar di Nusantara: tak lain dan tak bukan ialah Manusia Nusantara!
Maka kita simak tulisan kawan saya, salah seorang pendiri dan peneliti Jejak Islam untuk Bangsa (JIB) dalam tulisan Sastra dan Jihad di Nusantara, yang saya coba sarikan. Kita akan lihat, bagaimana jejak Islam itu membekas bukan dalam peninggalan fisik semata, tapi ialah mengkristal menjadi semangat juang, semangat perlawanan, perlawanan sang Kakak Tertua, Indonesia.
Syair – syair perjuangan itu begitu syahdu terlantun, tertulis begitu indah, mengobarkan semangat juang di Nusantara, tempat kita berpijak. Masyarakat yang merintis peradaban kini berduyun-duyun belajar membaca dan menulis. ‘Iqra’ perintah pertama begitu meresap, pada setiap warga.
Tak hanya para pemuka agama yang hanya bisa membaca kitab mereka. Tak ada lagi kasta-kasta yang membelenggu jiwa. Rakyat kecil di pun dapat belajar membaca dan menulis. Apalagi, al Quran, ialah bacaan wajib yang harus terlafal setiap muslim ketika ia menunaikan shalat.
Dalam syair-syair lama, para ulama, raja, rakyat, para manusia nusantara menulis sejarahnya: Sastra, tulisan, hikayat menyelusup dalam relung-relung hati umat, yang mulai bisa membaca. Dengan tulisan arab jawi ( huruf Arab berbahasa Melayu), masyarakat pun mulai berpendidikan, menjadi masyarakat yang beradab, membentuk tamaddun (peradaban) Nusantara.
Bertebaran lah pelbagai syair: pantun, gurindam, dan dan prosa (termasuk di dalamnya hikayat). Raja Ali Haji dikenal dengan pengajaran adabnya melalui Gurindam dua belas. Di masyarakat Minangkabau, selain pantun dan syair, digunakan sastra Tutur Kaba’.
Di tatar Sunda juga tak kalah. Sastra tembang yang berisi pengajaran agama, dari tembang Cianjuran sampai tembang anak-anak di surau dan pesantren berkembang pada zamannya. Di Jawa, Sunan Bonang menggunakan bentuk-bentuk tembang Jawa untuk menyebar dakwah. Salah satunya adalah Suluk Wuragul, yang ditulisnya dalam bentuk tembang Dhandhananggul.
Di Maluku, Hikayat Hiru begitu meresap. Kalimantan mencatat Hikayat Banjar. Patani, Hikayat Patani, Hikayat Raja Melayu, dll. Ketika para penjajah Belanda, Inggris, Portugis, Prancis, dan Kolonialisme masuk ke Nusantara, para Ulama pun kembali mengobarkan semangat Jihad dalam pelbagai tulisannya.
Syair di Aceh, Hikayat Perang Sabil diwariskan turun temurun dari generasi ke generasi. Dibacakannya dengan penuh kebanggaan: “…Waktu kafir menduduki…Semua wajib berperang…Jangan diam bersunyi diri…Di dalam negeri bersenang-senang…Diwaktu itu hukum fardhu ‘ain…Harus yakin seperti sembahyang…Wajib dikerjakan setiap waktu…Kalau tak begitu dosa hai abang..”
Jihad, warisan perjuangan para Ulama Nusantara begitu memperkuat rakyat Aceh. “.. Yang memerangi kafir dalam perang sabil. Niat mempertinggi kebenaran agama. Alimah Allah agama Islam. Kafir jahanam isi neraka. Sabilillah dinamai perang. Tuhan berikan akhirnya surga. Mengikuti suruhan sampai ajal, Pahala kelak sangat sempurna…” syair yang terlantun dalam keseharian warga Aceh.
Di tanah Nusantara lain kita akan menemukan Hikayat Anggun Cik Tunggal, yang di pesisir Minangkabau dikenal dengan Nan Tongga Megat Jebang. Hikayat yang menyinggung Rajai Badurai Putih, yang bermakna penguasa kulit putih, yang menggambarkan semangat perjuangan rakyat melawan penjajah Portugis.
Di Palembang, kita akan mendapat warisan syair dan tulisan, Syair Peran Menteng. Sultan Mahmud Badaruddin yang langsung memimpin perang melawan kezaliman. Nama Perang Menteng berasal dari Muingthe, pemimpin penyerangan Belanda, yang dimelayukan menjadi Menteng.
Di Tanah Melayu Makasar, kita akan membaca lirih Syair Perang Mengkasar, yang melukiskan Perang Makassar tahun 1666, bagaimana Heroiknya Sultan Hasanuddin melawan para penjajah. Di Jawa semua mengenal Kyai Ahmad Rifa’I dari Kalisalak, yang dengan tegas menentang kezaliman terhadap umat Islam.
Semangat perjuangan itu diwariskan dari generasi ke generasi, dengan bahasa Melayu. Semangatnya melampaui zaman, bersumber dari al Quran, dan sunnah sang Nabi, dibawa oleh para sahabat, tabiin, tabiut-tabi’in, melampaui batas ruang, melompat hingga diri kita berpijak.
Hingga cahayanya menyeruak di Tanah Nusantara. Dari Jawa hingga Thailand, dari Filipina hingga Papua, dari Vietnam hingga Sumatera, dari Kamboja hingga Nusa Tenggara, cahaya itu menyeruak, Kita tak tahu, dari tangan lembut siapa kita akhirnya memeluk Islam. Rahimahullah bagi mereka.
Semua.diwariskan dengan pengajaran dan adab, dikenalkan dengan bahasa Melayu. Berabad-abad Tanah ini bersatu, hingga Kolonialisme menceraiberaikan kita. Memisahkan saudara-saudara yang dulu begitu bertaut. Seakan kini berjarak lebar, antara kakak dan adik yang tercerai.
Sejatinya, tanah-tanah di Nusantara, saling bertaut. Hingga kini, masih ada semangat, mempertautkan kembali mereka yang pernah hidup bersama dalam damai. Mungkin bahasa Melayu ini bisa mengetuk memori silam kita, bahwa dulu, kita pernah bernaung dalam ikatan kukuh, melampaui dunia, melekat hingga akhir hayat. Inilah jejak terbesar di Nusantara.
Yala, Narathiwat, Songkhla, Patani Darussalam, Rohingya Arakan, Champa di Kamboja dan Vietnam, tak terasa harus kembali ke negeri tempat berpijak. Semoga, bila ada kesempatan, kita bersama-sama – komunitas JIB- datang melihat langsung jejak Islam dari Sabang hingga Merauke, dari Patani hingga Champa. Menyusur Jejak Islam terbesar di Nusantara. Manusia.
Kisah tentang manusia-manusia di Patani yang masih terus berjuang dalam kesunyiannya, terinspirasi akan kakak tertuanya. Patani Darussalam, tanah yang umat Islam yang tertutup oleh kumparan waktu, kesibukan yang tak berjeda. Negeri yang tak jauh dari bumi berpijak, namun suaranya tak terdengar, itulah mungkin Patani.
Di tengah ruang kesendiriannya, datanglah saudara-saudara dekatnya dari pelbagai wilayah Nusantara, walau hanya membawa sepotong harapan nan ceiita akan negeri yang merdeka, wajah sumringah begitu merekah.
Jejak Islam itu tak lain ialah kita dan saudara-saudara kita, kisah manusia masa silam hingga kini, di bangsa ini. Yang pernah mampir dalam rekam Jejakislam.net, Ihwal perjuangan pendidikan Rahmah El Yunusiyyah yang ditulis oleh Susiyanto. Kisah jalan jihad jurnalis pertama di Tanah Air Rohana Kudus oleh Tristi. Kisah Prawoto Mangkusasmito, pahlawan yang wafat dalam sunyi, dan Syamsurijal Gubernur Jakarta yang tak arogan, pustaka Bung Hatta oleh Andi.
Perjuangan masyarakat Nusantara dalam Sastra dan Jihad di Nusantara oleh Beggy. Juga tulisan lainnya seperti perdebatan H Fachroedin dalam Kawan lawan Kawan. Pertautan Khilafah Utmaniyyah dengan Nusantara oleh Septian. Pelajaran Mengislamkan Jawa ala Adif Sahab. Hingga ruang-ruang Kauman Yogyakarta sepeninggal KH Ahmad Dahlan hasil catatan Bli Andika.
Ada kisah di balik Hari Ibu yang melawan feminisme oleh Sarah Mantovani. Sejarah panjang umat Islam yang dijelaskan oleh Artawijaya, hingga Sejarah Nasional Indonesia adalah Sejarah Islam oleh Tiar Anwar Bachtiar, M.Hum. Jejaknya semakin nampak dalam potret-potret yang bergerak.
Lihat saja Agus Salim, Menteri yang begitu bersahaja. Atau pakaian tambal sulam ala Pak Perdana Menteri Natsir. Juga Menteri Keuangan Syafruddin Prawiranegara yang tak punya uang untuk membeli popok anaknya. Hingga Kebaikan Buya Hamka yang memaafkan lawan-lawan politiknya.
Menyusur jejak Islam di Nusantara, ia begitu bertaburan. Tak selalu harus pergi ke tempat tertentu, laiknya berpelesir dan berpelancong sambil berselfie ria. Sebab, warisan terbesar Islam ialah yang merasuk ke dalam dada ini. Yang mempertautkan setiap insan, dalam ikatan kuat. Itulah Jejak Islam utuk Bangsa. Siapa ingin menyusur bersama jejak Islam di Nusantara?
@rizkilesus, Founder Jejak Islam Bangsa (JIB)
saya !!!
Tulisan yang sangat menarik. Berbagai perasaan bercampur menjadi satu…antara takjub, sedih, haru, dll….betapa dulu Islam benar2 menyatukan bangsa Melayu. Betapa persatuan itu benar2 terasa. Tetapi kemudian tercabik2 oleh kedatangan imperialisme. Saya juga ternganga melihat begitu banyak peninggalan sejarah Islam di Patani. Terimakasih atas catatan perjalanan yang luar biasa ini 🙂
Sayang sekali manuskripnya disimpan doang, ga ditransliterasi dan dipelajari 🙁
السلام عليكم
terima kasih banyak JIB, jazakaLLOH atas sunnah baiknya. Selamat berjaya JIB(khusus for The Respected Founder Rizki Lesus), Selamat berjaya Muslim Nusantara. ALLOHu Akbar!
Alhamdulillah….alloh yang menciptakan…Allohlah yang menjaganya..Allohu Akbar
Masya allah… Masya allah… Semoga suatu saat saya dpt melakukan perjalanan silaturahim kesana…aamiin yra
Sudah adakah usaha untuk membuat media belajar sejarah islam di nusantara, dalam bentuk yg lebih menarik dan interaktif ? Misal menjadi CD atlas sejarah interaktif. Agar semangatnya lebih mudah kita transfer ke generasi muda. Kalau belum ada saya tertarik untuk menjadi bagian yg berkontribusi (padahal miskin ilmu sejarah he he)
Sejauh ini belum ada. karena mungkin untuk penulisan sejarah Islam di nusantara pun perlu ditulis ulang kembali, dgn pandangan Islam. tp ide itu sangat menarik jika dapat direalisasikan