Saya benar-benar tidak menyangka, A.Hassan yang demikian keras dalam tulisan-tulisannya, kiranya seorang tuan rumah penerima tamu yang paling empuk dan baik” 

 inilah kesaksian Z.A. Ahmad[1] terhadap A.Hassan yang ramah dalam memuliakan dirinya sebagai tamu. A. Hassan adalah seorang tokoh Persatuan Islam (Persis) yang lahirkan pada tahun 1887 di Singapura. Ia disebut-sebut sebagai Trio Reformer Islam sebagaimana yang ditulis muridnya Mohammad Natsir dalam sambutan buku Riwayat Hidup A.Hassan:

Nama A.Hassan sebagai Pembaharu Islam, telah dikenal sedimikian rupa, sehingga orang menyebutnya seorang trio reformer Islam di tanah Jawa yaitu, K.H.A. Dahlan penganjur Muhammadiyah, Ahmad Soorkati pendiri Al-Irsyad dan A. Hassan ulama Persatuan Islam)”.[2] Walaupun A. Hassan baru bergabung di Persis setelah tiga tahun organisasi ini berdiri, ia menjadi salah satu tokoh utama di Persis. Tiar Anwar Bahtiar mengatakan bahwa

A.Hassan adalah ikon utama organisasi Pembaharu Islam abad ke-20, Persatuan Islam, sekalipun ia baru bergabung sekitar tiga tahun setelah organisasi ini berdiri. Bahkan boleh dikatakan bahwa A.Hassan telah memberi warna dan identitas bagi Persatuan Islam. Pemikiran-pemikiran A. Hassanlah yang nanti menjadi fondasi dasar pengembangan pemikiran di Persatuan Islam”.[3]

A.Hassan adalah anak dari pasangan suami istri yang bernama Ahmad dan Muznah. Ayah A.Hassan berasal dari India dan bergelar pandit sedangkan ibunya berasal dari Palekat, Madras, tetapi lahir di Surabaya.[4] A.Hassan mulai belajar mengaji Qur’an di Kampung Kapur Singapura kira-kira pada saat berumur 7 tahun.[5]

Ia pertama kali belajar Al-Qur’an dengan seorang guru perempuan. Dua tahun lamanya ia belajar membaca Al-Qur’an kemudian ia masuk sekolah Melayu empat tahun. Setelah itu belajar bahasa Arab, bahasa Melayu, bahasa Tamil serta bahasa Inggris. Semuanya diselesaikannya dalam masa empat tahun pula.[6] A. Hassan juga pernah belajar kepada H. Ahmad di Bukit Tiung seorang guru yang disegani dan berakhlak tinggi walaupun ia bukan seorang ulama besar. Di samping itu A.Hassan juga belajar pada H. Muhammad Thaib seorang dikenal sebagai guru besar di Minto Road.[7]

Ketika usianya masih remaja, Hassan sudah bekerja sebagai pelayan toko, berdagang kain dan permata, menjual minyak wangi, hingga vulkanisir ban. Ia pernah mengajar di madrasah dari tingkat Ibtidaiyah hingga Tsanawiyah. A. Hassan juga pernah bekerja di Utusan Melayu yang diterbitkan oleh Singapore Press. Ia menulis artikel yang berisi nasehat dan mengajak masyarakat pada kebaikan menjauhi kemungkaran. Selain itu A. Hassan juga menulis puisi yang cukup menggelitik dan menyentuh.

A. Hassan, kedua dari kiri (duduk) bersama tokoh-tokoh Persatuan Islam. Sumber foto: istimewa

Tulisan pertama A. Hassan di Utusan Melayu adalah tentang kritiknya terhadap hakim yang memeriksa perkara dengan membiarkan perempuan dan laki-laki berkumpul dalam majelis tersebut (tidak dipisah tempat laki-laki dan perempuan). A. Hassan mengatakan bahwa hal ini dilarang dalam agama. Antara laki-laki dan perempuan harus dipisah, dimana pun juga. Tentunya hal ini membuat heboh masyarakat Singapura pada saat itu, karena kejadian ini belum pernah sebelumnya.[8]

Disini kita melihat bahwa A.Hassan tidak takut terhadap resiko dari kritiknya kepada hakim, ia tetap menyuarakan kebenaran. Memang, A.Hassan adalah sosok ulama kharismatik yang dikenal memiliki pendirian teguh, pantang mundur dalam menegakkan kebenaran.

Syaikh Ahmad Soorkati mengatakan tentang diri A.Hassan “Sebagai seorang yang terpelajar, mempunyai tingkatan tauhid yang tinggi dan seorang pembela agama Allah yang selalu berjuang menghindarkan umat Islam dari kesesatan”.[9] Begitu pula yang dikatakan Tamar Djaja “Pendiriannya dalam agama terlalu keras, tak mau mundur walau setapak. Apa yang sudah dipilihnya, tak berubah lagi walau bagaimanapun reaksi atasnya. Ia tahu bahwa pendiriannya yang tetap membaja itu akan memungkinkan banyak musuh baginya. Tapi ia tidak perdulikan itu. Disanjung atau dibenci baginya tidak menjadi soal.”[10]

Hassan memiliki cita-cita hendak menegakkan Islam secara murni dalam masyarakat Islam Indonesia agar kembali kepada Al-Qur’an dan sunnah, ia ingin melenyapkan tahayyul, bid’ah, dan khurafat yang selama ini menjangkiti masyarakat Islam Indonesia. Untuk menggapai cita-cita tersebut, A.Hassan memberdayakan secara maksimal kemampuannya baik lewat lisan (berdebat) ataupun tulisan.[11]

A. Hassan memang dikenal sebagai ulama yang pandai dalam berdebat. Puluhan kali ia berdebat dengan berbagai golongan, tidak hanya kalangan tradisionalis dan modernis saja akan tetapi juga dengan para pendeta, tokoh-tokoh Ahmadiyah dan orang-orang Atheis.

Tamar Djaja mengatakan “Sebagai ahli debat, beliau adalah patut menjadi contoh teladan yang baik. Beliau sudah melakukan debat dengan berbagai orang dalam berbagai pendirian dan agama, beliau tak pernah merasa takut dan gentar menghadapinya. Bahkan beliau sendirilah umumnya yang mengajak berdebat.[12]

Diantara orang yang pernah berdebat dengannya adalah H. Mukhtar Luthfi tentang dasar PERMI (Persatuan Muslim Indonesia) yaitu Islam dan kebangsaan.[13] Kiyai Wahab Hasbullah dari NU mengenai taklid. Abu Bakar Ayyub tokoh Ahmadiyah Qadian. Dierhuis dan Elsink, serta Prof. Schoemaker (yang pada akhirnya mendapat hidayah masuk ke dalam Islam). Ulama-ulama Jawa Barat didebatnya pula, mengenai qunut, melafalkan niat (usalli), dan talkin. Ulama besar Aceh Tengku Hasbi Ash-Shiddiqy tentang jabat tangan pria dan wanita.[14]

Seorang atheis bernama Muhammad Akhsan yang secara terus terang menantang adanya Tuhan dan menentang segala macam agama, pada akhirnya sadar dan kembali kepada kebenaran karena semua argumentasinya dengan mudah dipatahkan oleh A.Hassan[15].

Suradal Mahatmanto seorang atheis pernah berdebat dengan A.Hassan mengenai “Ada Tidaknya Tuhan”, perdebatan ini berlangsung di Jakarta, lain halnya dengan Muhammad Akhsan, hasil debat tidak membuat Suradal sadar. Debat ini bubar tanpa ada kesimpulan yang dapat diambil oleh para hadirin pendengar. Hal ini disebabkan karena jalannya debat kurang berjalan lancar karena Suradal menganggap dirinya seorang yang istimewa, suka meninggikan dirinya dan mengaku dirinya luar biasa. Setiap A.Hassan ingin agar ia fokus pada pembahasan, Suradal selalu saja mengelak, hal ini tentu membuat A.Hassan kecewa dengan sikap Suradal.[16]

“Buku Adakah Tuhan” yang mencatat perdebatan antara Ust A. Hassan dengan seorang atheis. Sumber foto: Islampos.com

A.Hassan walaupun terlihat tegas dengan lawan debatnya ternyata memiliki pribadi yang ramah. Kesan bahwa A.Hassan berperangai keras, kritikannya tajam menghujam yang seakan-akan tidak melihat kondisi psikologis orang yang dikritiknya, hal itu akan sirna ketika mereka melihat A.Hassan dalam kehidupan sehari-hari yang ternyata sangat lembut, baik ucap maupun geraknya.[17]

Dari berbagai orang yang bertemu dan berinteraksi dengan A.Hassan didapati bahwa A.Hassan adalah penerima tamu yang ramah. Muridnya, Mohammad Natsir mengatakan “Sungguh-sungguh kehidupan kami banyak dipengaruhi oleh cara hidup tuan A.Hassan. Kesederhanaannya, rasa keakrabannya bersahabat dan berteman, ikhlasnya, penghargaannya terhadap tamu dan setiap orang

Tiap surat yang datang padanya, pasti dibalasnya. Orang yang berbicara dengan dia, dihadapinya dengan serius dan sungguh-sungguh. Tapi terhadap lawan, tak pernah ia memberi hati. Tapi tanpa ada rasa benci atau dendam terhadap diri yang bersangkutan[18]

Dari yang Natsir katakan dalam tulisannya, ramahnya A.Hassan terhadap tamu dirasakan pula oleh yang lainnya. Baik tua dan muda, baru berteman atau sudah laman. Sebagaimana yang dituturkan ZA. Ahmad dalam “Riwayat Hidup A. Hassan

Meskipun waktu kami bergaul tidaklah lama, tetapi pada pemandangan saya kepada beliau sangatlah dekatnya dengan hati yang sangat “intim”. Bahkan pernah pada tahun 1950-an kami tinggal bersama dalam satu rumah. Bahkan kamar, sewaktu sama-sama mengidapkan sakit masing-masing. Di dalam keadaan sama sakit saya sebagai tamunya jauh lebih hebat daripada beliau melayani dirinya yang juga sedang sakit itu. Saya mengagumi kehadiran beliau di tengah masyarakat, baik di dalam tulisannya yang tegas dan kalau perlu berpahit-pahit, maupun di dalam perdebatannya yang tangkas di dalam mengemukakan pendiriannya dan dalam menangkis lawannya.

Zainal Abidin Ahmad. Sumber foto: wikipedia

Tetapi saya lebih mengagumi akan kebaikannya di dalam pergaulan sehari-hari. Jauh lebih mengesankan dan sangat menarik. Bagi mata yang tidak memahami menengok tuan Hassan sebagai menengok sifat-sifat yang paradox, yang bertentangan satu sama lain. Kalau di dalam perdebatan beliau merupakan singa yang garang, tetapi di dalam pergaulannya bagaikan gula yang sangat manis”[19]

Zainal Abidin Ahmad pernah bercerita kepada H.D.P Sati Alimin ketika mampir ke rumahnya di Payakumbuh sebelum pulang dari menghadari Kongres PII di Malang. ZA. Ahmad bercerita kesannya terhadap A.Hassan “saya benar-benar tidak menyangka, A.Hassan yang demikian keras dalam tulisan-tulisannya, kiranya seorang tuan rumah penerima tamu yang paling empuk dan baik”.[20]

Begitu pula kesaksian H.D.P Sati Alimin ketika bertamu ke rumah A.Hassan memanfaatkan waktu liburnya 15 hari sebagai Pegawai Negeri. “saya ketok pintu sambil member salam. Pintu dibukakan oleh seorang separo umur, berbadan gempal dan berkepala bulat yang mulai ubanan, rambut digunting pendek sekali memakai baju kaus lengan pendek, dengan suara bernada baritone dan mata bersinar terang menyambut salam saya, sambil menyambut tangan saya, dan menyilakan saya masuk. Ia pun menyebut namanya A.Hassan.[21]

“ Setelah mulai duduk dan tanya bertanya kesehatan dan keselamatan masing-masing pihak, belum cukup kiranya 10 menit, A. Hassan berkata kepada saya, “Tuan istirahat dulu, itu divan untuk tuan, itu handuk, itu bakiak. Saya teruska kerja saya lagi, nanti sore kita boleh ngomong dan jalan-jalan”

“Tuan A.Hassan berdiri dan meninggalkan saya sendirian di kamar tamu rumahnya. Kopor bawaan saya, saya dapati telah terletak di bawah divan yang akan saya tempati. Kesan pertama yang saya perdapat, alangkah koreknya tuan A.Hassan ini mempergunakan waktu dan alangkah begitu baiknya beliau terhadap tamu. Lebih-lebih karena pada mulanya saya berniat sehabis berkenalan dan bertemu muka sekedarnya, barang satu jam, saya akan pamit mencari penginapan”

“saya ulangi dua hal sangat menonjol dalam pribadi tuan A.Hassan, korek dalam mempergunakan waktu dan penerima tamu yang baik”

Dari apa yang diceritakan Alimin tahulah kita bahwa A.Hassan itu sangat ramah terhadap tamu walaupun tamu ini tidak terlalu dekat dengannya bahkan baru pertama kali bertatap muka. Begitu pula perlakuan A.Hassan kepada yang lebih muda dengannya sebagaimana diceritakan oleh H. Ali Mohammad Siradj “Saya mengagumi beliau, karena penghargaan beliau kepada saya dirasakan terlalu tinggi, padahal saya ketika itu barulah seorang remaja dalam usia muda sekitar 24 tahun. Tapi penghargaan tuan A.Hassan kepada saya seolah-olah saya ini sudah dewasa seperti beliau juga layaknya. Keadaan saya di rumah itu, benar-benar seperti tamu yang dimuliakan, sehingga kadang-kadang saya sendiri merasa malu kepada diri sendiri”.[22]

Dari kesaksian orang-orang yang pernah berinteraksi dengan A.Hassan baik intens maupun tidak, didapati bahwa A.Hassan adalah seorang yang ramah terhadap tamu, kepada siapapun tanpa mengenal batas usia. Nampaknya, A.Hassan bersungguh-sungguh dalam mengamalkan hadits Rasulullah tentang memuliakan tamu. Semoga kita mendapat energi dan semangat baru agar Allah mudahkan pula diri kita dalam memuliakan tamu. Wallahu ‘alam bis shawab 

Oleh: Aco Wahab – Alumni Ma’had Aly Imam Al-Ghazali

 

[1] ZA Ahmad pernah menjadi pemimpin Mingguan Panji Islam Medan, Al-Manar, Indonesia Raya Yogya, Pemimpin Umum Harian ABADI Jakarta, anggota parlemen dari Masjumi, anggota pimpinan partai Masjumi. Ia bersama A.Hassan masuk dalam sepuluh orang penulis Islam terkemuka hasil dari angket Himpunan Pengarang Islam tahun 1957.

[2] M.Natsir, “Sambutan” dalam Tamar Djaja, Riwayat Hidup A. Hassan, Jakarta: Mutiara Jakarta, 1980, h. 10

[3] Tiar Anwar Bachtiar, “Membaca Pemikiran Politik A.Hassan” dalam Risalah Politik A. Hassan, Jakarta: Pembela Islam Media, 2013, h.xi

[4] Ibid, h.xii-xiii

[5] Deliar Noor “A.Hassan” dalam Tamar Djaja, Riwayat Hidup A. Hassan, Jakarta: Mutiara Jakarta, 1980, h. 100

[6] Tamar Djaja, Riwayat Hidup A. Hassan, Jakarta: Mutiara Jakarta, 1980, h. 17

[7] Deliar Noor “A.Hassan” dalam Tamar Djaja, Riwayat Hidup A. Hassan, h. 100

[8] Herry Mohammad, Tokoh-Tokoh Yang Berpengaruh Abad 20, Jakarta: Gema Insani Press, 2006, h. 15

Tamar Djaja, Riwayat Hidup A. Hassan, Jakarta: Mutiara Jakarta, 1980, h. 18

[9] Ibid, h. 19

[10] Tamar Djaja, Riwayat Hidup A. Hassan, Jakarta: Mutiara Jakarta, 1980, h.14-15

[11] Ibid, h.34

[12] Ibid, h.6

[13] Ibid, h.28

[14] Ibid, h.28-29

[15] Ibid, h.72

[16] Ibid, h.83-85

[17] Herry Mohammad, Tokoh-Tokoh Yang Berpengaruh Abad 20, Jakarta: Gema Insani Press, 2006, h. 20

[18] Mohammad Natsir “Membina Kader Bertanggung jawab” dalam Tamar Djaja, Riwayat Hidup A.Hassan, Jakarta: Mutiara Jakarta, 1980, h.56

[19] Z.A. Ahmad, “Sumbangan yang Tak Ternilai Dai Tuan A.Hassan” dalam Tamar Djaja, Riwayat Hidup A.Hassan, Jakarta: Mutiara Jakarta, 1980, h.130

[20] H.D.P. Sati Alimin, “Guru Kita A.Hassan” dalam Tamar Djaja, Riwayat Hidup A.Hassan, Jakarta: Mutiara Jakarta, 1980, h.142

[21] Ibid, h.146

[22] Ali Mohammad Siradj, “A.Hassan” dalam Tamar Djaja, Riwayat Hidup A.Hassan, Jakarta: Mutiara Jakarta, 1980, h. 63

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here